Menjelang pelaksanaan Pemilu 2019 ini, banyak konten-konten berisi hoaks yang tersebar di segala macam media, sehingga media massa "mainstream" harus dapat mengedepankan konten berita yang mengedukasi.
"Ada media yang juga secara tidak langsung memproduksi konten hoaks. Mengutip hoaks yang sudah tersebar di media sosial (medsos). Kalau membuat konten berita, dalam hal ini konteksnya berita pemilu harus mengedepankan aspek edukasi," ujar Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Jimmy Silalahi pada workshop Peliputan Pemilu 2019 yang diselenggarakan Kementerian Kominfo dan PWI DIY di Sleman, Kamis (21/2).
Hoaks terjadi karena kelatahan jari, tidak bisa menahan diri untuk tidak terlalu mudah menyebar hoaks atau informasi yang belum pasti kebenarannya dan sumbernya.
Seharusnya media menyajikan berita menyangkut peserta pemilu. Selanjutnya berita terkait regulator dan regulasi pemilu. Tidak lupa juga tentang tahapan pemilu, pengamanan, isu-isu pemilu, juga pemberitaan terkait peran serta masyarakat.
Media sebaiknya juga berhati-hati, karena ada calon legislatif (caleg) yang sengaja minta dimunculkan dalam bentuk berita.
"Secara tidak langsung media juga memberikan panggung kepada caleg tersebut," katanya.
Direktur Pengelolaan Media Kementerian Kominfo Siti Meiningsih menjelaskan platform media sosial, aplikasi dan situs-situs laman menjadi penyebar hoaks tertinggi.
"Dari data 2017 tercatat, penyebaran hoaks terdiri dari tulisan sebanyak 62,10%, gambar sebanyak 37,50% dan video sebanyak 0,40%. Problem terbesar dalam penggunaan internet adalah hoaks," ucapnya. (ant)