Bermuka dua 'demands' dan 'demons', konsep berinternet cukup mengganggu media
Banyak media mengalami transformasi digital. Caranya dengan beralih dari edisi cetak ke versi daring sebagai portal berita.
Begitu pula para penyiar televisi yang sudah habis masa gemilangnya di layar kaca. Mereka ramai bermigrasi mengisi konten di YouTube. Penyiar kawakan berkonvergensi. Mereka bekerja, seperti layaknya orang-orang media.
"Namun ada yang kurang di sana. Karena memang pada saat kita bicara Second Media Age, ada dua perspektif audiens yang muncul. Saya sih menamakannya 'Setan' dan 'Kebutuhan'. Kita bisa sangat butuh, bergantung pada media tertentu," tutur Harry Setiawan, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Riau (UIR), Jumat (8/4).
Menurut Harry, di satu sisi muncul ketergantungan orang. Seperti pada televisi, internet, ataupun portal berita tertentu, atau WhatsApp, dan seterusnya.
Tapi, di sisi lain, orang juga bisa menjadi sangat agresif, haus, sangat tidak bisa dikendalikan. Itu adalah perilaku setan, di mana setan tidak mau dikendalikan dan tidak bisa dikendalikan. Dia ingin bebas.
Ungkapan Harry itu menghiasi diskusi daring ditayangkan kanal Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UPNVJ, bertajuk "Jurnalistik dan Media Penyiaran. Agenda Setting, Freaming dan Priming Media".
"Kita bisa lihat bahwa bagaimana perlakuan warganet dalam konsep berinternet hari ini di Indonesia cukup mengganggu. Kadang-kadang mereka 'demands' (butuh) tapi sebenarnya 'demons' (setan)," tegas Harry.
Diuraikan, tidak sedikit dari pekerja-pekerja media mengalami sakit, mental health-nya terganggu, karena memang mengalami gangguan yang cukup luar biasa dari warganet di Second Media Age. Ini menjadi sebuah karakteristik dari perkembangan teknologi di media saat ini.
"Perkembangan teknologi itu menggambarkan bahwa sebenarnya kita bicara soal bagaimana benturan antara broadcast dan broadband itu hadir dalam beberapa perbandingan yang cukup signifikan," seru Harry.
Di mana, diteruskannya, kalau orang berbicara broadcast, itu informasi terpusat di Jakarta. Orang Jakarta sangat menikmati posisi hari ini. Bisa dipastikan bahwa orang Jakarta tidak tahu apa yang dialami orang di daerah.
Artinya, berita hari ini melulu seputar Jakarta. Semua seputar Jakarta, tapi tidak pernah ada berita seputar Madura atau daerah di Pekanbaru. Atau sebuah kota kecil di Riau itu, namanya Selat Panjang, dan lainnya.
"Pada saat kita masuk ke era broadband, di mana perkembangan internet jauh lebih cepat daripada infrastruktur broadcast, akhirnya komunikasi berubah menjadi dua arah, tidak bisa dikendalikan oleh negara," ucapnya.
Harry menyebutkan bahwa regulasi yang mengatur resmi tentang bagaimana transaksi digital berbasis konten, itu belum ada. Sampai hari ini belum bisa diatur oleh negara. Karena memang sangat liquid (cair), lalu dia sangat cepat, dinamis sekali.
"Sehingga akhirnya itu yang membuat kita sebagai dulunya adalah massa atau entitas yang disebut massa dan sifatnya homogen dan anonim. Sekarang dia bisa dipandang sebagai kelompok orang yang homogen tapi saling kenal. Itu yang kita sebut dengan dipandang, dengan tetap bisa mempertahankan individualitas," dalihnya.
Seraya mengimbuhkan, orang-orang berkumpul, memiliki minat sama untuk mengakses konten yang sama. Itu terjadi hari ini. Bagaimana cirinya pembuat konten bekerja untuk memenuhi satu, dua, tiga kelompok saja.
"Sehingga akhirnya dalam aktivitasnya, realitas yang hadir dalam konteks broadcast (First Media Age), yaitu mempengaruhi kesadaran," bubuhnya.
Tapi, dilanjutkannya, pada Second Media Age, atau pada saat orang bicara broadband, "Itu mempengaruhi pengalaman kita sebagai individu, mempengaruhi realitas kita, memperlihatkan bagaimana akhirnya kita hidup. Bagaimana harusnya kita punya teman di Venezuela hidupnya seperti apa," singkapnya.
"Orang harus seperti apa. Itu akhirnya mempengaruhi pengalaman orang tentang ruang dan waktu. Ini sebuah gambaran yang cukup pelik. Bagaimana Second Media Age itu seperti akan mendominasi. Sekarang sudah mulai terlihat pergerakan dominasi tersebut," kata Harry.
Diskusi itu disambut Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi (Ilkom) UPN Veteran Jakarta Fitria Ayuningtyas. Dimoderatori oleh dosen Prodi Ilkom Dewanto Samodro. Diskusi berlanjut bahwa pergerakan dominan dari media tersebut menjadi sebuah ekologi.
"Anda tahulah muka bapak tua yang saya taruh di sini ini (menunjuk foto) adalah bapak tua Marshall McLuhan. Tahun 1960-an dia pernah bercerita soal bagaimana media itu berkembang," ucap Harry.
Mengutip referensinya bahwa McLuhan pernah meramalkan bahwa nanti media itu tidak lagi cuma media. Media itu bukan lagi alat pengantar, tapi media itu adalah pesannya.
"Itu tersirat dalam teori yang ditelurkan oleh McLuhan tahun 1960-an. Bicara soal Global Village, bicara soal bagaimana akhirnya tidak ada lagi batasan antara orang pertama dengan orang yang kedua. Tidak ada lagi batasan terkait media dari negara mana atau negara mana. Semua itu bisa terjadi pertukaran," ujarnya.
Demi menguatkan teori itu, Harry yang selain dosen juga kepala Humas UIR, mengaku pernah membaca riset tentang wilayah perbatasan Pakistan dan India. Seperti diketahui, India dan Pakistan sama seperti Indonesia dan Malaysia. Jadi tidak begitu akur, tapi sebenarnya saling merindukan.
Antarkedua negara terjadi pertukaran konten dalam perspektif budaya. Sinetron India ditayangkan di Pakistan dan sinetron Pakistan ditayangkan di India. Sekaligus mengantarkan pesan bahwa itulah budaya yang terjadi. Akhirnya India dan Pakistan pada wilayah perbatasan itu rujuk, aman damai.
"Sama seperti Riau dan Malaysia, tidak terjadi gejolak apa-apa. (Isu) yang heboh (dan kadang memanas) itu (timbul) di wilayah pusat saja," kata Harry pada acara yang diadakan Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.