Setidaknya ada 10 pasal di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kelak bisa mengancam pekerjaan jurnalis.
Pasal pertama adalah tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Jika mengkritisi presiden dan wakil presiden, dan kemudian ada yang menilai sebagai penghinaan, maka pewarta tersebut bisa diancam pidana.
Kedua, yakni pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah. Pasal tersebut tidak relevan karena tugas lain wartawan adalah mengkritisi lembaga eksekutif pemerintah melalui berita.
"Jurnalis bekerja untuk mengkritisi eksekutif. Jika kemudian itu dianggap penghinaan, kita akan terancam penjara," ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani Amri di kerumunan massa aksi penolak RKUHP, Jakarta, Senin (16/9).
Ketiga adalah adanya aturan tentang hasutan melawan penguasa. Menurutnya, pasal yang tertuang dalam RKUHP itu membuat negara menjadi antikritik, karena apabila ada pihak atau wartawan yang mengkritisi pemerintah, bukan tidak mungkin orang yang mengkritisi tersebut akan dikriminalisasi.
Berikutnya adalah pasal tentang berita bohong. Pasal tersebut dinilai tidak relevan karena selama ini penyelesaian masalah pers dilakukan oleh Dewan Pers, bukan diselesaikan melalui KUHP.
"Jika kemudian ada berita tidak terklarifikasi ataupun kemudian belum terkonfirmasi (di sini) ada upaya jurnalisme yang kita lupakan. Tapi kemudian jika UU ini berlaku, kemudian kita (jurnalis) bisa dijerat dengan menyebarkan berita palsu. Penjara juga akan mengancam kita," sambungnya.
Selain itu, ada juga regulasi yang mengatur tentang berita tidak pasti. Dalam pasal ini, apabila wartawan menulis suatu prediksi cuaca esok hari dan prediksi itu tidak tepat, maka tulisan yang dibuat bisa digugat dan penulisnya bisa dipenjara.
Pasal lainnya mengenai penghinaan terhadap pengadilan. Regulasi ini, lagi-lagi menurutnya, tidak relevan karena tidak jarang jurnalis dalam meliput mengkritisi proses pengadilan.
"Jika tulisan wartawan dinilai sebagai penghinaan, pencemaran nama baik pengadilan, kita bisa diancam penjara," katanya.
Hal lainnya adalah pasal yang mengatur tentang penghinaan agama. Regulasi itu mengancam wartawan karena apabila jurnalis meliput tentang agama dan pada saat pengutipan ada kekeliruan, bukan tidak mungkin akan mengancam jurnalis. Di sisi lain, kebenaran dalam agama tidaklah sama karena benar bagi agama satu, bukan berarti benar juga untuk agama yang lain.
Pasal lainnya adalah tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara. Asnil mencontohkan apabila RKUHP dipaksakan untuk disahkan, maka ke depannya jurnalis akan kesulitan mengkritisi kinerja DPR, karena apabila tetap melakukannya, bisa dipenjarakan
Juga ada pasal pencemaran nama baik orang yang sudah meninggal. Khusus untuk yang sudah meninggal, pewarta dapat digugat pihak keluarga apabila salah seorang dikeluarga yang meninggal mendapat kritikan dari wartawan.
"Jadi ketika jurnalis mengkritisi, misalkan Soeharto, kemudian keluarga Soeharto gak terima, itu bisa kena sebagai pencemaran orang mati," pungkasnya.
Dengan dasar tersebut, AJI menolak RKUHP karena dapat mengancam jurnalis dalam menjalankan kerjanya sebagai penulis dan mencari berita yang dibutuhkan masyarakat.
Dia pun berharap jurnalis anggota AJI maupun organisasi wartawan lainnya juga satu suara dalam menolak RKUHP yang dinilai masih banyak bermasalah.