Di antara sekian faktor yang menentukan sukses-tidaknya kebijakan adalah komunikasi kebijakan itu sendiri. Jadi berhasilnya kebijakan bukan semata-mata dilihat dari sisi teknokrasi, tapi juga sisi komunikasi. Sebaik apapun aspek teknokratik sebuah kebijakan, jika tidak diikuti oleh komunikasi yang baik, pasti akan membawa masalah.
Pandangan itu dikemukakan Burhanuddin Muhtadi dalam kuliah umum virtual Lembaga Administrasi Negara (LAN) bekerja sama Tanoto Foundation, Kamis (9/9). Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menguraikan bahwa dari interaksinya dengan banyak pejabat pemerintahan termasuk juga di parlemen, mereka lebih banyak fokus dari sisi substansi kebijakan. Mulai dari perumusan dan pembuatan kebijakan, tetapi lupa bahwa aspek komunikasi mulai dari proses perumusan hingga implementasi itu memegang faktor yang sangat krusial.
Menurut Burhanuddin, satu contoh paling relevan berkaitan dengan masalah pandemi. "Kita menyaksikan sebuah contoh nyata di mana pemerintah sering kali gagap ketika menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan macam apa yang mereka lakukan. Apalagi di saat krisis, yang mungkin di satu sisi bisa dimaklumi, karena pandemi sesuatu yang 'baru'. Sudah 'lama' kita tidak mengalami pandemi seluas COVID-19 ini. Karenanya, pemerintah terutama yang dilantik sejak 20 Oktober 2019 dalam situasi normal, tiba-tiba menghadapi situasi abnormal," sambungnya.
Kemudian muncul satu kasus yang membuat antara satu pejabat dengan pejabat lain terlihat saling bertentangan ketika merespons pandemi. "Jadi damage control (pengendalian kerusakan) tidak muncul, dan saat yang sama komunikasi di kala krisis juga tidak terlihat," urainya dalam presentasi bertajuk 'Strategi Komunikasi dalam Mempengaruhi Efektivitas Kebijakan'.
Uraian itu menyambut apa yang dikatakan sebelumnya oleh Elly Fatimah, Kepala Pusat Pembinaan Analis Kebijakan LAN, bahwa komunikasi menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan bersama. Demikian juga komunikasi kebijakan.
"Masih dalam ingatan kita bersama, betapa pentingnya komunikasi kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19. Pada awal terjadinya COVID-19, pemerintah terlihat kurang siap atau gagap dalam melakukan komunikasi publik kepada masyarakat secara luas. Berbagai pernyataan yang dilontarkan oleh para pejabat publik membuat publik menjadi skeptik," tutur Elly.
Diutarakannya, komunikasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi penting sebagai salah satu kunci keberhasilan implementasi kebijakan. Sebaik apapun kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah tidak akan berhasil tanpa adanya komunikasi kebijakan yang baik dan efektif yang dilakukan oleh pemerintah.
"Membangun kebijakan publik agar kepercayaan publik terhadap pemerintah meningkat menjadi salah satu agenda penting saat ini. Komunikasi kebijakan menjadi semakin kompleks dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, sehingga tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam melakukan komunikasi kebijakan menjadi semakin kompleks pula," ucap Elly. Untuk itu, katanya, para analis kebijakan yang bertugas memberikan saran rekomendasi kebijakan harus memahami pentingnya komunikasi kebijakan serta bagaimana strategi yang harus dilakukan agar komunikasi publik tersebut menjadi efektif.
Burhanuddin menambahkan, ada banyak contoh lain yang mudah ditemukan untuk mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat masalah serius dari sisi komunikasi sebagian instansi pemerintahan. Salah satu masalah tersebut disebabkan oleh pola pikir di kalangan para pejabat yang belum menempatkan komunikasi sebagai bagian penting dalam proses implementasi kebijakan. Dia menemukan banyak sekali pejabat tinggi di pemerintahan atau di parlemen yang menganggap komunikasi tidak penting. Bentuk pengabaian mereka terhadap komunikasi biasanya mudah sekali dideteksi.
"Lihat saja di bagian Humas, umumnya orang-orang tua (dipekerjakan). Umumnya itu bukan orang yang memiliki pengalaman, keterampilan, atau pendidikan di bidang kehumasan. Tetapi orang-orang yang mungkin pada titik tertentu 'buangan' di instansi tersebut. Bukan orang yang betul-betul dibekali pelatihan dan keterampilan yang punya kemampuan untuk mengkomunikasikan kebijakan. Itu contoh kecil bahwa komunikasi bukan bagian penting dari desain yang ditentukan oleh pejabat," ujarnya.
Seraya mengutip sumber dari Kementerian Komunikasi dan Informasi mengenai pengakuan masalah yang disebutkannya sebagai lingkaran setan komunikasi kebijakan selama ini, Muhtadi berkata, "Bukan semata-mata terjadi sekarang, tetapi juga pada periode-periode (pemerintahan) sebelumnya.
Diungkapkannya bahwa kondisi komunikasi kebijakan saat ini melingkar pada lima masalah. Pertama, fragmentasi publik, mengandalkan komunikasi satu arah, kurang memanfaatkan komunikasi digital, kurang mampu meningkatkan partisipasi publik, dan terakhir, kurangnya koordinasi antarkementerian. Situasi tersebut makin parah karena tiga hal, menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, yakni polarisasi atau pembelahan publik, matinya kepakaran, dan hoaks (berita bohong).
Dalam bukunya, The Death of Expertise (2017), Tom Nichols mengutuk apa yang dia gambarkan sebagai banyak kekuatan yang mencoba melemahkan otoritas para pakar di Amerika Serikat. Dia menyalahkan tren dalam pendidikan tinggi (seperti fokus pada harga diri dan toleransi narsisme yang mengarah ke inflasi kelas dan terlalu percaya diri pada kemampuan sendiri), Internet, dan berlimpahnya pilihan media untuk anti-kepakaran dan anti-intelektual ialah sentimen yang dia lihat sedang meningkat.
Meskipun mengakui bahwa para pakar terkadang gagal, dia katakan bahwa jawaban terbaik untuk ini adalah kehadiran pakar lain yang mengoreksi diri sendiri untuk mengenali dan memperbaiki kegagalan sistemik.