close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ilustrasi. Istimewa
icon caption
ilustrasi. Istimewa
Media
Jumat, 11 Februari 2022 16:22

Di balik 'jurnalisme' cengengesan

Menurut Budhiana, sekarang jutaan orang jadi reporter. Tapi tidak semua melakukan praktik jurnalistik.
swipe

Sekarang publik diuntungkan beragam platform media, banyak sekali pelaku dalam tanda kutip yang melaksanakan tugas jurnalistik. Muncul kemudian istilah netizen dan sebagainya. Platform pun bermacam-macam seperti media sosial, podcast, dan lainnya.

"Kehadiran platform-platform baru dengan makin luasnya jaringan, internet semakin kuat, menyebabkan setiap orang bisa menjadi pembuat konten. Kalau dulu, kreator konten hanya wartawan dan mendirikan media itu dulu mahal," kata mantan pemimpin redaksi Pikiran Rakyat Budhiana Kartawijaya.

Ditambahkannya, di era internet setiap orang adalah media. Tiap orang punya gawai. Setiap orang adalah reporter, bisa melaporkan apapun yang dia lihat dan saksikan.

"Tapi kalau dikatakan apakah setiap orang menjadi jurnalis, itu harus hati-hati! Karena pengertian jurnalistik itu ada yang menurut undang-undang dan terutama terhadap nilai-nilai jurnalistik yang ada disiplin-disiplin verifikasi, kesetiaan kepada kebenaran, dan jurnalis itu mengontrol pemerintah. Itu (selengkapnya) ada 10 elemen jurnalistik Bill Kovach bisa kita baca," tuturnya.  

Menurut Budhiana, sekarang jutaan orang jadi reporter. Tapi tidak semua melakukan praktik jurnalistik. Terutama disiplin verifikasi. Ini yang menyebabkan informasi menjadi chaos, banyak hoaks, jadi kebenaran itu tidak verifikatif, sehingga lahir istilah post-truth. Kebenarannya jadi kebenaran hoaks.

"Sebetulnya jurnalistik justru ingin menghindari hal-hal seperti ini. Seharusnya media mainstream menjadi pengawal verifikasi. Tapi saya melihat media mainstream justru terbawa arus. Membuat konten yang asal ramai, asal viral, rating tinggi, clickbait, tapi tidak menyelesaikan apa-apa," ujarnya.

Budhiana mengatakan, jurnalistik memang membutuhkan biaya. Tapi harus diatur seimbang antara bisnis dengan nilai-nilai kesetiaan kepada publik yang tidak boleh ditinggalkan. "Apa kita tega mendapatkan uang dengan jalan menyesatkan masyarakat lewat informasi keliru?" tanyanya.

Media arus utama sekarang menyandang tugas tambahan, yaitu mengklarifikasi, sebagai clearing house (lembaga yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah). Sementara beban media mainstream tidak ringan, mencakup persoalan terkait dengan kemampuan keuangan dan produksi.

"Sisi positif dari internet adalah membuka kesempatan yang luas bagi pengembangan model bisnis. Merek-merek besar memanfaatkan kebesaran mereknya untuk usaha-usaha lain yang bisa menopang praktik jurnalistik," kata Budhiana dalam podcast ApaKabarNews, Selasa (8/2/2022),

Dijelaskannya, sebetulnya ada kesalahpahaman tentang transformasi digital. Seolah-olah kalau memindahkan konten cetak ke digital itu selesai, maka dinamakan transformasi.

"Padahal 'kan bukan?! Media bukan sekadar mengangkat persoalan masyarakat, tapi juga mesti bisa menyelesaikan persoalan tersebut. Sifat transformasi digital seperti itu, bukan hanya pindah platform atau kerjaannya hanya cari iklan, mencari pembaca," ucap Budhiana, yang dari awal getol mempraktikkan, menularkan ilmu terkait dengan jurnalisme solutif, bahkan programnya sudah diaplikasikan di Myanmar.

