close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Praktik tambal-sulam dari media lain dilakukan di sejumlah media di Indonesia. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Praktik tambal-sulam dari media lain dilakukan di sejumlah media di Indonesia. Alinea.id/Oky Diaz.
Media
Rabu, 03 April 2019 10:00

Jurnalisme kurasi, kemalasan wartawan menggapai sumber?

Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli mengatakan, praktik kutip-mengutip sumber antarmedia bisa dibenarkan.
swipe

Kemudahan akses informasi melalui internet dewasa ini membuat sejumlah media online memilih menjadikan sumber dari media lain, dengan metode tambal-sulam. Praktik semacam ini, di dalam artikel Josh Sternberg berjudul “Why Curation Is Important to the Future of Journalism” yang terbit di Mashable.com, 10 Maret 2011, disebut sebagai kurasi konten.

Sternberg menulis, kurasi konten adalah mengumpulkan semua informasi yang terfragmentasi ke dalam satu lokasi, yang memungkinkan orang untuk mendapatkan akses ke konten yang lebih khusus.

Orang yang bertugas mengkurasi melakukan penyaringan informasi yang dianggap akurat dan kredibel untuk disajikan kembali kepada publik dengan memberinya konteks. Kredibilitas, seperti yang ditulis dalam artikel itu, merupakan kunci dari media yang mempraktikkan proses produksi konten semacam ini.

Torie Rose DeGhett, seorang staf penulis di Current Intelligence dan bloger di The Political Notebook, yang dikutip dalam artikel tersebut mengatakan, membangun kepercayaan penting bagi mereka untuk memvalidasi kurasi sebagai bentuk evolusi dari jurnalisme, dan mereka percaya kerja-kerja yang dilakukan harus memiliki standar yang sama dengan para jurnalis.

“Intinya adalah untuk membagikan (item berita) dan mengarahkan orang ke sana, bukan untuk mengklaimnya sebagai milik Anda. Sumber yang saya pilih dimaksudkan untuk membuat argumen dan mendukung hal-hal tertentu, bukan menyajikan semua yang ada di luar sana," kata DeGhett, seperti dikutip Josh Sternberg dalam artikelnya “Why Curation Is Important to the Future of Journalism” di Mashable.com, 10 Maret 2011.

Sementara menurut reporter lepas teknologi Frederico Guerrini dalam artikelnya “Newsroom Curators and Independent Storytellers: Content Curation as a New Form of Journalism” dalam reutersinstitute.politics.ox.ac.uk (2013), pada dasarnya seorang kurator merupakan orang yang mengambil banyak sekali bahan, dan mengubah kekacauan menjadi teratur.

Di dalam pandangan Guerrini, kurator konten berfungsi sebagai filter yang akan menyaring seluruh informasi yang dianggap penting, serta melakukan verifikasi terhadap sumber yang dipilih, memberi konteks, dan menyebarkannya kepada pembaca.

Saat ini, kurasi konten memainkan peran sentral bagaimana berita dibuat di ruang redaksi, dan kemudian dikirim ke pembaca. Tanpa melepaskan keterampilan tradisional mereka, wartawan semakin berfungsi menjadi manajer informasi. Di Indonesia praktik semacam ini juga banyak terjadi.

Sumber primer

Menanggapi hal ini, peneliti media dari Remotivi, Roy Thaniago mengatakan, dalam proses produksi konten sebuah media, praktik semacam ini bisa dibenarkan. Roy menganalogikan menulis berita seperti memasak. Bila seseorang ingin mendapatkan hasil masakan yang baik, ia harus memilih bahan-bahan terbaik yang ia temui.

“Konteks yang sama juga terjadi di berita. Bahan yang baik menghasilkan berita yang baik,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (1/4).

Menurut Roy, bahan terbaik untuk berita adalah bahan-bahan berupa data primer. Ia mencontohkan tentang pemberitaan kasus pencurian. Data primernya, kata dia, saksi yang melihat langsung kasus itu.

Verifikasi dan validasi data tetap penting dalam praktik jurnalisme kurasi. /Pixabay.com

“Kalau yang dipakai adalah data si saksi, itu tentu lebih baik ketimbang memakai orang yang mendengar dari saksi, atau laporan polisi yang mendengar dari saksi. Karena otomatis kesaksian dari si saksi itu sudah dikurasi oleh polisi,” katanya.

Dengan begitu, sumber kedua dan ketiga yang dikutip media punya derajat yang lebih rendah dibandingkan sumber pertama. Pengutipan sumber kedua oleh media, dan kemudian dikutip kembali oleh media lainnya dari media yang mengutip pertama, kata Roy, telah terjadi dua lapisan dan menciptakan distorsi.

Menurutnya, data yang baik harus datang dari pengamatan langsung si wartawan yang turun ke lapangan dan melakukan observasi. Oleh karena itu, wartawan tak boleh percaya begitu saja dengan penglihatan, pendengaran, dan pengalaman orang lain.

“Semakin pengalaman itu otentik atau dialami langsung oleh orang pertama tentu akan lebih baik,” ujarnya.

Verifikasi tetap penting

Sementara itu, anggota Dewan Pers sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO, Arif Zulkifli mengatakan, praktik kutip-mengutip sumber antarmedia bisa dibenarkan. Sepanjang data yang dipilih merupakan data yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

“Dan sumbernya disebutkan dengan jelas,” tutur Arif saat dihubungi, Selasa (2/4).

Praktik semacam ini, kata Arif, tak berarti menghapus kewajiban seorang wartawan untuk melakukan verifikasi dan validasi data. Arif menuturkan, wartawan jangan sekadar mengutip sumber dari media lain, tetapi juga wawancara sumber lainnya.

Dihubungi terpisah, peneliti senior dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) sekaligus dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ignatius Haryanto Djoewanto mengatakan, pencantuman sumber data menjadi hal yang sangat penting dalam etika penulisan.

“Etika yang tersangkut di sini adalah soal akurasi, kejelasan menyebutkan sumber. Tidak boleh dihilangkan sumbernya,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (2/4).

Ia menambahkan, kredibilitas media kemudian diukur dari seorang editor di media itu sendiri. Menurutnya, mereka adalah cerminan dari kualitas sebuah berita, dengan menyeleksi berita mana yang akan diangkat dan tidak.

“Dan harus dipastikan juga ketika media ini mengutip sumber media lain, selain menulis sumbernya juga dipastikan kontennya tidak dipelintir atau harus akurat sebagaimana sumber awalnya,” ucapnya.

Membuat berita hasil tambal-sulam media lain sah-sah saja asalkan mencantumkan sumber utamanya.

Di sisi lain, Roy Thaniago mengatakan, meski menurutnya secara etika praktik semacam ini dibenarkan, pertanggung jawaban dan kredibilitas sebuah media akhirnya ditentukan pembaca.

“Apakah mereka mau membaca berita yang medianya hanya menjadi kurator doang, ngambil data-data, tapi enggak kerja lapangan?” ujarnya.

Hal semacam ini, menurut Roy, biasanya dilakukan media yang tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Praktik ini menjadi maklum, jika si wartawan jauh dari sumber berita atau tidak memilki akses langsung terhadap sumber.

“Tapi kalau sepenuhnya menggantungkan sumber data dari media lain meski mungkin untuk digapai, itu tanda kemalasan saja,” katanya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan