close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi jurnalis. Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi jurnalis. Foto Pixabay
Media
Selasa, 01 Maret 2022 20:28

Belantara pers, dari jurnalis bohongan sampai nama media mirip lembaga negara

Kemajuan teknologi menjadikan semua seperti lebih simpel, dan kebetulan jumlah jurnalis juga makin banyak
swipe

Kehidupan pers, media, dan jurnalis di Indonesia secara umum diketahui persis sebagaimana mudahnya ditemukan oknum yang mengaku sebagai jurnalis hadir di berbagai tempat. Biasanya bersama rombongan, melengkapi diri dengan tanda pengenal sesuai dengan kebutuhan. Mereka bisa dikatakan jurnalis serba bisa, jurnalis yang suka hadir di mana-mana. Kalau dilihat lagi, itu bukan pemandangan yang aneh sekarang. Hanya selama pandemi Covid-19, kerumunan mereka agak berkurang.

Kemajuan teknologi menjadikan semua seperti lebih simpel, dan kebetulan jumlah jurnalis juga makin banyak. Itu kelihatan sesuatu yang sudah biasa saja. Etika pers berkaitan dengan perkembangan teknologi serta jurnalisme profesional seperti itu lebih lanjut diuraikan oleh anggota Dewan Pers Jamalul Insan.

"Kenyataan hari ini kita berada di antara 'belantara' media dan jurnalis. Karena begitu riuh dan ramainya dunia media dan yang mengaku-ngaku jurnalis di Indonesia. Walaupun kegiatannya tidak berkerumun lagi, tetapi aktivitasnya tetap saja. Kita berada di belantara yang sangat ramai di dunia pers," katanya.

Jamalul memberi contoh dalam Workshop Etik dan Profesionalisme Jurnalis dengan tema 'Profesionalisme Jurnalis Di Tengah Kemajuan Teknologi' kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan Kedutaan Besar Australia yang digelarkan pada Jumat (25/2).

Contohnya, banyak media menggunakan nama-nama unik, bahkan yang mirip lembaga negara, seperti Koran Tipikor dan KPK Pos. Ketika sumber berita didatangi mereka, pasti langsung takut duluan, karena salah menyangka bahwa polisi atau penyidik KPK yang bertandang. Meskipun sudah ada larangan untuk memakai nama lembaga negara, tapi tetap saja muncul nama media seperti itu, walaupun tidak tercatat di Dewan Pers.

"Belantara yang begitu ramai dengan media dan jurnalis menimbulkan dampak juga. Ada orang-orang yang mengaku-ngaku jurnalis, tapi kelakuannya bukan lagi sebagai jurnalis atau wartawan. Tapi justru melakukan pekerjaan yang bukan pekerjaan pers. Justru bukan lagi seperti pekerjaan biasa, tapi malah kriminal. Inilah yang menjadi masalah buat kita," ujar Jamalul.

Dijabarkannya bahwa pers kini tidak bisa bersikap serta-merta kalau ada kasus atas orang yang mengaku wartawan. Kalau tiba-tiba bereaksi sebagai solidaritas korps, maka tidak bisa lagi segera begitu. Sekarang wartawan tidak bisa bereaksi cepat dalam persoalan kekerasan seperti itu.

"Soalnya harus dicek dulu. Beberapa kasus kita temukan juga ternyata dia mendapat kekerasan bukan karena pekerjaan jurnalis, tapi pada pekerjaan lainnya yang dianggap tidak ada kaitannya. Kita sangat menghormati korps, tetapi harus lebih cermat juga menelisik situasi hari-hari ini bahwa terlalu banyak orang yang memanfaatkan nama pers. Hak khusus wartawan malah digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang lain," pesannya.

Mengapa isu etik di era jurnalisme digital saat ini menjadi sesuatu yang penting? Menurut pandangan Sekjen AJI Ika Ningtyas, ketika dunia memasuki era digital, jurnalisme menjadi terdisrupsi. Jurnalisme mengalami perubahan yang sangat besar dan itu sangat mempengaruhi pekerjaan jurnalis, bahkan mempengaruhi bisnis atau ekonomi media, termasuk berimbas bagaimana informasi dikonsumsi masyarakat.

Katanya, di tengah perubahan yang seperti itu dan bisnis di era digital yang rentan, membutuhkan kesadaran bersama dari para jurnalis untuk meningkatkan etik. Kerja jurnalisme dan bagaimana menentukan pemberitaan tetap sesuai dengan Undang-undang Pers dan kode etik jurnalisme niscaya diperkuat etik sebagai fondasi yang sudah disepakati bersama oleh komunitas pers di Indonesia

"Etik akan menjaga jurnalis terjerumus ke dalam persoalan-persoalan yang justru itu membuat nilai dan prinsip jurnalisme kabur. Banyak sekali tantangan yang kita hadapi, terutama ketika kita berhadapan dengan bisnis jurnalisme di era digital. Keinginan atau hasrat untuk melakukan click bait atau hanya berkepentingan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi bagi media, itu akan banyak mempertaruhkan etik. Ini semua membutuhkan kesadaran bersama, saya rasa, tidak hanya bagi jurnalis yang bekerja di lapangan, tapi juga di tim redaksi itu sendiri," tutur Ika.

Dunia diketahuinya masih menghadapi pandemi Covid-19, yang tidak tahu kapan akan berakhir dan telah mempengaruhi kerja-kerja jurnalisme dan kesejahteraan jurnalis, terutama di daerah. Sebentar lagi juga Indonesia akan menghadapi momentum yang cukup penting, yaitu tahun politik. Meskipun Pemilu akan digelar secara serentak pada 2024, tapi riak-riak dan juga polarisasi politik sudah terasa mulai hari ini.

"Ini tentu semakin membutuhkan para jurnalis untuk memegang teguh etik dan prinsip jurnalistik supaya tetap bisa memberikan informasi yang tetap kredibel dan independen kepada publik. Informasi seperti itu akan menjadi panduan bagi publik untuk menentukan pilihannya. Ini sangat terkait dengan bagaimana nanti jalannya demokrasi ke depan," singkapnya.

Di sisi lain, Kedubes Australia memahami bahwa di masa pandemi Covid-19, AJI Indonesia terpaksa menunda sejumlah pelatihan, termasuk buat workshop dan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ). Meskipun pelatihan sangat penting untuk meningkatkan kapasitas media di Indonesia, terutama membangun kode etik dan profesionalisme media.

"Maka itu, kami sangat senang saat AJI mengatakan akan memulai kembali workshop kompetensi di Mataram, yaitu workshop UKJ kedua yang dijalankan AJI selama pandemi segala sukses diawali di Batam pada awal bulan ini," kata Gina Schwass dari Kedubes Australia.

Diungkapkannya, bahwa workshop merupakan inisiasi lanjutan dari Learning Management System (LMS), platform yang memungkinkan AJI menjalankan pelatihan dan uji kompetensi secara virtual. Sebuah contoh nyata dari kemajuan teknologi dalam jurnalisme.

"Kami masih ingat saat AJI datang tahun lalu membawa ide-ide cemerlang tentang LMS dan kami dengan senang hati mendukungnya. Kami percaya workshop dan ujian seperti ini adalah awal baik untuk lebih banyak program pemberdayaan jurnalis di masa depan. Tentu kami berharap ini akan menjangkau dan memberi peluang lebih besar bagi lebih banyak jurnalis di seluruh Indonesia," katanya.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan