Kekerasan terhadap pers ternyata masih banyak ditemukan di Indonesia. Berdasar data yang dimiliki Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), selama Mei 2017 sampai Mei 2018, 75 kasus kekerasan terhadap pers terjadi di berbagai kota. Angka tersebut naik dari periode sebelumnya yang hanya 72 kasus kekerasan pers.
Kekerasan fisik menjadi satu jenis kekerasan yang mendominasi. Mulai dari penyeretan, pemukulan, dan juga pengeroyokan. Selanjutnya adalah pengusiran.
Oknum kepolisian menjadi pihak yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap pers. Selama satu periode pengamatan AJI, 24 kasus kekerasan dilakukan oknum polisi, 16 kasus kekerasan dilakukan oknum pejabat pemerintah, dan delapan kasus kekerasan dilakukan oknum anggota organisasi masyarakat (ormas).
Ketua AJI, Abdul Manan mengatakan beberapa kasus kekerasan pers yang melibatkan polisi pun tidak diusut hingga tuntas. Oleh karena itu, AJI beranggapan perlu adanya perbaikan internal dari institusi kepolisian itu sendiri.
“AJI mendorong polisi melakukan perbaikan internal untuk meminimalisir kekerasan. Memberikan pemahaman kepada personilnya untuk menyadari melakukan kekerasan itu melanggar hukum,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (3/5) di Jakarta.
Dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi pada para pewarta menunjukan, Indonesia belum sepenuhnya mempraktikan kebebasan pers. Beberapa Undang-Undang yang ada justru tidak mendukung kebebasan pers di negara ini.
Ada beberapa pasal yang berpotensi mempidanakan pewarta dalam KUHP, seperti pencemaran nama baik. Menjadi salah satu bukti belum adanya dukungan terhadap kebebasan pers. UU ITE dan pornografi pun masih menegaskan adanya pidana yang berpotensi diberlakukan kepada pewarta.
Sementara itu, Reporters Without Borders (RSF) mencatat peringkat Indonesia pada urutan ke 124 di tingkat internasional dalam penerapan kebebasan pers. Peringkat tersebut sama dengan 2017 lalu. Hal itu semakin menunjukan Indonesia masih belum menerapkan kebebasan pers.