close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sineas Garin Nugroho dalam acara ulang tahun AJI menyinggung soal Pemilu 2019 yang dinilai sebagai momen perbenturan berbagai nilai di masyarakat.Alinea/Robertus Rony
icon caption
Sineas Garin Nugroho dalam acara ulang tahun AJI menyinggung soal Pemilu 2019 yang dinilai sebagai momen perbenturan berbagai nilai di masyarakat.Alinea/Robertus Rony
Media
Kamis, 08 Agustus 2019 17:00

Garin Nugroho: Masyarakat era 4.0, masyarakat niretika

Pemilu telah menjadi momen perbenturan berbagai nilai di masyarakat.
swipe

Puncak peringatan ulang tahun ke-25 Aliansi Jurnalis Independen, Rabu malam (7/8/2019) ditutup dengan orasi budaya Garin Nugroho. Sineas yang belum lama ini menarik perhatian publik dengan film terbarunya berjudul Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body) itu menyinggung soal Pemilu 2019. 

Dengan penuturan tegas dan tangkas, Garin menyinggung sejumlah gejala kedangkalan berpikir dan beretika dalam kultur masyarakat Indonesia di era revolusi 4.0. Menurut Garin, gambaran itu terlihat sangat gamblang dalam peristiwa Pemilu langsung, April 2019.

Jauh sebelum pemilu serentak digelar pada 17 April lalu, Garin telah menerka Pemilu langsung hanya akan menjadi medium buruk terbesar yang memecah-belah publik. Dengan sesekali membuka-buka lembaran naskah pidatonya, Garin menguraikan, alih-alih menjadi kesempatan terpenting menentukan pemimpin, pemilu telah menjadi momen perbenturan berbagai nilai.

“Politik identitas, kultur masyarakat hibrid, post-truth, juga ketidaksiapan infrastruktur Pemilu. Semua bertemu dan terbentur dalam medium Pemilu Langsung,” ujarnya. 

Dampak buruk itu pun berujung dengan kematian ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bagi Garin sangat membuat miris.

“Etika publik menjadi rendah akibat pemilu langsung. Semua segi kehidupan masyarakat menjadi serba massa,” kata dia.

Garin menambahkan, kondisi masyarakat massa itu terkait gaya hidup publik yang terkungkung konsumsi media sosial. Hal ini antara lain tampak dari budaya “kemasan” yang artifisial di media sosial.

“Pada akhirnya semua jadi generasi topping (pelengkap pemanis makanan), tagar, dan viral. Kalau sudah tagar, hidup seakan sudah selesai,” kata Garin. 

Rendahnya minat dan budaya baca dan kaderisasi politisi yang mandek oleh Garin disebut juga sebagai tanda kultur massa dalam bentuk baru.

Tak kurang, berbagai hoaks yang mudah tersebar menjadi corak lain fenomena pascakebenaran dalam masyarakat revolusi 4.0. Dia membandingkan, kosakata yang berkembang belakangan sesungguhnya hanya bersalin nama dari perbendaharaan kata di masa Orde Baru.

“Kalau dulu orang mengenal ‘makar’ atau ‘subversif’, sekarang kita menyebut-nyebut ‘ujaran kebencian’,” kata Garin mencontohkan.

Oase kemanusiaan

Dia pun menyimpulkan, karakter budaya masyarakat sekarang sesungguhnya hanya tumpukan dari karakter publik dalam era-era sebelumnya. Maka dari itu, dia mengusulkan solusi upaya membongkar warisan sikap hidup dan pola pikir di era revolusi sebelumnya.

Garin lantas mengajak para insan pers untuk memaknai perannya sebagai oase di tengah kondisi kekeringan etika publik.

“Jurnalisme adalah mata air kemanusiaan, ia berakar dari kemanusiaan,” katanya.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan