close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah jurnalis dari AJI Jakarta menggelar aksi solidaritas di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/9). /Antara Foto.
icon caption
Sejumlah jurnalis dari AJI Jakarta menggelar aksi solidaritas di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/9). /Antara Foto.
Media
Minggu, 29 September 2019 14:26

AJI: Banyak polisi tak paham kesepakatan Dewan Pers dan Polri

Nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri sudah disepakati sejak Februari 2012.
swipe

Ketua bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengatakan, aparat kepolisian yang diduga melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis saat meliput, tidak memahami standard operating procedure (SOP) kerja wartawan.

Menurutnya, masih banyak anggota polisi yang tak tahu nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri. Salah satu kesepakatan itu adalah menjamin perlindungan kemerdekaan pers dalam melaksanakan tugasnya. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri sudah disepakati sejak Februari 2012.

"Karena itu kita mendorong nota kesepahaman Polri dengan Dewan Pers ini ditingkatkan menjadi Perkap (Peraturan Kapolri). Jadi, kalau ada polisi yang melanggar, bisa langsung diberikan sanksi oleh Kapolri," kata Sasmito saat ditemui di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (29/9).

Dalam sepekan terakhir, AJI mencatat, ada 14 kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis. Sebanyak 10 jurnalis mendapat kekerasan ketika meliput aksi unjuk rasa pada 22 September 2019 hingga 26 September 2019 di Jakarta, Palu, dan Makassar.

Sementara tiga kasus terjadi di Jayapura lantaran dilarang meliput. Sedangkan satu jurnalis, yakni Dandhy Dwi Laksono dikriminalisasi karena menyampaikan pendapat dan informasi melalui media sosial. Sebagian besar pelaku kekerasan jurnalis itu dilakukan aparat kepolisian.

Sasmito pun merasa janggal dengan dalih pihak kepolisian perihal kartu identitas wartawan yang terlalu kecil, sehingga aparat melakukan tindak kekerasan. Alasan itu, disebut Sasmito, mengada-ada.

"Sebenarnya di rekaman video, wartawan Kompas jelas sekali menunjukkan ID persnya, dia juga sampaikan jurnalis dilindungi oleh UU Pers. Jadi, saya pikir, alibi seperti itu kurang tepat," kata Sasmito.

Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jendral Dedi Prasetyo berdalih, pihaknya merasa sulit membedakan antara jurnalis dengan peserta aksi lantaran kartu identitas wartawan terlalu kecil.

Dia pun menyarankan kepada jurnalis menggunakan rompi bertuliskan pers, guna memudahkan petugas membedakan wartawan dengan pengunjuk rasa.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan