close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ilustrasi. foto Pixabay
icon caption
ilustrasi. foto Pixabay
Media
Jumat, 12 November 2021 08:51

Gelembung isu Covid-19 di Indonesia

Terlalu banyak informasi membuat semua kalangan gagap dalam mengolah isu Covid-19.
swipe

Media merupakan salah satu corong menyampaikan berita kepada publik. Media sangat berperan untuk itu. Bagaimana peran media arus utama dalam menangani masalah komunikasi publik?

"Sekarang kita berhadapan dengan banyak sekali informasi. Media pun juga, sebagai pihak yang mengelola informasi tersebut, berhadapan setiap hari pusing juga gitu ya karena sebelum ini saja informasi sudah banyak," kata Maria Benyamin.

Pemimpin redaksi Bisnis Indonesia berbicara dalam Public Affairs Forum Indonesia digelar Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) seperti ditayangkan Youtube, Selasa (2/11).

"Ditambah lagi dengan pandemi COVID-19 dari bulan Desember lalu. Praktis dari Desember sampai bulan depan itu sudah setahun. Ternyata informasi semakin banyak dan semakin ke mana-mana. Kalau kita lihat di sini, isu COVID saja ini banyak. Ada fasilitas kesehatan, kampanye yang belum kelar-kelar dan memang tidak akan kelar karena ini harus terus digaungkan, plus pemulihan ekonomi itu sendiri. Belum lagi Bansos (bantuan sosial), vaksin, Alkes (alat kesehatan), terus kasus positif yang juga bertambah setiap hari ini," katanya.

Menurut Maria, hal itu membuktikan bahwa memang isu ini tidak akan habis. Isu ini akan terus ada di waktu-waktu yang akan datang. Parahnya lagi, khusus untuk COVID-19, dia melihat dari media bahwa informasi tentang COVID sendiri juga belakangan ini justru semacam satu bersaing dengan yang lain, sehingga seperti tidak sinkron dan tidak terintegrasi.

"Satu contoh yang saya lihat di sini, misalnya, terkait dengan COVID di satu sisi ada kampanye tentang Prokes (protokol kesehatan) dan di sisi lain tentang vaksin. Ketika kampanye tentang vaksin, mulai vaksin masuk sejak hari Minggu belum lama ini, dan Presiden akhirnya mengumumkan itu. Memang kita melihat ada semacam euforia yang sangat besar, tidak hanya di masyarakat," ujar Maria.

Ditambahkannya, sadar atau tidak sadar di kalangan pemerintah sendiri juga membuat berita ini jadi seperti berita besar. Eforianya terasa sekali. Semua orang akhirnya bicara tentang vaksin seolah-olah semua orang itu akan melihat bahwa vaksin sudah datang, maka tenang saja, COVID akan segera pergi. Padahal mereka (semua orang itu) tidak melihat proses sampai kemudian vaksin itu disuntikkan ke masyarakat. Apakah vaksin itu juga disuntikkan ke orang-orang mana saja juga masih belum diketahui. Bisa saja mungkin tahun depan, sekitar bulan Februari-Maret itu, baru terjadi vaksinasi.

"Tetapi saat itu, yang saya tangkap, dan media kami juga melihat. Itu semua orang juga seperti melihat vaksin sudah ada di depan. Kita siap bangkit lagi, kita siap mulai lagi kegiatan secara normal. Itu yang menurut kami media, saat itu, pemerintah mungkin terlalu bereforia, sampai beberapa menteri selain Presiden akhirnya ikut menggelar jumpa pers. Dan ini membuat kami sendiri bingung, karena (acara itu) pada saat yang sama. (Sementara) kita juga masih menjalankan kampanye tentang 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan). Kampanye 3M ini juga seperti ketika datang isu tentang vaksin ini akhirnya menutupi kampanye 3M. Seolah-olah orang melihat bahwa sudah tidak perlu lagi 3M, santai-santai saja, sudah tidak usah lagi cuci tangan, dan sudah tidak ketat memakai masker," urainya.

Maria menilai, hal itu mungkin tidak terlalu terasa di Jakarta. Tetapi begitu menengok ke daerah di luar Jakarta, semua orang seakan-akan melihat bahwa kondisi sudah aman karena vaksin datang di Indonesia, jadi mereka mengabaikan saja 3M. Seolah-olah ada sesuatu seperti itu, sehingga menjadi tugas berat lagi.

Di harian Bisnis Indonesia (BI) juga, seingat Maria, ketika kedatangan vaksin, isu tersebut diangkat dalam halaman 1. Tetapi koran BI dengan jelas mengingatkan bahwa vaksin bukan segala-galanya. Vaksin hanya salah satu jalan untuk mencapai kondisi semula. Tapi yang terutama harus dilakukan masyarakat di saat ini adalah mematuhi protokol kesehatan. Itu yang terus didorong, sehingga jangan terbalik.

