close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi clickbait./ Shutterstock
icon caption
Ilustrasi clickbait./ Shutterstock
Media
Minggu, 25 Maret 2018 16:31

Beginilah cara media "mengemis" pembaca

Tren judul-judul "click bait" dibuat untuk menggaet pembaca dan menambah page view. Jangan-jangan judul di atas juga tergolong click bait.
swipe

Dalam bukunya, "Blur" (2012), jurnalis New York Times Bill Kovach dan rekannya Tom Rosenstiel menulis, media sudah tidak lagi menjadi penjaga pintu masuk informasi-informasi bagi khalayak. Fungsinya sudah beralih, menjadi media produktif dalam membuat konten berita yang layak jual dan bersaing dengan media lainnya. Apalagi di era banjir informasi yang difasilitasi teknologi internet, maka otoritas pers pun runtuh seketika.

Imbasnya, media khususnya yang bergerak dalam platform daring perlu terus memperpanjang napas dengan menerapkan strategi apapun, termasuk strategi click bait. Frase click bait sendiri dalam kamus Merriam-Webster didefinisikan sebagai penggunaan headline berita daring yang catchy sehingga (pembaca) tak dapat menahan untuk mengklik (umpan klik).

Salah satu yang mudah dikenali dari click bait adalah penggunaan frase yang bombastis, hiperbola, dan menggelitik kognisi masyarakat untuk membukanya. Judul-judul click bait umumnya terdiri atas sepuluh kata, sementara judul biasa hanya berkisar tujuh hingga delapan kata.

Biasanya berita click bait yang bermuara pada konten menjebak alias tak sesuai dengan judul memasukkan kata-kata seperti "astaga", "heboh", "inilah", menggunakan tanda seru berlebihan dan tanda titik lebih dari satu. Judul semacam ini sebetulnya sudah malang melintang dalam koran kuning "Yellow Pages", yang memang hanya memuja klik. Ini mirip dengan logika oplah dalam media cetak.

Contoh judul berita click bait antara lain, "Astaga! Jokowi bakal keok dari Prabowo di pilpres 2019, ini analisis menurut Gerindra". Padahal jika dilihat kembali, konten beritanya hanya memuat hasil survei dan pernyataan dari salah satu anggota Gerindra terkait pencalonan pilpres. Judul clickbait lainnya seperti "Wow! Begini megahnya jembatan terpanjang di Papua", rupanya setelah diklik hanya terdapat foto jembatan tersebut tanpa teks memadai yang menjelaskan judul.

Strategi ini kerap terlihat dari media Buzzfeed yang memang gigih mengejar pembaca untuk mengklik berita-berita mereka. Lalu cara itu diimitasi media-media di tanah air, untuk menyampaikan pesan. Meski begitu, beberapa judul justru tak sesuai dengan keseluruhan konten berita.

Meskipun click bait dirasa penting bagi sejumlah pelaku media digital, terutama untuk mendatangkan pundi-pundi iklan, tetapi jika antara konten dan judul berbeda, ini sama saja melakukan tindak penipuan. Bahkan pembaca selaku penikmat informasi bisa dirugikan karena jebakan itu. Hal ini bermuara pada menurunnya kepercayaan pembaca pada kredibilitas media yang bersangkutan.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menyebutkan kerisauannya mengenai fenomena click bait. Fenomena itu menurutnya, relatif tidak bisa dihindari di era persaingan media digital yang sangat ketat seperti sekarang ini. Pasalnya pemilik media tentu berkepentingan mempertahankan bisnisnya untuk meraih pendapatan dari kue iklan. Meskipun begitu, media harusnya tanggung jawab media menjaga kualitas jurnalisme, kode etik, serta aturan-aturan yang berlaku.

“Tapi jangan sampai melupakan di sisi media memiliki tanggung jawab jurnalisme dalam melayani kepentingan publik, yaitu memberikan informasi secara benar dan berkualitas. Semangat untuk menjaga kepentingan bisnis itu tidak boleh mengorbankan tanggung jawabnya untuk melakukan kontrol sosial dan mendidik publik melalui pemberitaan yang diberikan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Abdul memaparkan, bagi sebagian media memang click bait merupakan cara memperpanjang napas bisnis. Namun itu bukan cara yang dianjurkan, alih-alih click bait, media bisa melakukan improvisasi konten dengan hal-hal yang baru. Misalnya memperluas kans interaksi antara pegiat media dan pembacanya, sehingga bisa mendulang klik.

“Tidak hanya mengandalkan judul-judul yang penuh sensasi dan hanya mengundang klik tapi beritanya tidak bermutu,” ujarnya kepada Alinea.

Yang ia maksud dengan konten tak bermutu adalah berita yang mengandung unsur sensasi, seks dan erotisme, atau hal-hal yang menuai kontroversi. Contoh saja bagaimana sebuah media menulis judul "Mengejutkan, Veronica Tan Ngaku Terus Dipaksa Ginian oleh Julianto Tio Walau Bukan Suami Istri". Ada pula judul "Aktris Cantik Asyik Main di Pantai, Astaga di Belakangnya....".

Muaranya adalah menipu dan menjebak pembaca dengan selera rendah. "Ini adalah bentuk eksploitasi berita dan pelanggaran keras prinsip jurnalisme," tandasnya.

Pasalnya click bait berpotensi membuat media tidak menjalankan fungsi jurnalismenya secara benar, tanpa verifikasi, pembohongan publik, dan tak mendidik masyarakat. Meskipun ia menyebut tidak semua berita yang mengandung click bait merupakan berita buruk dan menipu pembaca, namun ia mengimbau strategi ini untuk dihindari.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Remotivi Muhamad Heychael yang sangat menyayangkan click bait karena secara etis, ini merugikan pembaca bahkan pelaku media itu sendiri.

Terlebih lagi, media mengandalkan cara tersebut tanpa dibarengi dengan perbaikan kualitas dalam konten. "Jika itu dilakukan, maka media tersebut akan ditinggalkan oleh para pembacanya sendiri," pungkasnya.

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan