close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi majalah Tempo.
icon caption
Ilustrasi majalah Tempo.
Media
Kamis, 14 Juli 2022 21:27

Kembali mengontrol ruang sosial, jurnalisme tidak boleh 'recehan'

Kerinduannya jurnalisme kembali menajamkan eksistensi untuk mengontrol ruang sosial lagi menjadi topik pertama.
swipe


Liputan investigasi Majalah TEMPO tentang dugaan penyelewengan dana kemanusiaan di lembaga filantropi ACT (Aksi Cepat Tanggap) telah menggebah perhatian publik. Laporan bertajuk Kantong Bocor Dana Umat, edisi 4-10 Juli 2022, TEMPO mengungkapkan gaji selangit jajaran petinggi ACT. ACT pun ternyata memotong income donasi untuk operasional lembaga itu lebih besar dari aturan yang berlaku.

Petinggi ACT sempat membantah bahwa gaji bukan hanya mengucur dari kas ACT tapi juga lembaga-lembaga sejenis yang beroperasi selain ACT. Kemensos saat ini sudah mencabut izin ACT.

Pelajaran penting yang dapat dipetik dari liputan investigasi TEMPO bagi pengetahuan publik dikemukakan Abdullah Khusairi, pakar komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, dalam wawancara dengan Alinea, Jumat (8/7).

Inti wawancara Alinea dengan Khusairi akan disarikan dalam tiga bagian. Kerinduannya jurnalisme kembali menajamkan eksistensi untuk mengontrol ruang sosial lagi menjadi topik pertama. Pandangannya, jurnalisme tidak boleh dikerjakan secara 'recehan' (kecil-kecilan).

"Kita merindukan jurnalisme yang seperti itu, bahwa dalam kontrol sosial ternyata kita masih punya harapan di tengah new media merebak dengan jurnalisme receh yang hanya mengikuti alur para spin doctor. Karena selama ini pemberitaan (news) hanya mengikuti spin doctor di belakang pemain wacana," kata Khusairi.

Menurut definisi, spin doctor bermakna juru bicara yang digunakan untuk memberikan interpretasi yang baik tentang peristiwa kepada media, terutama atas nama partai politik.

"Bagi saya, terima kasih dengan apa yang dilakukan TEMPO, terlepas mungkin masih ada kelemahan. Tapi paling tidak TEMPO sudah menggedor dan membuktikan nyawa jurnalisme kita masih ada," tambah dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol.

Menyinggung konten TEMPO ihwal donasi, Khusairi menilai sudah ada data faktual yang bisa dipegang oleh tim TEMPO yang mengerjakan laporan investigasi ACT.

"TEMPO tentu juga tidak ingin main-main kalau sudah dapat diyakininya, seperti apa yang dikatakan oleh Bill Kovach itu, ya beritakan. Berarti mereka sudah sangat kuat untuk mengabarkan itu," cetusnya.

Saat ini menjabat Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol, secara pribadi Khusairi ternyata pernah bersentuhan dengan ACT. Bahkan, dia sempat ditawari jabatan Humas di ACT Sumatera Barat. Selain menjadi dosen, Khusairi berkecimpung di dunia kebencanaan.

Pengalaman gempa Sumbar tahun 2009, waktu itu bukan soal uang, tapi Khusairi menyaksikan perdebatan soal begitu ngototnya tim ACT untuk membuat rumah hunian sementara (huntara). Tetapi lembaga pengungsi PBB, UNHCR, memperdebatkan bahwa huntara desain ACT tidak sesuai dengan skema kemanusiaan.

"Maksudnya, (huntara itu) kecil dan persoalan gender dan lainnya tidak diperhatikan. UNHCR kan punya standar internasional? Justru saya lihat sangat Islami pandangan UNHCR. Saya waktu itu Humas tim pendukung teknis BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Saya kira, itu tadi, mereka (ACT) punya target dapat menembus sebuah lokasi huntara untuk mendapatkan tanda tangan BNPB. Saya sebagai Humas harus menengahi perdebatan tersebut," ujar Khusairi.

Selain mengarang buku 'Sulteng Bangkit' tentang gempa dan tsunami Palu 2018, Khusairi ikut terjun ke lokasi bencana yang dibukukannya itu selama sepuluh hari. 

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan