Jurnalisme warga, atau biasa disebut citizen journalist atau citizen reporter, sekarang marak dan populer. Itu merupakan sebuah fenomena yang sebenarnya secara global di dunia sudah ada sejak tahun 1991.
Ketika George Holliday, seorang warga, secara tidak sengaja merekam perlakuan sekelompok polisi kepada salah seorang warga lain, yang itu sangat kejam. Peristiwa tersebut keji sekali. Saat itu, polisi mengatakan, bahwa kejadiannya hanya kematian biasa.
Tetapi rekaman dari Holliday memperlihatkan kesalahan penindakan terhadap seorang warga, itu ternyata berdampak pada hal-hal lain. Berdampak pada penemuan fakta baru bahwa ternyata ada penindakan yang tidak tepat. Fenomena George Holliday terkait erat dengan pemberantasan rasisme atau perlakuan tidak adil atas perbedaan warna kulit.
Fenomena yang berkembang mulai tahun 1991 itu diceritakan kembali oleh Ardi Wina Saputra, dosen Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Madiun. Dikatakannya, jurnalisme warga baru dirasakan di Indonesia tahun 2004. Ketika Indonesia berduka, saat itu 26 Desember, terjadi bencana tsunami di Aceh.
"Saat itu, yang melaporkan pertama kronologi tsunami Aceh itu dari kamera-kamera yang dimiliki oleh warga seperti Handycam karena gawai belum secanggih sekarang. Tetapi hal tersebutlah yang membuat fenomena tsunami Aceh dapat terekam dengan jelas detik demi detik," kata Ardi mengutip kanal RRI Madiun, Senin (3/10),
Kemudian salah satu pemain sepakbola terkenal Cristiano Ronaldo mengadopsi Martunis, anak dari Aceh, yang saat tsunami itu terlihat mengenakan kostum Portugal. Semua itu karena rekaman jurnalisme warga.
Diteruskan Ardi, tahun 2013 salah satu wartawan senior Pepih Nugraha merumuskan sebuah formula atau "mulai berani" untuk mendefinisikan keberadaan jurnalisme warga melalui buku Citizen Journalism. Saat itulah gaung tentang jurnalisme warga dikembangkan.
Kemudian keberadaan media sosial seperti Facebook pada 2013 saat Pepih meluncurkan bukunya, berikut pula dengan reportasenya, dia mengasuh rubrik Kompasiana. Jadi dia mengajak warga atau masyarakat -- bahkan dia melakukan tur dari kampus ke kampus -- untuk berani mengerjakan reportase dan menuliskannya antara lain di Kompasiana.
Tetapi, menurut Ardi, ketika itu era reset dan medsos populer baru Facebook. Sehingga jurnalisme warga yang dicetuskan tentu adalah jurnalisme warga yang dipublikasikan melalui Facebook.
"Kalau kita ingat awal tahun 2010 banyak juga orang yang mempublikasikan kegiatannya, itulah wujud jurnalisme warga. Tetapi mereka butuh waktu untuk memposting melalui Facebook karena internet tidak secepat sekarang," ujar Ardi.
Melihat perkembangan terbaru, wujud jurnalisme warga sebenarnya ada pada update status di aplikasi WhatsApp dan Instagram. Itu karena perkembangan internet yang cukup cepat, sehingga kalau ada peristiwa tertentu banyak sekali orang yang langsung mengambil gawai mereka, lalu mengabarkannya melalui status.
"Ini adalah wujud jurnalisme warga, paling cepat untuk memberitakan kondisi di suatu tempat. Salah satu contohnya, yang baru saja terjadi, peristiwa bencana kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan di kota Malang," sambung Ardi.
Diuraikannya, betapa rekaman-rekaman dari warga atau suporter yang saat itu melihat peristiwa dijadikan bukti yang sangat kuat. Detail demi detail kejadian terekam di sana, meskipun saat itu di stadion tersebut ada media massa besar. Salah satu media televisi nasional yang meliput pertandingan.
"Tetapi tentu (media televisi besar) tidak sampai pada detail peristiwa ketika muncul kejadian-kejadian kecil. Justru saat ini, kalau kita mengikuti berita baru, tentu polisi menggunakan video-video tersebut," ringkas Ardi.
Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Mahfud MD sekaligus Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) juga menggunakan video-video yang paling ramai di-update oleh para suporter itu untuk dijadikan sebagai bagian kronologi pembuktian.
"Inilah pentingnya jurnalisme warga. Dan memang kita sedang di era jurnalisme warga atau citizen journalism," pungkas Ardi.