Orang mengenal bahwa media massa memiliki alat komunikasi massa. Dalam perkembangan media pada abad pertama dikenal broadcast atau penyiaran. Dalam bukunya, David Holmes (Communication Theory: Media, Technology and Society; 2005) menyatakan ada dua babak. Yaitu, First Media Age dan Second Media Age.
Di First Media Age (atau Era Media Pertama), media penyiaran terbagi dua jenis: cetak dan elektronik. Cetak itu surat kabar, koran, majalah, tabloid; dan elektronik adalah televisi, film, radio.
Lalu di pertengahan abad itu bergeser, dikenali teknologi yang disebut sekarang namanya internet. "Internet ini yang menjadi -- saya sih ngga bilang dia 'toxic' -- tapi dia menjadi katalisator untuk perubahan bagaimana akhirnya First Media Age (broadcast) itu bergerak maju terus, terus, terus terdorong, sampai kita masuk kepada Second Media Age hari ini," kata Harry Setiawan.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Riau (UIR), dalam konsep First Media Age, komunikasi massa itu tersentralisasi, komunikatornya terlembaga, lalu menggunakan kalimat-kalimat publik.
"Anda tidak akan mungkin mendengar penyiar televisi menyampaikan salam kepada keluarganya..., itu tidak akan mungkin terjadi di televisi. Atau (dia tidak mungkin) menyapa sebuah wilayah. Karena memang begitu kondisinya dalam konsep penyiaran. Kita bicara menggunakan kalimat-kalimat publik," cetusnya.
Mengenai soal berita yang panjang, informasi yang panjang, ditulis sepanjang-panjangnya. Lalu si wartawan melakukan news gathering (pengumpulan berita) yang benar-benar serius, itu dalam konteks surat kabar.
Harry berbicara dalam diskusi daring ditayangkan kanal Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UPNVJ, Jumat (8/4), bertajuk "Jurnalistik dan Media Penyiaran. Agenda Setting, Freaming dan Priming Media". Acara ini diselenggarakan Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
"Di suratkabar itu kita pahami, kalau Anda belajar jurnalistik cetak, itu adalah sebuah pekerjaan yang sulit. Saya waktu (tahun) 2014, belajar komunikasi, pernah disuruh. Saya ingat sekali dosen di Unpad (Universitas Padjadjaran) itu, namanya Pak Sahat Sahala Tua Saragih, dia dosen jurnalistik cetak. Meminta kami untuk membuat berita," cetusnya.
Tugas membuat berita dari dosennya itu diakui Harry gagal ditunaikannya sebagai mahasiswa di mata kuliah itu. Karena memang membuat berita dalam berbasis suratkabar itu sulit sekali, menurut dia.
Kesukaran menciptakan berita di media koran tinggal usang seperti cerita dari masa silam belaka. Kini, proses pemberitaan sudah jauh lebih mudah. Internet sebagai katalisator perubahan dari Era Media Pertama menjadi sebuah trigger (pemicu) untuk masuk ke Second Media Age.
Era Media Kedua itu dinamakan Harry sebagai 'Broadband'. Kenapa broadband? "Karena aktivitas interaksi di komunikasi massa dengan menggunakan alat komunikasi massa itu hanya bergantung pada dua hal, yaitu adalah internet dan teknologinya. Dan itu menjadi ramuan, akhirnya media melakukan proses konvergensi," kata dosen Fikom UIR.
Dijabarkannya, banyak media yang semula sudah tumbang, akhirnya hidup lagi, berpindah dari cetak ke online, jadi portal berita. Sementara itu dari televisi, penyiar-penyiar TV yang sudah tidak lagi dipakai di televisi bikin konten di YouTube. Akhirnya mereka konvergen, mereka bekerja, seperti layaknya orang-orang media.