Tayangan podcast ApaKabarNews, dipandu Noe Firman, jurnalis senior Pikiran Rakyat, menguraikan bahwa sejumlah podcast mampu menghadirkan berbagai narasumber dengan kredibilitas dan kompetensi tinggi. Keberadaannya telah menjadi alternatif bagi publik untuk mendapatkan informasi yang aktual sekaligus menghibur. Salah satunya podcast Deddy Corbuzier.  

Wakil Presiden K.H. Ma'ruf Amin, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, antara lain tokoh-tokoh penting yang pernah hadir di podcast bersangkutan.

Kepercayaan publik yang tinggi, menjadikan podcast Deddy Corbuzier sebagai referensi dalam perkembangan jurnalisme mutakhir. Sejatinya, kehadiran para narasumber seperti itu, merupakan kesempatan untuk melakukan konfirmasi langsung atas berbagai hal terkait kepentingan publik.

Pers sekarang platformnya berbeda-beda. Artinya wartawan dimanjakan berbagai sarana untuk menyebarkan informasi. Salah satu yang lagi populer, yaitu podcast, sehingga ada interaksi, wawancara, permintaan klarifikasi, konfirmasi secara langsung.

Bisakah podcast dimanfaatkan menjadi sarana informasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip jurnalistik? Apa publik kemudian mendapatkan informasi-informasi substansial dari berbagai narasumber yang kompeten dan kredibel itu? Atau sekadar numpang lewat saja?

Menurut mantan Pemred Tribun Jabar Cecep Burdansyah, teknologi digital seperti podcast memperkaya informasi. Jurnalistik semakin berkembang, melebar, dan masyarakat mendapatkan haknya untuk mengetahui dari lebih banyak alternatif. Trennya sekarang memang itu, untuk podcast, tapi apakah targetnya memang menyampaikan informasi yang benar atau sebetulnya untuk sekadar mencari subscriber (pelanggan) atau viewers (penonton)?

"Kelihatannya yang bermain di podcast itu bukan jurnalis, mayoritas yang banyak penonton itu bukan (produksi karya) jurnalis. Tetapi artis seleb seperti Deddy Corbuzier. Sayangnya memang tidak berbasis jurnalistik. Itu wajar bukan praktik jurnalistik secara utuh. Artinya yang ditampilkannya adalah para sumber pembuat berita (news makers). Tapi dia tidak mengkonfirmasi apa yang terjadi di masyarakat. Substansi masalah tidak tereksplorasi (dalam nuansa sebagai berita). Hanya menyentuh sedikit, tidak sampai ke dasar persoalan," kata Cecep.

Dicontohkannya, edisi podcast menampilkan Menko Marves. Jarang media massa bisa mewawancarai secara khusus menteri tersebut. Podcaster Deddy Corbuzier justru berhasil menggaet tokoh yang sering diburu wartawan.

"Banyak persoalan di bawah Kemenko Marves, termasuk masalahnya dengan aktivis HAM. Itu menjadi perhatian publik. Padahal itu bisa dimunculkan, diverifikasi, oleh pembawa acara. Tapi konten tidak sampai ke sana. Kontennya hanya bersifat hiburan, tertawa-tawa, seolah-olah informasi hanya bagian dari entertainment saja. Padahal ada sisi lain edukatif dan informatif. Dua sisi itu hilang," imbuhnya.  

Cecep menilai, di satu sisi, kedua penampil itu saling memanfaatkan. Deddy Corbuzier memanfaatkan ketokohan narasumbernya biar banyak penonton. Narasumber pula nebeng popularitas karena Deddy banyak fansnya.

"Sementara dia bisa menyembunyikan fakta. Karena Deddy Corbuzier tidak akan menggali fakta lebih jauh. Yang muncul adalah jurnalisme cengengesan," pungkasnya.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan