close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Budiyanto (tengah) saat meliput di Irak 2005. foto Dok Pribadi
icon caption
Budiyanto (tengah) saat meliput di Irak 2005. foto Dok Pribadi
Media
Sabtu, 24 Juli 2021 19:07

Imajinasi dalam berita, Budiyanto 27 tahun di TV (Bag 1)

Namanya memang singkat, Budiyanto, tetapi perjalanannya berkecimpung di jurnalistik panjang, dan menarik.    
swipe

Budiyanto adalah salah satu wartawan senior televisi, yang sampai hari ini masih berkiprah, mengabdi pada jurnalistik. Pengalamannya luas terutama di lingkup liputan area konflik. Pada 2005, kegiatan jurnalistiknya menyedot perhatian publik. Sampai-sampai Presiden SBY pun turun tangan. Ketika itu, Ia bersama Meutya Hafidz sempat disandera kelompok bersenjata di Irak. Bersyukur situasi genting itu berakhir bahagia. Ia bisa kembali ke Tanah Air dengan selamat.   

Hingga kini, sudah 27 tahun ia mengabdikan diri sebagai jurnalis televisi, Budiyanto selalu tampak energik. Ia mencurahkan tenaga dan pikirannya di gelanggang redaksi dengan determinasi tinggi. 

Rekan-rekannya dan juniornya di MetroTV mengakui Budiyanto adalah sosok yang ulet, tekun dan pekerja keras. Ia bisa hadir di kantor pukul 06.00 WIB untuk memberi pengarahan pagi, meski sebelumnya ia baru saja pulang tengah malam. Itu rutin, bukan sekali dua kali.  

Maklum, bagi Budiyanto, jurnalistik bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi cinta pertamanya. 

Ya, sejak kecil profesi jurnalis memang jadi impian kelahiran Magelang 1967 ini. Kecintaannya kepada jurnalisme yang tumbuh saat Ia belia, masih terus menyala hingga di usianya yang sudah lebih setengah abad ini. Namanya memang singkat, Budiyanto, tetapi perjalanannya berkecimpung di jurnalistik panjang, dan menarik.    

Arpan Rahman dari Aline.id berbincang dengan pria yang pembawaannya ramah ini untuk sekadar berbagi pengalamannya malang-melintang di dunia jurnalistik Tanah Air, terutama sebagai jurnalis televisi. 

Wawancara dengan Budiyanto yang merupakan bagian dari jurnalis generasi pertama MetroTV ini, akan disajikan ke dalam empat artikel. 

Imajinasi dalam berita, Budiyanto 27 tahun di TV

“...Dunia dalam berita,
berita dalam dunia
Ada yang menyenangkan,
ada yang menyedihkan

Ada yang membangun,
ada yang bikin bingung
Sungguh asyik
dunia dalam berita...”

Lirik lagu berjudul ‘Dunia dalam Berita’ diciptakan Abu Ali Haedar, dinyanyikan grup kasidah Nasida Ria. Penciptanya menyamar dari nama aslinya: Kyai Haji Bukhori Masruri. Almarhum mantan ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah.

Imajinasi dalam berita

Siapa nyana, program berita TVRI yang pertama kali disiarkan 22 Desember 1978 itu menggoreng imajinasi seorang bocah di Magelang pada tahun ‘80-an. “Memang cita-cita saya sejak kecil, sering itu dulu ‘kan senang nonton Dunia dalam Berita di TVRI. Saya selalu kepingin bagaimana ya bekerja di televisi?” kata Budiyanto (54) kepada Alinea.id, Selasa (20/7).

Dia suka berguyon dengan bapaknya yang buta huruf, “Pak, bagaimana ya kalau bekerja di TV?” Jawab sang bapak, “Kamu belajar yang rajin, jadi orang pintar.” Kira-kira seperti itulah.

Dari proses panjang satu perjalanan, akhirnya Budi masuk ke dunia penyiaran. Tetapi diawali dulu dengan bekerja di toko yang menjual peranti siaran. Di situ, dia mulai belajar menguasai perangkat siar termasuk fotografi dan kamera video.

Imajinasi dari tahun ‘80-an masih terus mengendap dalam benaknya. Cita-cita sejak usia 13 tahun lantas berkembang ketika Budi mendapat tantangan baru di Bali.

“Waktu itu mengoperasikan sebuah unit usaha PT Sarana Aksara di Bali tahun 1992-1994. Dari bekal saya menguasai dunia perangkat siar dan fotografi kemudian mendapat tantangan itu, saya mengelola rumah produksi di sana,” tutur Budi. Mulai dari itu, dia berkutat dengan praktik bagaimana merancang pola bisnis untuk profil perusahaan, dokumentasi, produksi-produksi video seperti spot iklan.

Pada 1994, pintu pekerjaan terbuka menjadi karyawan di Indosiar Visual Mandiri. Indosiar di awal-awal membuka sebuah peluang bagi dirinya untuk dididik sebagai angkasawan. Dia masuk melalui proses seleksi di Indosiar, selanjutnya menjalani pelatihan baik dari instruktur dalam negeri maupun luar negeri.

Walaupun lulus, Budi harus menunggu sampai siaran Indosiar mengudara. Sedang butuh nafkah, sementara kehabisan order, waktu itu dia sudah pindah dari Bali ke Jakarta. Kebetulan rekan sekelas dalam seleksi dan pelatihan di Indosiar tadi, ada yang sudah meloncat ke ANTV, namanya Rahmayanto.

“Bud, kamu mau nggak Bud, kerja di ANTV?” Rahmayanto bertanya.

“Jadi apa?” dia balik tanya.

Kata Rahmayanto: Editor; “Kamu bisa kan?”

Tentu dia bisa. Karena bekal awal belajar peranti siar sejak bekerja di toko yang menjual peralatan siaran dan fotografi. Budiyanto lalu mengelola rumah produksi di Bali dan memahami bagaimana seluk-beluk desain produksi. Dua bekal tersebut yang menguatkan dia masuk ke Indosiar. Berikutnya, bermodal dasar kuat itu, dia langsung dites di ANTV. Lulus juga.

“Pertimbangan ekonomis yang paling dekat untuk mendapatkan duit, saya masuk ANTV saja. Hampir lima bulan ikut pelatihan di Indosiar, dari Januari-Mei 1994. Nah tahun yang sama, di bulan Juni, saya masuk ke ANTV,” ujar Budi.

27 tahun di TV

Dari 1994 sampai tahun 2000 bekerja di redaksi sebagai video editor ANTV. Dia belajar lagi tentang sisik melik produksi berita. Bagaimana dunia jurnalistik, bekerja sebagai tim, dan mendapatkan ilmu dari sisi dasar jurnalistik, kemudian juga konsep penyiaran.

Asyik sepanjang perjalanan di ANTV, kemudian dia melihat terbit kabar bahwa MetroTV terbuka. Itu tahun 2000. Seorang seniornya sewaktu di ANTV sudah pindah ke MetroTV. Lagi-lagi, dia dirayu: “Bud, kamu mau nggak pindah di MetroTV?”

Sempat bimbang juga, pikirnya, “Ah, aku sudah kerja di ANTV hampir tujuh tahun, masa’ aku mau pindah lagi, mulai dari nol lagi?”

Tapi dilihatnya MetroTV saat itu sebagai salah satu televisi berita pertama di Indonesia. Budi pun mempertimbangkan satu tantangan baru: “Bolehlah. Akhirnya saya masuk. Cuma wawancara saja, tidak ada tes apapun.”

Ketika di ANTV tidak melalui proses seleksi yang sangat ketat karena keahlian dinilai sudah cukup dan pengalamannya mumpuni. Kemudian di MetroTV sama saja. Cuma psikotes saja plus wawancara, ya sudah itu, masuklah dia.

Memasuki MetroTV tahun 2000 sebelum stasiun itu bersiaran, masih berbentuk cikal-bakal televisi. Dia bergabung langsung. Kira-kira, baru masuk dua minggu, Budiyanto segera mendapat tugas ke Ambon. Kala itu sudah satu tahun peristiwa berdarah di Ambon, keonaran komunal antara sekelompok Kristen kontra Muslim. Ibukota Maluku tengah diterpa malapetaka kemanusiaan yang superdahsyat. Baru dua minggu dia bekerja di MetroTV, dikirim ke sana.

“Satu bulan lebih kira-kira waktu itu di Ambon. Kenapa dikirim ke sana? Karena saya memiliki keahlian yang sudah saya miliki sebelumnya. Saya bisa edit video, sebagai video editor. Saya juga bisa jadi kameraman. Dan saya juga memiliki keterampilan untuk membuat berita, menulis berita,” serunya.

Dari kemampuan banyak segi itulah, ketika bergabung di MetroTV, Budi dipercaya untuk penugasan pertama kali ke luar kota. Di Januari 2000, dia meliput Ambon. Menyerukan kesaksiannya: “Di sanalah kita bagaimana sebagai wartawan lapangan mengenal langsung, meliput di zona konflik. Itulah perjalanan saya masuk ruang lingkup di dunia jurnalistik.”

Memajukan MetroTV, yang proses kelahirannya dengan sumberdaya manusia masih terbatas, beruntung dia punya keahlian di segala lini. Kepiawaian multitalenta yang membuat kemungkinan mempermudah banyak pekerjaannya. Lagi pula dia ikut memikul tanggung jawab perusahaan.

Berbagai kesempatan penugasan, dia ke mana saja, di luar kota maupun mancanegara. Budiyanto seperti terjamin jadi pilihan utama. Sepuluh tahun sudah pun tidak terasa. Kenyang dia berkeringat liputan, mengenyam asam-garam reportase, mengemban tugas lapangan.

Sejak 2004, empat tahun telah bergabung di MetroTV. Dia diminta menjabat Chief Camera Person membawahi seluruh kameraman yang ada di MetroTV Jakarta dan biro-biro daerah. Berkembang dari situ, kariernya melesat, jabatan naik seperti tangga hidup.

Ke balik meja, tugas struktural menjadi Kepala Stasiun MetroTV Jawa Timur dari 2009 sampai 2012. Kembali lagi ke Jakarta, tahun yang sama, sebagai kepala Desk Camera Person, lingkupnya lebih luas. Kalau sebelumnya hanya sebagai supervisor, kali itu jenjang di atasnya.

Satu tahun berganti, pada 2013 Budiyanto merupakan Sekretaris Jenderal Redaksi MetroTV sampai pertengahan 2018. Pada Januari 2018 dia diminta menduduki posisi Wakil Pemimpin Redaksi di Medcom.id. Berselang 12 bulan, dia memimpin redaksi Medcom.id hingga Juni 2021. Sejak awal tahun pandemi ini, selain jadi Pemred juga Wakil Pemimpin Redaksi MetroTV. Dia sempat rangkap jabatan.

“Posisi itu berjalan sampai 2021 bulan Juni tanggal 15, saya diminta untuk fokus di MetroTV sekarang,” ungkap Budiyanto. Perjalanannya cukup panjang, secara bertahap dan berjenjang.

“...Australi kebanjiran,
Afrika kekeringan
ASEAN perdamaian,
Persia pertikaian

Sungguh asyik
dunia dalam berita...”

- Nasida Ria (2007)

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan