Wah, kinerja APBN era Jokowi I cetak beberapa rekor
Setahun lalu, Sri Mulyani membanggakan capaian pendapatan negara pada 2018 yang melampaui target APBN. Diklaim sebagai rekor sejak 2012. Sayangnya, realisasi sementara APBN 2019 yang diumumkan pemerintah hanya mencapai 90,4% dari target. Sayangnya lagi, kinerja APBN selama era pemerintahan Jokowi I justru mencatatkan beberapa rekor yang kurang baik.
Rata-rata capaian pendapatan 2015-2019 tercatat paling rendah, hanya 92,34% dari target APBN. Capaian pada periode-periode sebelumnya adalah: 2000-2004 (100,84%), 2005-2009 (99,52%), dan 2010-2014 (98,58%).
Realisasi APBN pada 2015 mencatatkan rekor terendah selama era reformasi, yaitu sebesar 85,6% dari target APBN. Padahal target APBN dimaksud telah merupakan APBN Perubahan 2015 sebesar Rp1.761,64 triliun. Telah diturunkan dari target APBN 2015 yang ditetapkan oleh era pemerintahan sebelumnya, sebesar Rp1.793,59 triliun.
Kementerian Keuangan dalam siaran persnya masih terkesan menklaim kinerja yang baik. Yang dikedepankan adalah pendapatan negara 2019 masih bisa meningkat di tengah kondisi global yang tidak kondusif.
Pendapatan memang naik sebesar 0,7% dibanding tahun lalu. Namun, persentase kenaikan tersebut merupakan yang terendah kedua selama sepuluh tahun terakhir. Terendah pertama juga terjadi pada era Jokowi I, yaitu pada 2015 yang tercatat turun 2,74%.
Rata-rata kenaikan pendapatan periode 2015-2019 sebesar 4,79% per tahun. Jauh lebih rendah dibanding periode 2005-2009 (17,56%) dan periode 2010-2014 (12,94%).
Pendapatan negara pada 2018 yang sempat dibanggakan sebenarnya sangat terbantu oleh capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Terutama pendapatan Sumber Daya Alam (SDA). Pendapatan SDA ditunjang oleh kenaikan harga serta nilai kurs yang lebih rendah dari asumsi APBN.
Capaian PNBP 2018 sebesar 148,61% dari target, dan pendapatan SDA sebesar 174,19%.
PNBP pada 2019 pun masih cukup membantu kinerja pendapatan APBN, karena melampaui targetnya, yakni sebesar 107,1%.
Sedangkan penerimaan perpajakan 2019 hanya mencapai 86,5% dari target. Secara rata-rata, realisasi periode 2015-2019 adalah 87,67%. Lebih rendah dibanding periode 2000-2004 (100,18%), 2005-2009 (99,57%) dan 2010-2014 (95,82%).
Penerimaan perpajakan 2019 itu memang masih lebih tinggi dibanding 2018. Naik sebanyak 1,74%. Kenaikan rata-rata selama periode 2015-2019 hanya sebesar 6,26% per tahun. Jauh lebih rendah dibanding periode 2004-2009 (17,97%), dan periode 2010-2014 (13,21%).
Padahal, penerimaan perpajakan dianggap lebih mencerminkan dua hal, yaitu kinerja perekonomian dan kinerja fiskus atau aparat perpajakan. Terutama dalam hal pendapatan pajak, yang mengeluarkan pendapatan cukai, bea masuk dan bea keluar dari jumlah penerimaan perpajakan. Jadi dikenal istilah pendapatan “pajak” saja, dan penerimaan “perpajakan”.
Dikenal luas pula istilah shortfall pajak yang merupakan selisih antara realisasi dan target. Nilainya mencapai Rp245,5 triliun pada 2019. mencapai Rp245,5 triliun. Realisasi hanya mencapai Rp1.332,1 triliun atau 84,4% dari target Rp 1.577,6 triliun. Hal itu dapat pula diartikan sebagai potensi pendapatan pajak yang gagal dicapai.
Tentang terkait eratnya dengan kinerja perekonomian antara lain dicerminkan oleh Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2019 yang mengalami kontraksi sebesar 0,9%. Kontraksi artinya capaian lebih rendah dari tahun sebelumnya. Realisasinya hanya mencapai Rp532,9 triliun atau 81,3% dari target.
Kelesuan ekonomi lebih terindikasi lagi pada penerimaan pajak secara sektoral. Sektor manufaktur mencatatkan kontraksi sebesar 1,8%.
Capaian Pendapatan Pajak Penghasilan (PPh) juga turut mengkonfirmasi kelesuan. PPh Non Migas memang masih tumbuh 3,8% dibanding tahun lalu. Padahal tahun lalu, pertumbuhannya mencapai 14,9%. Kondisi PPh keseluruhan diperburuk oleh pendapatan PPh Migas yang terkontraksi 8,7%.
Oleh karena pemerintah tampak tidak berupaya keras untuk menekan belanja, maka kinerja dari pendapatan APBN seperti diuraikan di atas, memberi tekanan pada pelebaran defisit. Defisit tahun 2019 mencapai Rp353 triliun atau 2,2% dari PDB. Lebih lebar dari target APBN sebesar Rp296 trilun atau 1,84% dari PDB.
Rasio defisit atas PDB pada periode 2015-2019 secara rata-rata mencapai 2,32% per tahun. Lebih lebar dari periode 2000-2004 (1,54%), 2005-2009 (0,86%), dan 2010-2014 (1,58%).
Tentu saja, defisit secara nominal cenderung meningkat, meski sempat turun pada 2018. Defisit sebesar Rp353 triliun pada 2019 itu merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Pada saat ini, defisit APBN hampir seluruhnya dibiayai dengan tambahan utang. Selain untuk menutupi defisit anggaran, utang baru juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran lainnya yang tidak termasuk dalam belanja. Contoh pengeluaran dimaksud antara lain investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, pemberian pinjaman kepada BUMN atau pemda, dan kewajiban penjaminan.
Peningkatan posisi utang pemerintah menjadi tak terelakkan. Pembayaran bunga utang pun cenderung meningkat. Tercatat beberapa rekor mengenai tambahan utang, posisi utang, dan pembayaran bunga utang secara nominal selama era Jokowi I.
Semoga pengelolaan APBN pada era Jokowi II berjalan lebih baik. Syukur jika bisa mencatatkan rekor juga. Namun dalam hal-hal yang baik dan menggembirakan.