Jurnalisme sampah Tabloid Indonesia Barokah
Beberapa hari terakhir, beredar Tabloid Indonesia Barokah yang membuat suasana politik agak gaduh. Tabloid itu jadi perbincangan lantaran kontennya menyudutkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.
Tabloid itu ditemukan di beberapa daerah di Banten (8.000 eksemplar), Jawa Tengah (1.100 eksemplar), Jawa Barat (13.110 eksemplar), Padang (116 eksemplar), dan Pulau Panggang Kepulauan Seribu (10 eksemplar). Tabloid-tabloid itu dikirim ke masjid-masjid, dibungkus memakai amplop cokelat.
Pada 25 Januari 2019, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi merespons kemunculan tabloid ini dengan melaporkan ke Dewan Pers. Sehari setelahnya, BPN melaporkan kasus Tabloid Indonesia Barokah ke Bareskrim Polri.
Pembicaraan mengenai tabloid yang framing kontennya menyudutkan kubu Prabowo-Sandi terus bergulir bak bola liar politik.
Menyebarnya Tabloid Indonesia Barokah ikut menyeret nama Wakil Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Irfan Wahid. Namun sayang, Irfan belum bisa dimintai konfirmasi saat dihubungi reporter Alinea.id.
Ipang, begitu sapaan akrabnya, sudah mengonfirmasi perihal Indonesia Barokah melalui akun Twitternya. Dia menyebut, Indonesia Barokah merupakan gerakan yang bersifat terbuka, siapapun boleh dan bisa berkontribusi untuk mendatangkan kebaikan bagi Indonesia. Indonesia Barokah, kata dia, lebih seperti kumpulan pemikiran dari banyak orang.
Ipang lantas menyebut, karena sifatnya yang terbuka, gerakan dan isinya yang beragam, membuat gerakan tersebut menjadi multitafsir.
“Tergantung kepentingannya. Tapi secara substansi, sekali lagi seperti namanya, ‘Indonesia Barokah’, gerakan ini bertujuan untuk mendatangkan kebaikan bagi Indonesia,” tulis Ipang di akun Twitternya, Senin (28/1).
Ipang lalu membantah tuduhan yang mengaitkannya dengan Tabloid Indonesia Barokah. “Saya tegaskan, saya bukan pembuat Tabloid Indonesia Barokah. Saya juga tidak terlibat dalam bentuk apapun atas tabloid tersebut,” tulis Ipang.
Bukan pelanggaran pemilu
Meski menghentikan sementara penyebaran Tabloid Indonesia Barokah karena meresahkan, namun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan, tabloid ini tak masuk dalam ranah pelanggaran dan pidana pemilu.
Sebab, tak ditemukan penanggung jawab atau pihak yang menerbitkan tabloid itu. Kontennya pun bukan kampanye hitam.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, langkah Bawaslu sudah tepat. Alasannya, pelaku peredaran tabloid itu anonim, dan Bawaslu tak bisa menerapkan Pasal 280 ayat 1 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 17 Thaun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Saya kira pihak penegak hukum yang harus mengambil langkah, karena Bawaslu memang kesulitan dalam menetapkan pelanggaran pemilu,” ujar Titi saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (28/1).
Titi mengatakan, dari sisi konten, Tabloid Indonesia Barokah memang tak ada ajakan untuk memilih salah satu calon presiden. Hanya saja, kata dia, berita yang diterbitkan memang tidak berimbang.
“Indonesia Barokah lebih tepat jika disebut sebagai kampanye negatif yang dilakukan secara tak bertanggung jawab,” kata Titi.
Titi sendiri tak mempermasalahkan kampanye negatif, karena menurutnya, kampanye negatif adalah salah satu bentuk pendidikan politik.
“Undang-undang Pemilu memang tidak secara spesifik menyebutkan indikator kampanye negatif. Tapi, kalau saya melihat kampanye negatif itu menyoroti rekam jejak negatif seorang calon. Memperkenalkan rekam jejak calon, baik positif maupun negatif, menurut saya tak masalah,” ujar Titi.
Beberapa hari terakhir, beredar Tabloid Indonesia Barokah yang membuat suasana politik agak gaduh. Tabloid itu jadi perbincangan lantaran kontennya menyudutkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.
Tabloid itu ditemukan di beberapa daerah di Banten (8.000 eksemplar), Jawa Tengah (1.100 eksemplar), Jawa Barat (13.110 eksemplar), Padang (116 eksemplar), dan Pulau Panggang Kepulauan Seribu (10 eksemplar). Tabloid-tabloid itu dikirim ke masjid-masjid, dibungkus memakai amplop cokelat.
Pada 25 Januari 2019, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi merespons kemunculan tabloid ini dengan melaporkan ke Dewan Pers. Sehari setelahnya, BPN melaporkan kasus Tabloid Indonesia Barokah ke Bareskrim Polri.
Pembicaraan mengenai tabloid yang framing kontennya menyudutkan kubu Prabowo-Sandi terus bergulir bak bola liar politik.
Menyebarnya Tabloid Indonesia Barokah ikut menyeret nama Wakil Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Irfan Wahid. Namun sayang, Irfan belum bisa dimintai konfirmasi saat dihubungi reporter Alinea.id.
Ipang, begitu sapaan akrabnya, sudah mengonfirmasi perihal Indonesia Barokah melalui akun Twitternya. Dia menyebut, Indonesia Barokah merupakan gerakan yang bersifat terbuka, siapapun boleh dan bisa berkontribusi untuk mendatangkan kebaikan bagi Indonesia. Indonesia Barokah, kata dia, lebih seperti kumpulan pemikiran dari banyak orang.
Ipang lantas menyebut, karena sifatnya yang terbuka, gerakan dan isinya yang beragam, membuat gerakan tersebut menjadi multitafsir.
“Tergantung kepentingannya. Tapi secara substansi, sekali lagi seperti namanya, ‘Indonesia Barokah’, gerakan ini bertujuan untuk mendatangkan kebaikan bagi Indonesia,” tulis Ipang di akun Twitternya, Senin (28/1).
Ipang lalu membantah tuduhan yang mengaitkannya dengan Tabloid Indonesia Barokah. “Saya tegaskan, saya bukan pembuat Tabloid Indonesia Barokah. Saya juga tidak terlibat dalam bentuk apapun atas tabloid tersebut,” tulis Ipang.
Bukan pelanggaran pemilu
Meski menghentikan sementara penyebaran Tabloid Indonesia Barokah karena meresahkan, namun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan, tabloid ini tak masuk dalam ranah pelanggaran dan pidana pemilu.
Sebab, tak ditemukan penanggung jawab atau pihak yang menerbitkan tabloid itu. Kontennya pun bukan kampanye hitam.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, langkah Bawaslu sudah tepat. Alasannya, pelaku peredaran tabloid itu anonim, dan Bawaslu tak bisa menerapkan Pasal 280 ayat 1 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 17 Thaun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Saya kira pihak penegak hukum yang harus mengambil langkah, karena Bawaslu memang kesulitan dalam menetapkan pelanggaran pemilu,” ujar Titi saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (28/1).
Titi mengatakan, dari sisi konten, Tabloid Indonesia Barokah memang tak ada ajakan untuk memilih salah satu calon presiden. Hanya saja, kata dia, berita yang diterbitkan memang tidak berimbang.
“Indonesia Barokah lebih tepat jika disebut sebagai kampanye negatif yang dilakukan secara tak bertanggung jawab,” kata Titi.
Titi sendiri tak mempermasalahkan kampanye negatif, karena menurutnya, kampanye negatif adalah salah satu bentuk pendidikan politik.
“Undang-undang Pemilu memang tidak secara spesifik menyebutkan indikator kampanye negatif. Tapi, kalau saya melihat kampanye negatif itu menyoroti rekam jejak negatif seorang calon. Memperkenalkan rekam jejak calon, baik positif maupun negatif, menurut saya tak masalah,” ujar Titi.
Konten negatif
Beberapa orang lantas mengaitkan kemiripan Tabloid Indonesia Barokah dengan Obor Rakyat, yang pernah membuat gaduh Pemilu 2014 lalu.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, sebelum melihat kontennya, lebih baik mencermati dahulu penerbit tabloid itu.
“Kalau penerbitnya tidak terdaftar, ilegal, atau tidak ada organisasi yang jelas, ya sebelum masuk ke kontennya, produknya saja produk ilegal, produk yang salah, produk yang negatif. Jadi, menurut saya di situ saja sudah salah,” kata Hendri saat dihubungi, Senin (28/1).
Bila melihat kontennya, Hendri mengatakan, konten negatif masih diperbolehkan saat kampanye. Menurutnya, yang tidak boleh adalah melakukan black campaign.
“Tapi, dalam kasus Indonesia Barokah organizer-nya kan fiktif, ya intinya ini enggak boleh,” ujar pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) tersebut.
Sementara itu, pengamat media sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Abdul Wahid mengatakan, kehadiran Tabloid Indonesia Barokah merupakan upaya melawan narasi Tabloid Obor Rakyat tahun 2014, yang masih membekas di ingatan masyarakat.
“Kalau saya lihat tabloidnya, itu untuk menandingi gagasan ‘Jokowi PKI’ yang dihadirkan Obor Rakyat tahun 2014 lalu,” ujar Wahid saat dihubungi, Senin (28/1).
Bahkan, Wahid menyebut, produk Tabloid Indonesia Barokah sebagai produk jurnalisme sampah yang mendaur ulang produk-produk jurnalistik dari media mapan.
“Jurnalisme sampah itu produk jurnalistik yang mendaur ulang pernyataan-pernyataan dari berbagai media, kemudian disatukan, dan tak melakukan reportase yang fair atau adil, menghadirkan dua pihak yang berseteru,” kata Wahid.
Wahid tak melihat Tabloid Indonesia Barokah sebagai produk hoaks. Namun, konten tabloid tersebut tak bisa dijadikan acuan untuk bertindak.
Beberapa konten dalam tabloid tersebut, lanjut Wahid, memang berisi fakta dari beberapa sumber. Akan tetapi, ketika disatukan malah menjatuhkan Prabowo-Sandi.
“Saya melihat orang-orang di balik tabloid ini masih memahami media sebagai alat untuk menyebarkan gagasan dan merebut suara. Padahal, masih ada variabel lain yang harus dipertimbangkan,” kata Wahid.
Baik Titi maupun Wahid sepakat bila Tabloid Indonesia Barokah tak bisa disamakan dengan Obor Rakyat. Menurut mereka, konten Obor Rakyat bisa dikatakan sebagai hoaks atau fitnah. Sementara konten Tabloid Indonesia Barokah tak berimbang.
Wahid melanjutkan, masyarakat sedikit-banyak sudah belajar dari kasus Tabloid Obor Rakyat pada 2014 lalu. Dia juga menilai, Dewan Pers harus bergerak cepat membuat laporan yang bisa diacu oleh kepolisian.
“Acuannya tidak lagi menggunakan Undang-Undang Pers, karena bukan produk jurnalistik, tetapi sudah masuk hukum pidana,” kata Wahid.
Untuk menghindari hal tersebut terulang kembali, Wahid mengatakan, Dewan Pers mesti jeli memeriksa proses jurnalisme yang dilakukan secara tidak benar, dan menempatkan kode etik sebagai acuan.
Wahid sendiri lebih melihat kehadiran Tabloid Indonesia Barokah ini lebih sebagai alat propaganda daripada produk jurnalisme.
“Cara propagandanya dilakukan seperti apa, itu yang harus ditinjau ulang,” ujarnya.