"Itu yang saya lihat agak-agak berlebihan ya di situ komunikasi publiknya, sehingga akhirnya agak-agak sampainya ke masyarakat juga bingung. Dan sebenarnya kalau merunut ke belakang lagi, itu banyak sekali yang terjadi. Tetapi saya sepakat bahwa kita tidak usah lagi melihat ke belakang, yang penting sekarang ke depan apa yang harus kita lakukan," terangnya, seraya menguraikan bahwa Indonesia masih punya waktu untuk mencapai kondisi lebih baik. Karena orang masih akan berhadapan dengan vaksin ini dalam waktu yang cukup lama.

Dikatakan, selain isu COVID, Indonesia juga masih berhadapan dengan isu ekonomi, hukum, politik, dan isu-isu lain. "Misalnya, di ekonomi sendiri, kita juga ramai dengan Undang-undang Cipta Kerja. Itu juga, lagi-lagi kalau kita lihat kemarin, ada problem yang kita sadari bersama ketika RUU Cipta Kerja kemudian disahkan, lalu sampai ke publik dan akhirnya jadi ramai sekali di masyarakat. Kita melihat dengan jelas bagaimana isu itu kemudian dimainkan oleh segelintir orang yang punya kepentingan dan kemudian sampai ke masyarakat sehingga bisa membakar semangat orang-orang yang sebenarnya tidak tahu tentang UU Cipta Kerja itu apa. Kemudian, sampai agak miris, karena yang juga ikut terprovokasi itu anak-anak SMP anak-anak SMA yang tidak tahu," katanya.

Maria melihat UU Cipta Kerja bagus sekali. Tetapi komunikasi tidak berjalan dengan baik yang menyebabkan isu tersebut kemudian liar di masyarakat dan berkembang menjadi kekacauan. Kenapa bisa terjadi?

"Karena memang kondisi sekarang kita tahu ada perlawanan antara satu pihak dengan yang lainnya. Kita semacam terbagi ke dalam dua pihak. Terus, yang kedua, ego sektoral dari masing-masing. Berikutnya, inkonsistensi informasi. Yang mungkin harus juga diakui bahwa memang (proses perundang-undangan tersebut) kurang transparan. Karena tidak semua pihak mau transparan di tengah kondisi saat ini," klaimnya.

Di media sendiri, katanya, ketika mengangkat suatu isu, ada berbagai macam pertimbangan. Ada berbagai rasionalitas di media ketika mempublikasikan sebuah berita. Jadi kalau dilihat, dulu itu, mungkin selalu berlaku 'bad news is good news' pasti ada di kacamata media. Sehingga ketika ada berita yang buruk, media melihat bahwa ada sasaran empuk. "Ini berita oke banget, itu dulu, tapi dalam kondisi sekarang -- mungkin saya tidak bisa menyamaratakan semua media -- tapi ada media yang masih memakai prinsip seperti ini, yang masih mengusung prinsip bahwa yang buruk-buruk itu, yang kemudian akan dikonsumsi oleh masyarakat," ungkapnya.

Ungkapannya berlanjut dengan membeberkan kemajuan yang justru lebih parah lagi di mana sekarang era digitalisasi membuat kemudian banyak media online berseliweran. Data Dewan Pers terakhir, ada 43 ribuan media online. Dari itu, yang tidak terverifikasi banyak sekali. Dan mereka (di media online yang berseliweran) itu berlaku hukum besi clickbait, yang kemudian menerbitkan berita-berita yang sebenarnya antara isi dengan judulnya berbeda.

"Masyarakat ketika melihat ke judulnya langsung (menganggap) 'Ini beritanya oke!'. Begitu diklik, ternyata isinya beda. Itu banyak sekali. Karena, ya itu tadi, akhirnya orang tergiring untuk mencari semacam traffic saja gitu kan? Karena eranya era menghamba kepada trafik. Maka prakteknya sekarang ini banyak sekali media yang juga akhirnya membuat atau rajin memberitakan berita-berita yang sebenarnya tidak benar. Tetapi buat mereka, itu konsumsi bagus buat publik, yang menaikkan trafik dan rating mereka," tutur Maria.

Awak media mengerti situasi saat ini. Kalau ditinjau dari media masing-masing juga punya pertimbangan tersendiri. Khusus di Bisnis Indonesia, kepemimpinan Maria sangat memahami bahwa mereka bekerja di koran yang dibaca, koran dan platform online yang dibaca, oleh kelas ekonomi, pebisnis, dan pembuat kebijakan. Koran BI hati-hati sekali ketika mengangkat sebuah pemberitaan. Pemberitaan yang diangkat betul-betul juga menimbang proporsionalitas, tidak bisa asal-asalan saja.

Dicontohkannya bahwa China salah satu negara yang sukses, berbalik dengan cepat, ekonominya juga pulih dengan cepat. Karena salah satu faktor di balik kesuksesan, berbalik cepat, dan ekonomi pulih itu tidak adanya misinformasi di Negeri Tirai Bambu. Bila dibandingkan dengan di sini (Indonesia), betapa banyak misinformasi yang terjadi, sehingga jangan heran juga kalau sampai sekarang perekonomian masih belum bisa terpacu dengan maksimal, katanya.

