close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Direktur Remotivi Yovantra Arief menguraikan kelemahan KPI dalam menjalankan fungsi sebagai pengawas lembaga penyiaran, di kantor KPI Pusat, Jakarta, Rabu (14/8). Alinea.id/Robertus Rony
icon caption
Direktur Remotivi Yovantra Arief menguraikan kelemahan KPI dalam menjalankan fungsi sebagai pengawas lembaga penyiaran, di kantor KPI Pusat, Jakarta, Rabu (14/8). Alinea.id/Robertus Rony
Media
Rabu, 14 Agustus 2019 22:06

Bakal awasi Netflix dan YouTube, KPI dinilai politis

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terpilih untuk periode 2019–2021 dinilai memiliki integritas yang meragukan.
swipe

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terpilih untuk periode 2019–2021 dinilai memiliki integritas yang meragukan. 

Dalam analisis lembaga pemantau media Remotivi, hal itu salah satunya berhulu dari pemilihan komisioner yang sarat kepentingan politis.

“Dalam pantauan kami selama ini, sejak 2013 pemilihan komisioner KPI selalu bermasalah. Penolakan publik terhadap rencana KPI mengawasi konten digital ini hanya pucuk gunung es,” kata  Direktur Remotivi Yovantra Arief, di Jakarta, Rabu (14/8).

Pada awal Agustus lalu, Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyampaikan pengawasan terhadap Youtube, Netflix, Facebook, dan sejenisnya sebagai langkah untuk menjaga karakter bangsa. Hal ini memancing penolakan dari masyarakat, salah satunya melalui petisi #KPIJanganUrusinNetflix yang digagas Dara Nasution.

Yovantra melanjutkan, komisioner KPI dipilih dan diawasi oleh Komisi I DPR RI. Sebagai salah satu dari sebelas Komisi di DPR RI, Komisi I mengurusi bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen.

Sayangnya, menurut Yovantra, pemilihan komisioner KPI kerap disusupi tujuan sejumlah anggota komisi I DPR RI untuk melindungi kepentingan kelompoknya. Dalam tubuh komisioner KPI periode lalu, dalam analisa Yovantra, terdapat anggota Komisi I DPR RI yang memilih calon komisioner yang menguntungkan bagi kepentingan bisnis stasiun televisi tertentu.

“Ini menunjukkan dia (anggota Komisi I DPR RI terkait) bukan memilih dalam perspektif publik, tetapi untuk keuntungan perusahaan siaran. Ini mengindikasikan pemilihan komisioner KPI sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi penyiaran,” tuturnya.

Hal itu, menurut Yovantra, menjadi salah satu penyebab kinerja KPI kurang profesional.

Selain gagal memahami ranah kerjanya menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, KPI dinilai juga cenderung mengambil kebijakan yang reaksioner terkait isu-isu yang tengah berkembang atau viral di publik. 

Sementara hal-hal yang diamanahkan oleh UU Penyiaran dan aturan internal KPI, kata Yovantra, malah tidak dijalankan. Maka ketimbang berencana mengawasi konten digital, Yovantra melihat ada isu lain yang lebih urgen ditangani KPI.

“KPI seharusnya memantau sistem stasiun jaringan, atau komposisi persentase antara iklan dan isi dalam program-program tayangan di televisi,” ujarnya.

Penolakan masyarakat

Sementara itu, sejak dipublikasikan 9 Agustus lalu, petisi #KPIJanganUrusinNetflix mendapat dukungan besar dari masyarakat. Hingga Rabu (14/8) pukul 13.00, petisi ini sudah mendapat 75.000 lebih tanda tangan publik.

Dalam catatan Change.org, petisi yang digagas oleh Dara Nasution itu menjadi salah satu petisi yang mendapat respons luar biasa dari publik.

“Dalam hari ini, sudah ditandangani oleh lebih dari 75.000 orang, tinggi sekali responsnya,” kata Dhenok Pratiwi, manajer kampanye Change.org.

Dhenok melanjutkan, respons tinggi dari masyarakat itu mencerminkan tingginya kebutuhan publik untuk mendapatkan tontonan film berkualitas. Kehadiran platform digital seperti Netflix dan Youtube telah menjadi saluran penyedia alternatif tontonan selain tayangan di stasiun televisi konvensional.

“Selama ini sensorship yang dilakukan KPI terhadap acara di televisi tidak efektif sehingga publik mencari alternatif tontonan lain,” kata Dhenok.

Sebagai lembaga penyalur aspirasi publik kepada pengambil kebijakan, tak sedikit petisi di Change.org yang efektif menggugah perhatian publik terhadap isu-isu penting. Dhenok menyebut petisi lain yang mendapat dukungan besar masyarakat ialah petisi penolakan terhadap revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), petisi usut kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, dan petisi mendukung pilkada langsung.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan