Platform digital internasional seperti Google, Youtube, Meta, TikTok, dan sebagainya dituntut untuk memberikan nilai ekonomi terhadap konten berita yang diproduksi media nasional dan lokal Indonesia, itulah inti gagasan dari regulasi yang tengah digodok pemerintah. Dewan Pers pun telah menyampaikan draf usulan Rancangan Peraturan Presiden terkait Media Sustainability Usulan Dewan dan Konstituen kepada Presiden Joko Widodo pada 17 Februari.
Surat Dewan Pers berisi draf usulan RPerpres terkait Media Sustainability terdiri dua bagian. Pertama, Draf RPerpres tentang kerja sama perusahaan platform digital dan perusahaan pers untuk mendukung Jurnalisme Berkualitas yang diusulkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai pemrakarsa. Kedua, Draf RPerpres tentang tanggung jawab platform digital untuk mendukung Jurnalisme Berkualitas yang diusulkan oleh pokja/task force Media Sustainability yang dibentuk Dewan Pers.
Draf RPerpres tentang tanggung jawab platform digital untuk mendukung Jurnalisme Berkualitas terdiri dari 14 pasal. Draf ini ditandatangani Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers beserta empat anggota serta sembilan perwakilan konstituen dari AJI, SPS, ATVSI, AMSI, SMSI, IJTI, ATVLI, PRSSNI, dan PWI.
Reaksi beragam atas draf RPerpres itu muncul di kanal media sosial Youtube, pekan ini. Salah satunya datang dengan judul: "Konten Kreator INDO bisa BERHENTI karena ini?! BAHAYA?! Draf Perpres Jurnalisme" dari Gerald Vincent, Kamis (3/8).
"Ada peraturan yang bisa bikin konten kreator di Indonesia berhenti! Ini bahaya banget dan kamu harus tahu ini! Namanya adalah draf Perpres Jurnalisme Berkualitas. Kalau aturan ini disahkan, yang bisa ngasih informasi di internet cuma platform yang menjalin kerja sama dengan pemerintah. Jadi nggak ada lagi tuh konten kreator, gak ada lagi berita yang organik, karena tiap informasi yang keluar harus sesuai sama Dewan Pers," kata Vincent.
"Positifnya seharusnya sih gak ada lagi berita hoaks. Karena semua sudah sesuai Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang Pers. Tapi negatifnya ya sumber berita jadi terbatas. Gak ada variasi dan cuma satu pintu itu doang. Jadinya gak ada kebebasan buat sharing informasi," sambungnya.
"Bukan cuma saya doang yang khawatir, Oom Deddy Corbuzier juga bilang ini bahaya. Selain itu Google dan Youtube aja sampe ngirim surat ke pemerintah. Mereka gak mau kalau ada aturan ini dan bisa pergi dari Indonesia kalau aturan ini disahkan.
"Google aja yang kerjaannya nyediain informasi yang bermanfaat dan gampang diakses buat semua orang sampe begitu. Dan bisa jadi konten kreator di Indonesia juga berhenti karena ini.
"Kalo menurut kamu gimana? Saya mau denger pendapat kamu," pungkas Vincent.
Video pendek ini turut dihiasi pelbagai latar gambar editan bernuansa palsu seperti si narator sedang duduk di meja kantor Dewan Pers. Isinya murni opini pribadi. Videonya telah dipirsa 785 ribu kali ketika diakses, Rabu (9/8). Youtuber ini memiliki 571K subscriber dan 1K produk video.
Video senada muncul dari kanal Youtube Sepulang Sekolah bertajuk "Rancangan Perpres Baru Matikan Konten Kreator Indonesia? Australia Sudah Duluan! LearningByGoogling" tayang pada Sabtu (5/8). Naratornya mengkhawatirkan Perpres ini mengancam kebebasan berekspresi di internet seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kanal DK ID cantelan Youtube dengan video "Lembaga Ngawur, Konten "diatur" + Minta "Jatah" Lagi..." mencemaskan penonton konten kreator yang sudah menurun akan lebih anjlok lagi jika Perpres disahkan.
Perpres Jurnalisme Berkualitas jelas bukan bertujuan menghentikan konten kreator atau mengancam kebebasan berekspresi di internet dan tidak pula mengurus penonton Youtuber.
“Secara umum Perpres Publisher Rights mengatur terkait konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan pers. Kemudian platform juga bisa melakukan semacam filtering mana konten yang sifatnya news, mana yang bukan, dan yang news inilah yang dikomersialisasi,” jelas Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria dalam keterangannya, Selasa (25/7).
Kekesalan Youtuber seperti Gerald Vincent, Deddy Corbuzier, Sepulang Sekolah, dan DK ID menuai banjir komentar di medsos. Sementara Google diketahui sudah dibatasi dan telah mematuhi aturan serupa yang diterapkan Uni Eropa dan Australia.