close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Budiyanto (tengah) saat meliput di Irak. foto Dok Pribadi
icon caption
Budiyanto (tengah) saat meliput di Irak. foto Dok Pribadi
Media
Jumat, 30 Juli 2021 20:00

Budiyanto, jurnalis konfik, disandera di Irak (Bag 4)

Budiyanto merekam berbagai kepiluan tragedi kemanusiaan yang terjadi akibat konflik. Di tengah tugasnya itulah, ia diculik.
swipe

Budiyanto adalah jurnalis senior MetroTV. Di awal kariernya ia banyak bersentuhan dengan liputan konflik. Bisa dipahami karena awal era milenium, era 2000 an hingga pertengahannya, dunia jurnalistik memang cukup disibukkan dengan berbagai peristiwa bersejarah yang berbau pertumpahan darah. Di Tanah Air sendiri ketika itu meletus konflik komunal di belahan Timur, yang menewaskan hingga 5 ribu orang. Di tingkat internasional, konflik yang paling menyita perhatian adalah perang Irak.

MetroTV, televisi berita pertama di Indonesia itu menerjunkan langsung jurnalisnya ke medan konflik. Ini membuat Budiyanto sampai bulak-balik ke Timur-Tegah. Ia menjadi menjadi mata dan telinga televisi yang berbasis di Kedoya, Jakarta Barat itu. Ia memotret dan mengabarkan sisi-sisi kelam akibat perang di Negeri 1001 malam. 

Budiyanto merekam berbagai kepiluan tragedi kemanusiaan yang terjadi akibat konflik. Di tengah tugasnya itulah, ia sendiri harus menghadapi ancaman maut karena menjadi sasaran penculikan kelompok bersenjata pada 2005. Brigade Mujahidin. 

Pengalaman jurnalistik mengemban tugas meliput di aera konflik Irak ini ia bagikan dengan Arpan Rahman dari Alinea.id.  

Berbekal pengalaman meliput di konflik Ambon

Dari pengalaman meliput zona konflik Ambon, Aceh, Papua, dan beberapa daerah lain, medan liputan Budiyanto meluas ke mancanegara. Sisa kemilau negeri 1001 malam sebentar lagi berada di bawah sorotan kameranya. Saat itu Irak sedang bergejolak.

Pimpinan MetroTV memutuskan, "Oke, kita tugaskan Budiyanto aja deh." Jurnalis yang punya pengalaman, kira-kira begitu keputusannya, mungkin.

"Saya memiliki kemampuan menulis berita, mengedit, mengambil gambar. Jadi kemampuan itulah yang dibutuhkan oleh jurnalis televisi. Maka dikirim satu orang sudah menghemat anggaran. Tinggal dilengkapi satu reporter saja," kata Budiyanto (54) kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Dia mengaku lebih kompetitif bila dibandingkan dengan para jurnalis asing yang terjun ke garis depan. Mereka biasa menerjunkan awak kameraman, editor, reporter, dan tim teknologi informatika tersendiri. Sekali liputan jadi seperti rombongan sirkus.

Barangkali ketika itu pimpinan MetroTV melihatnya, "Sudahlah, kirim Budiyanto saja, dia sudah bisa menangani banyak pekerjaan." Berbekal pengalaman di daerah konflik, kemudian mungkin juga karena pertimbangan berhemat anggaran, Budi ditunjuk untuk meliput ke Irak.

Jurnalis konfik

"Pertama saya masuk ke Irak sebelum invasi Amerika. Reporter saya Desi Anwar. Kenapa kita harus masuk ke sana sebelum invasi? Kita meyakini betul bahwa Irak akan diinvasi, akan diserang, oleh Amerika," ujarnya membeberkan, naluri jurnalistik yang terbukti benar.

Itu sekaligus rekam jejak percobaan atas sikap dan posisi MetroTV mengusung genre jurnalisme damai ke level internasional. Mengapa dan bagaimana stasiun televisi berita Indonesia mengedepankan soal sisi kemanusiaan. Budi dan Desi memantau dulu ke Irak bagaimana sisa korban invasi Amerika di tahun 1991 waktu Irak menyerang Kuwait yang mengobarkan Perang Teluk.

"Kita memotret bagaimana kondisi masyarakat, bagaimana korban perang waktu itu. Kita buat sebagai konten berita dan kemudian kita publikasikan. Harapannya apa, mungkin terlalu kecil, tetapi kita membentuk opini bahwa yang menjadi korban perang itu, adalah masyarakat, warga sipil," cetusnya.

Sipil yang tidak hanya sekedar kehilangan rumah, bahkan juga nyawa dan kehilangan anggota tubuh. Mereka pun meliput ke rumah sakit, ke bungker-bungker perlindungan di mana evakuasi orangtua dan anak-anak. Tapi bunker juga dirudal oleh Amerika. Rangkaian cerita karya duet Budi dan Desi menjelaskan bagaimana para korban, penderitaan soal kemanusiaan. Soal-soal itu mereka angkat.

Seiring perkembangan waktu, keduanya terus sibuk memberitakan apa yang terjadi di Irak. Sampai beredar pengumuman dari pemerintahan koalisi bahwa seluruh warga asing yang ada di Irak harus segera keluar.

Pemerintah Indonesia saat itu turut mengeluarkan edaran: seluruh rakyat atau Warga Negara Indonesia yang ada di Irak segera keluar. Soalnya dikhawatirkan nanti menjadi korban invasi Amerika.

"Kita terpaksa harus keluar. Tak lama kemudian sempat pulang ke Jakarta dulu, karena harus mengambil peralatan video phone, satu-satunya perangkat telekomunikasi yang bisa dipakai untuk bisa siaran live dari lokasi liputan di Irak saat itu," ucap Budi.

Datang lagi sampai tiga kali

Hanya sebentar di Jakarta, kemudian invasi AS terjadi. Kira-kira lima-sepuluh hari setelah Baghdad jatuh, Budiyanto berangkat lagi dengan membawa peralatan lebih lengkap. Dia sudah menggunakan video phone, sehingga bisa live dari lokasi peristiwa dan titik liputan. Meliput dengan reporter Ariseno Ridhwan. Sampai dua pekan lebih melaporkan berita dari sana.

Kembali lagi laporannya menyoroti bagaimana korban serangan Amerika. Susahnya masyarakat, warga sipil yang dirundung nestapa. Itu semua dirangkum sebagai bentuk berita yang menonjolkan jurnalisme damai.

"Ini lho perang!" seru Budi. Ia masih bersemangat mengenang kembali memori di garis depan. "Korbannya masyarakat sipil kehilangan nyawa, rumah. Rumah sakit hancur, infrastruktur, pasar, fasilitas umum musnah semua. Aktivitas masyarakat jadi tidak bebas lagi. Banyak orang menderita."

Usai itu, mereka pulang ke Jakarta. Tapi tiba-tiba di Irak pemerintahan sementara di bawah komando Amerika melaksanakan pemilihan umum perdana pasca-Saddam Hussein (mantan presiden Irak). Dia diminta kembali untuk masuk ke Irak yang ketiga kalinya.

Meliput pemilu perdana, dengan reporter Meutya Hafid. Bingkai kamera MetroTV juga membidik sudut pandang yang sama. Selain meliput soal pemilu dan penghitungan suara, mereka juga menggali kembali soal sisi-sisi kemanusiaan

"Itu selalu, human interest, yang kita angkat. Karena kekuatan kita yang tidak bisa menangkap peristiwa besar, maka harus mengambil sisi-sisi liputan yang menyangkut aspek kemanusiaan," tukasnya.

Peristiwa besar sudah biasa diambil lewat siaran TV-TV asing yang menggambarkan bagaimana peristiwa serangan, pengeboman, dan segala macam aksi invasi. Sebaliknya Budi dan Meutya mengambil remah detail kisah dari aspek cerita yang menarik minat orang karena menggambarkan pengalaman atau emosi individu.

Aspek cerita mengenai apa dan bagaimana masyarakat, aktivitas mereka, balada pasar yang dibom, di mana peristiwa bom bunuh diri. Duet kameraman-reporter MetroTV itu hadir ketika ledakan bom bunuh diri. Di tengah kerusuhan, demonstrasi, segala sisi mereka liput.

Kemudian keduanya menemukan cerita satu keluarga yang hidupnya sangat menderita akibat kehilangan saudara dan orang tua. Anak-anak kecil yatim-piatu, warga sipil yang kehilangan anggota tubuh. Menyoroti rumah sakit, bagaimana orang-orang dirawat di dalamnya.

Sandera di Irak

Proses panjang liputan itu bagaimanapun terbatas durasi penugasan. Mereka bersiap balik kanan. Sebab sangat tergantung pada visa yang diterima. Waktu itu, mereka mendapat visa untuk dua pekan saja. Setelah dua minggu, otomatis harus keluar Irak. Kalau tidak keluar, mereka akan menyalahi peraturan imigrasi, dan kemudian bila ditangkap, bisa diusir.

Saat perjalanan, Jakarta menelepon. "Bud, kamu di mana posisinya?"

Jawab Budi, "Sedang dalam perjalanan darat dari Baghdad menuju Yordania."

Jakarta membalas: "Nggak, kamu balik aja, Bud."

Tugasnya harus meliput perayaan Asyura, peringatan duka di Karbala. Di sana akan dihelat ritual komunal: masyarakat menyakiti badan mereka sendiri. Menurut sejarah, Husain, cucu Rasulullah, meninggal dunia di Karbala pada 10 Muharram 61 H atau 10 Oktober 680. Masyarakat merasa menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa, maka itu digelar ritual yang disebut Asyura.

Kenapa harus ke Karbala?

Tahun yang lalu, bom bunuh diri menewaskan 200 orang di sana. "Maka kita disuruh merapat ke lokasi itu lagi, barangkali ada kejadian yang sama. Lagi-lagi untuk apa? Untuk memotret bagaimana sisi-sisi kemanusiaan. Bagaimana kalau itu terjadi? Bagaimana kita menggambarkan, bagaimana konflik itu menyisakan luka, korban masyarakat sipil yang tidak berdaya. Itu yang kita angkat ke permukaan," terang Budi.

Ke arah balik lagi ke Baghdad setelah mengurus visa di Yordania untuk bisa masuk Irak, dalam perjalanan, dia dan Meutya ditangkap.

Budi menguraikan, trip dari perbatasan Yordania kira-kira berjalan bisa memakan waktu 6-7 jam sejauh 150 kilometer menuju Baghdad. Di sana stasiun pompa bensin terakhir. Tidak ada lagi pom bensin karena dia hapal betul jalur itu. Jika menempuh perjalanan dari Yordania pasti mengisi bensin di situ terakhir sebelum masuk ke kota Baghdad.

"Ketika mobil yang kita tumpangi lagi mengisi bensin, di situlah kita ditangkap kemudian dibawa ke lokasi tertentu. Ternyata kita baru sadar ada di tengah padang pasir. Kita ditaruh di satu tempat, kemudian kita disandera. Disandera (selama) kira-kira tujuh hari," ungkap Budi.

Upaya dan ikhtiar dari MetroTV, pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia, dan tokoh-tokoh agama menyuarakan supaya mereka berdua dibebaskan. Akhirnya Budiyanto dan Meutya Hafid dibebaskan lewat proses yang sangat panjang dan melelahkan.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan