Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap jurnalis tak hanya bersifat fisik, tapi juga non fisik. LBH Pers memaparkan, para jurnalis Femina mendapatkan gaji yang dicicil dua kali tiap tanggal 15 dan 25 tiap bulannya. Bahkan, pada Juli 2016, para pekerja hanya mendapatkan gaji 50% dan sisanya dibayar belakangan. Selanjutnya ketika Idul Fitri 2017, perusahaan hanya membayarkan 70% gaji jurnalis.
Merujuk pada fakta tersebut, kritikus media Ignatius Haryanto menilai sebagai tamparan keras di dunia kewartawanan.
“Perusahaan sekaliber itu, dikelola jurnalis senior, pun berita yang diwartakan mencakup gaya hidup kelas menengah atas. Namun ia begitu tumpul ke bawah, menindas kalangan pekerjanya sendiri,” terang Ignatius kepada Alinea, Jumat (2/2).
Kasus itu hanya sekelumit contoh pelanggaran terhadap jurnalis. LBH Pers mencatat daftar panjang pelanggaran terhadap jurnalis lainnya. Mereka pun mengelompokkan jenis pelanggaran yang rentan dialami jurnalis di antaranya adalah hubungan kerja yang semakin tidak standar seperti kontrak dan magang tanpa upah. Selain itu ada pula PHK sepihak, upah di bawah rata-rata, dan pemberangusan serikat buruh.
Khusus masalah terakhir, serikut buruh di Femina menjadi wadah penggalangan kekuatan.
“Namun ini pun belum jadi jaminan, keberadaannya bisa menekan jumlah pelanggaran di media yang bersangkutan. Apalagi jika perusahaan memiliki tradisi buruk,” sambungnya.
Contoh konkrit bisa dilihat di Inews TV, di mana perusahaan memberangus serikat buruh, sebagai buntut protes terhadap tujuh karyawan yang di-PHK di sana.
Pengebirian serikat buruh bukan hal baru di dunia media. Remotivi menulis, sejak 1986 upaya ini telah terjadi di Kompas. Sebanyak empat jurnalis penggagas serikat buruh dikucilkan, tetap digaji, namun tidak diberi tugas jurnalistik selama dua tahun berturut-turut. Kejadian serupa terulang pada 1995 dan 2006. Pada 2008, Serikat Karyawan Indosiar (Sekar) juga digembosi lewat PHK massal 71 karyawannya. Lalu pada 2009, Suara Pembaruan juga memberangus serikat pekerjanya dengan mendemosi dan menurunkan gaji karyawan.
Menurut Ignatius, serikat buruh bisa efektif apabila didukung dengan kemampuan negosiasi yang baik. Peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan tersebut mengungkapkan hal ini bisa jadi sarana yang ampuh.
“Sayangnya, asosiasi terbentur pada berbagai persoalan, baik yang bersumber dari abainya perusahaan media atau kesadaran berserikat yang minim dari kalangan jurnalis,” ungkapnya.
Hal ini diperparah dengan kekerasan simbolik yang dilagukan perusahaan, dengan membuat stigma, serikat buruh adalah hal negatif. Satrio Aris Munandar (2012) menyebutkan, pendirian serikat buruh hanya menghambat produktivitas jurnalis, pembangkangan terhadap nilai perusahaan, dan memicu konflik horizontal.
Berkaca dari hal itu, Satrio mengusulkan skema paling masuk akal, terkait pendirian serikat buruh di perusahaan media. “Pertama, serikat pekerja hanya mengurusi kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Kedua, ia menjembatani hubungan karyawan dan manajemen. Ketiga, memfokuskan diri pada isu strategis perusahaan. Ke depannya serikat buruh ikut duduk dengan direksi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan seperti yang pernah dicontohkan Kantor Berita Antara," urainya di laman Remotivi.