"Saya melihat berita-berita buruk, yang ada sekarang ini, yang berseliweran. Itu datang bukan dari kesalahan informasi itu sendiri. Kan berita-berita itu juga mungkin berita-berita bagus? Tetapi terjadi kesalahan dalam penyampaian informasi. Jadi pengelolaan informasi, yang menurut saya, tidak dilakukan dengan matang. Sehingga apa? Sehingga membuka ada banyak celah... gitu ya. Sedikit atau banyak, tapi ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk menekan trigger sebuah pemberitaan dari media," sambungnya.

Celah pemicu tersebut dikaitkan Maria dengan kembali mencontohkan UU Cipta Kerja. UU itu tujuannya baik, tapi karena tidak disiapkan matang, tidak diartikulasikan dengan baik, jadilah produk clickbait, dan diolah seperti sulap oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi, dan kemudian menyebar jadi isu panas.

Menyinggung ihwal berita yang dipublikasikan, Maria menuturkan bahwa praktisi media pasti akan melihat apa yang sangat berhubungan erat dengan siapa yang membaca. Pertimbangannya bukan dari informasi apa yang diberikan, tetapi relevansi dengan pembaca itu seperti apa. Relevansi tersebut, yang mungkin perlu juga harus diingat, sehingga bagi orang-orang yang banyak berhubungan dengan media, kadang-kadang mungkin menganggap bahwa semua berita pasti akan laku di media. 

Atau setiap kali menyebarkan siaran pers pasti juga akan laris. Tapi harus dilihat juga relevansi dengan masyarakat itu seperti apa. Informasi yang diberikan kepada media juga harus punya relevansi dengan masyarakat umum. Atau juga harus dilihat, jangan-jangan akan kontradiktif dengan opini publik. Salah satu poin yang perlu diperhatikan oleh semua.

"Saya perlu menekankan satu hal bahwa kami sejak awal pandemi hingga (periode) pertengahan bahwa Bisnis Indonesia pernah dengan vokal -- dalam beberapa edisi -- kami meminta agar segera dilakukan lockdown (penguncian wilayah)," katanya.

Diingat Maria, kala itu, edisi pada tanggal belasan di bulan Maret, beberapa kali terbitan, Bisnis Indonesia terus menyuarakan perlunya lockdown. Saatnya mengunci Jakarta. Saat itu, kenapa mereka mengusung suara seperti itu? Karena banyak pertimbangan yang masuk, tidak hanya dari pelaku usaha, tetapi juga dari masyarakat. Maria cs melihat penyebaran (virus) mulai keluar dari Jakarta. Tetapi juga melihat dari banyak perspektif. Sehingga muncullah, ketika itu, korannya mengangkat headline besar-besar: Saatnya kita mengunci Jakarta atau waktunya lockdown.

Tatkala menyuarakan hal tersebut, mereka menuai banyak pendapat, malah muncul semacam kecaman. Sempat terdengar selentingan mengapa dirinya berani sekali ngomong lockdown, harus lockdown, Jakarta harus dikunci. Bahkan sejumlah pertanyaan: Kalau Jakarta terkunci bagaimana ekonomi? Dua Minggu saja ditutup akan bagaimana jadinya ibu kota?

"Saat itu, kenapa kami mengambil sikap seperti ini? Dengan berdasarkan tentu saja perspektif yang proporsional dari semua pihak. Sekali lagi, perspektif yang proporsional dari semua pihak. Jadi tidak memaksakan kehendak kami sendiri atau tidak mengusung satu kepentingan tersendiri, yaitu kepentingan pelaku bisnis. Itu tidak. Kami melihat itu mungkin pilihan yang paling tepat saat itu. Sebelum kasus (COVID-19) melebar ke luar Jakarta. Karena kalau sampai ke luar Jakarta, kita pasti semua sudah bisa membayangkan makin banyak kasusnya," ucapnya.

Di saat itu, kemudian pemerintah memberi penjelasan, langsung dari Presiden. Kebetulan Maria salah satu pemimpin redaksi yang ikut berkesempatan hadir dalam audiensi dengan Presiden di Istana. Presiden menjelaskan apa pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh pemerintah. Sehingga memutuskan untuk tidak memberlakukan lockdown.

"Termasuk salah satu pertimbangan waktu itu, Pak Presiden sampaikan, adalah betapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh negara karena di dalam undang-undang kekarantinaan wilayah itu, ketika akan melakukan lockdown, maka negara harus menanggung biaya tidak hanya masyarakat, tetapi juga sampai hewan ternak. Jadi bayangkan, biaya yang dikeluarkan juga sangat besar. Tetapi pada saat itu kami --  istilahnya apa ya? -- kami menerima ketika misalnya Presiden sudah mengatakan itu," tukasnya.

Kembali ke pekerjaannya, Maria memperbarui lagi informasinya dengan perspektif yang beragam dari sudut-sudut yang lain. Akhirnya Bisnis Indonesia kembali bergerak untuk tidak lagi memaksakan kehendak bahwa pemerintah harus menerapkan lockdown. Tampaknya itu sedikit lebih realistis.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan