Kabar wafatnya Bacharuddin Jusuf Habibie, Selasa (10/9) pagi lalu menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kabar itu beredar di Facebook dan menyebar lebih jauh di Whatsapp.
Kabar yang beredar di media sosial itu hoaks alias bohong belaka. Saat itu, Habibie masih dirawat secara intensif di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.
Info itu memukul perasaan keluarga besar Habibie. Putra bungsu Habibie, Thareq Kemal Habibie, dalam keterangan pers di lobi RSPAD Gatot Subroto, Selasa lalu (10/9), mengungkapkan bantahan keras terhadap hoaks yang menyebutkan ayahnya meninggal.
“Jangan percaya pada berita hoaks. Keadaan Bapak sudah stabil dan membaik, hanya saja Bapak masih sangat lemas, sangat capek,” katanya menekankan.
Thareq justru mengharapkan publik turut mendoakan ayahandanya agar dapat pulih kembali. Thareq mengatakan Habibie membutuhkan istirahat penuh. Maka, keluarga pun bermaksud mengurangi kunjungan pihak luar yang ingin membesuk Habibie.
“Mohon benar-benar dimengerti, kecuali tamu terpenting, hanya orang khusus dan sangat terbatas yang boleh menjenguk,” kata Thareq.
Sehari setelah hoaks tersebut beredar, pada Rabu (11/9) pukul 18.03 WIB, Habibie dinyatakan mangkat.
Selain pada tahun ini, mendiang Bapak Teknologi Indonesia itu beberapa kali pernah diisukan meninggal dunia. Catatan Alinea.id, setidaknya ada tujuh kabar hoaks terkait Habibie meninggal. Habibie dikabarkan meninggal di Jerman, pada 26 Februari 2012 lalu. Info serupa juga pernah berembus pada 2 Desember 2014. Bedanya, kali ini Habibie dikabarkan meninggal di RSPAD Jakarta.
Habibie juga pernah dikabarkan meninggal pada 1 November 2016, 4 Januari 2017, 30 Maret 2017, dan 4 April 2018.
Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Afwan Purwanto mencermati, hoaks itu beredar lantaran faktor keterkenalan BJ Habibie.
“Untuk orang-orang biasa, hoaks tentu tidak berlaku. Tokoh yang dijadikan objek hoaks, yaitu Habibie sangat berpengaruh terhadap jumlah hoaks yang cukup banyak,” tutur Afwan saat dihubungi Senin (16/9).
Aribowo Santoso, Ketua Komite Fact Checker Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), berpendapat senada. Baik dalam lingkup nasional maupun internasional, figur publik kerap menjadi sasaran hoaks dengan cara diberitakan telah meninggal dunia.
“Ada yang diisukan meninggalnya tiap tahun, ada yang bahkan dikabarkan meninggal dalam tahun yang sama. Semakin terkenal tokohnya, risiko menjadi hoaks semakin tinggi,” kata Aribowo ketika dihubungi reporter Alinea.id, Senin (16/9).
Aribowo membandingkan hal itu dengan pemberitaan terkait meninggalnya Paul Walker, aktor Hollywood yang bermain dalam film-film The Fast and The Furious. Paul Walker meninggal pada 30 November 2013 karena kecelakaan mobil di area dekat Kelly Johnson Parkway di Valencia, Santa Clarita, California, Amerika Serikat.
Kala itu, menurut Aribowo, tingkat pencarian berita terkait Paul Walker meninggal dunia mencapai 100% di Google Search. Hal ini menjadi ukuran bahwa publik internasional bermaksud mencari tahu kebenaran kabar tersebut.
“Kemauan publik internasional untuk mengecek informasi terkait Paul Walker terlihat sudah semakin meningkat,” katanya.
Bercermin dari kasus itu, Aribowo mengatakan publik pengguna internet (warganet) di Indonesia semestinya harus juga mengecek apakah informasi yang diterimanya betul atau tidak.
“Publik sebaiknya verifikasi dulu sebelum menyebarkan,” ujarnya.
Sementara itu, ahli neurosains dari Tokyo University Dr Ryu Hasan menawarkan peningkatan kecerdasan emosional sebagai pemandu warganet dalam mengonsumsi informasi yang tersedia melalui media sosial.
“Kecerdasan emosional jauh lebih penting daripada kecerdasan logika,” kata Ryu. Hal itu, kata dia, dipraktikan dengan membangun kebiasaan publik untuk cermat menyaring informasi. Caranya, menimbang lebih dulu dan memastikan kebenaran fakta dalam berita sebelum membagi pesan atau postingan di media sosial.