close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri P2MI Abdul Kadir Karding memberikan keterangan pers terkait rencana pencabutan moratorium PMI ke Arab Saudi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (14/3). Foto Instagram @abdulkadirkarding
icon caption
Menteri P2MI Abdul Kadir Karding memberikan keterangan pers terkait rencana pencabutan moratorium PMI ke Arab Saudi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (14/3). Foto Instagram @abdulkadirkarding
Kolom
Senin, 17 Maret 2025 12:00

Yang harus disiapkan sebelum mencabut moratorium PMI ke Arab Saudi

Moratorium dianggap tak efektif karena masih banyak pekerja migran yang diberangkatkan ke Arab Saudi via jalur ilegal.
swipe

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) berniat membuka kembali  jalur pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi. Menteri P2MI Abdul Kadir Karding mengatakan sudah menyampaikan rencana itu kepada Presiden Prabowo Subianto.

"Hari ini, saya menghadap kepada Pak Presiden dalam rangka melaporkan rencana kita Kementerian P2MI untuk membuka kembali kerja sama bilateral penempatan tenaga kerja di Arab Saudi," kata Karding di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (14/3).

Kerja sama penempatan PMI ke Arab Saudi dimoratorium atau dihentikan sejak 2015 lewat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015. Tak hanya di Arab Saudi, peraturan itu melarang penempatan PMI pada pengguna perseorangan di negara-negara Timur Tengah. 

Menurut Karding, moratorium justru memicu praktik penempatan tenaga kerja secara ilegal ke Arab Saudi. Karding menyebut jumlah PMI ilegal ke Arab Saudi bisa mencapai 25 ribu orang per tahun. "Pemerintah ingin mencabut moratorium dan segera meneken kerja sama dengan Arab Saudi terkait pengiriman PMI ke Arab Saudi," kata dia.

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago mendukung pencabutan moratorium pemberangkatan PMI ke Arab Saudi. Ia sepakat kehadiran moratorium justru menguntungkan para mafia kedua negara untuk memberangkatkan tenaga kerja secara ilegal.

"Moratorium dibuka, tetapi dengan syarat pemerintah melakukan komunikasi bilateral dengan pemerintah Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya terkait penguatan perlindungan dan memperketat syarat-syarat BP3MI dalam melakukan pengiriman PMI ke semua negara," ujar Irma kepada wartawan. 

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno membenarkan moratorium penempatan PMI di Arab Saudi memicu kasus-kasus pemberangkatan PMI secara ilegal ke negara tersebut. Pada 2019, misalnya, SBMI mencatat ada 1.000 lebih perempuan pekerja migran yang ditempatkan bekerja di Arab Saudi di luar prosedur.

"Dengan menggunakan visa umrah dan menggunakan visa ziarah. Menggunakan visa formal. Jadi, ditempatkan secara formal. Tetapi, ketika sudah sampai Arab Saudi, mereka ditempatkan secara informal," ujar Hariyanto kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Sepanjang 2019- 2024, SBMI mencatat ada 3.000 kasus penempatan PMI secara ilegal ke Arab Saudi. "Angka ini, kami yakini, hanya nol koma sekian persen dari kasus aslinya," imbuh Hariyanto.

Meski begitu, Hariyanto mewanti-wanti agar pemerintah tak sembarangan mencabut moratorium. Ia menegaskan perlu dibangun kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi untuk memastikan PMI tidak terjebak dalam perbudakan modern.

"Jadi pemerintah hanya melarang, tapi prinsip hak asasi manusianya diabaikan. Jadi, pemerintah buat aturan. Tetapi, masalah selanjutnya, tidak ada solusi atau jalan keluarnya," ucap Hariyanto. 

Selama ini, menurut Hariyanto, para majikan di Arab Saudi menerapkan sistem kafala, yaitu sistem sponsor yang mana majikan berperan sebagai penjamin pekerja. Sistem itu rentan memberi peluang majikan mengeksploitasi pekerja. 

Karena itu, ia meminta pemerintah Indonesia melobi pemerintah Arab Saudi untuk membuat kesepakatan bilateral yang tegas mewajibkan para pemberi kerja di Arab Saudi melindungi hak-hak PMI. "Berikut juga sanksinya jika dilanggar oleh PMI dan juga majikan. Ini harus dipastikan sebelum moratorium dibuka kembali," jelas dia. 

Tak hanya itu, tata kelola di dalam negeri juga perlu dibenahi. Pengawasan terhadap agensi atau penyalur mesti lebih ketat. Agensi-agensi yang kedapatan masih melakukan penipuan wajib ditindak tegas. Aparatur sipil negara (ASN), terutama di pemerintah daerah, juga perlu dilatih untuk mencegah praktik pemberangkatan PMI ilegal ke Arab Saudi.  

"Peran pemerintah kabupaten provinsi dan pemerintah desa seperti apa? Kemudian peran pemerintah pusatnya seperti apa? Itu yang kami pertanyakan. Mau dicabut tidak dicabut, pemberangkatan (PMI) ke Arab Saudi tetap berjalan. Maka yang perlu dicatat adalah membangun tata kelola kedua negara berbasis hak asasi manusia," kata Hariyanto. 

Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Karsiwen sepakat perlu dibangun kesepakatan antara kedua negara untuk menjamin hak-hak PMI yang bekerja di Arab Saudi. Tak hanya sekadar MoU, menurut Karsiwen, kerja sama pemberangkatan PMI harus dalam bentuk 
memorandum of agreement (MOA).

"Untuk mendatangkan PMI, majikan membayar dana Rp110 juta. Jadi, mereka memperlakukan semaunya. Jadi, harus ada sanksi yang sudah disepakati," kata Karsiwen kepada Alinea.id, Sabtu (15/3) lalu.

MoA, kata Karsiwen, harus mengikat kedua belah pihka. Oleh negara penerima tenaga kerja, MoA bisa dirumuskan jadi kebijakan untuk mengatur hak dan tanggung jawab majikan terhadap pekerja migran sesuai dengan standar hak asasi manusia dan hukum ketenagakerjaan internasional. 

"Karena selama ini yang terjadi di Arab kontrak kerja itu bukan secara resmi dikeluarkan oleh kedua belah pihak pemerintah. Tetapi, ada yang dari agen. Untuk menanggulangi masalah ini, kami usulkan menambah jumlah konsular karena Arab Saudi tempat mengirim dan terbesar kedua dari Indonesia," kata Karsiwen.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan