close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Fadjroel Rachman meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10). /Antara Foto.
icon caption
Fadjroel Rachman meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10). /Antara Foto.
Media
Selasa, 09 November 2021 09:30

Kenangan ex jubir Istana menghadapi krisis komunikasi di awal pandemi

Dunia mengalami disrupsi, kemudian juga kita harus memberikan respons cepat dan ilmiah
swipe

Sejak semula, Fadjroel Rachman sudah merasa letih. Dia yang terbiasa berjalan-jalan ke luar kota, hampir satu tahun tidak bisa ke mana-mana. Ini merupakan sesuatu yang membuat dia merasa hidupnya menjadi sangat terbatas. Fadjroel di kantor saja, hanya 25 persen dari para staf yang bisa bekerja di sana. Umumnya hanya melakukan WFH (work from home/bekerja dari rumah) bergantian setiap hari.

Itu terjadi sejak hampir setahun yang lalu. Dia mengingatkan, diduga pada tanggal 20 Desember 2019, pasien pertama di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, mengidap suatu virus yang pada waktu itu belum diketahui secara pasti. Setahun sudah terjadi disrupsi kehidupan di hampir 220 negara di dunia. Oleh karena virus, yang pada awalnya belum diketahui semua orang. Ini kemudian menjadi besar, menjadi heboh di dunia, ketika pada tanggal 23 Januari 2020 terjadi lockdown di Kota Wuhan.

WHO (World Health Organization/Organisasi Kesehatan Dunia) menetapkan situasi sebagai darurat kesehatan global pada tanggal 30 Januari 2020. Jadi hampir empat puluh hari kemudian, baru WHO menetapkan sebagai darurat kesehatan global atau dulu disebutnya sebagai public health emergency of international concern, yang diumumkan oleh Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

"Kondisi krisis ini, yang terjadi secara tiba-tiba kemudian mengancam banyak sekali kehidupan, dunia mengalami disrupsi, kemudian juga kita harus memberikan respons cepat dan ilmiah," kata Fadjroel.

Dia masih ingat pada tanggal 2 Januari 2020, menjemput 238 Warga Negara Indonesia, persis di Provinsi Hubei 93 WNI yang di lockdown waktu itu di Kota Wuhan. Baru kemudian Indonesia menetapkan pada 5 Februari 2020 penerbangan langsung dari dan ke China ditunda sementara waktu hingga tak terbatas sampai hari ini. Orang mendengar apa yang disebut sebagai pandemi Covid-19 diumumkan oleh WHO baru pada tanggal 10 Maret 2020. Jadi kalau dihitung dari 20 Desember 2019 sampai 10 Maret 2020 ditetapkan sebagai pandemi, WHO saja memerlukan waktu 78 hari untuk menetapkan Covid-19 sebagai pandemi di dunia.

"Nah inilah problem di dalam... agar apa... komunikasi yang juga kami harus hadapi sehari-hari ketika mulai terjadi kasus di Kota Wuhan pada 20 Desember 2019 yang lalu. Presiden Joko Widodo secara langsung pada waktu kejadian di Kota Wuhan tahun 2019, selalu mengadakan rapat-rapat khusus terkait dengan hal tersebut," ujarnya.

Menurut Fadjroel, karena itu dengan mudah pada tanggal 2 Februari 2020, Presiden Jokowi memutuskan untuk menjemput 238 WNI yang ada di Kota Wuhan. Termasuk memutuskan pada 5 Februari penerbangan dari dan ke China dihentikan.

"Itulah komunikasi krisis yang kita hadapi pada waktu itu," kenangnya. Mantan staf khusus Presiden bidang komunikasi sekaligus juru bicara Presiden melanjutkan bahwa di Indonesia sendiri kondisi disrupsi, yang selain disebabkan oleh pandemi Covid-19, kita juga sebenarnya menghadapi satu disrupsi lain yang berada di era digital.

Salah satunya post-truth (pasca-kebenaran) di dalam era digital, katanya. Problem digital ini dibahas Fadjroel, yang menyampaikan tentang komunikasi publik di era digital, di era disrupsi, di mana dia menjelaskan beragam disrupsi di era digital. Pertama, terkait dengan infodemik sebagai bagian dari post-truth. Kemudian, kedua, digambarkannya tentang situasi empiris era digital. Berikutnya, beberapa riset terkait dengan infodemik, dan terakhir, rekomendasi yang dia sampaikan.

Menurut Fadjroel, sebenarnya terkait dengan post-truth kita menghadapi dua masalah sekarang, yaitu post-truth dan echo chamber. Post-truth di mana orang lebih melihat kepada sesuatu yang sifatnya emosional tidak berdasarkan basis-basis yang ilmiah, kemudian ada lagi soal echo chamber (ruang gema) di mana orang hanya ingin percaya kepada kebenaran yang berada dalam lingkungannya sendiri.

"Kami menyebutnya itu sebagai noise atau interference, yaitu infodemik," ujarnya. Dijelaskan, komunikasi publik itu merupakan tindakan menyampaikan pesan dari satu kebijakan atau keputusan organisasi kepada masyarakat luas yang terdiri dari kategori sosial berbeda agar menerima informasi secara akurat dan benar dan tepat. Senada dengan apa yang disampaikan sebelumnya oleh Tony Wenas agar informasi yang diterima itu baik, benar, dan berguna.

Wenas, CEO Freeport Indonesia juga Dewan Pembina Public Affairs Forum Indonesia, telah menyambut Public Affairs Forum Indonesia yang diselenggarakan Public Relations Association of Indonesia (Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia/Perhumas). Tayangannya disiarkan Checklist Project TV, Selasa (2/11). Fadjroel kebagian bicara giliran kedua.

Informasi yang diterima baik, benar, dan berguna itulah yang ingin dilakukan melalui komunikasi publik. Siapa yang dituju? Audiens. Apa audiens itu? Audiens itu adalah public society, yaitu semua kategori sosial, dengan kesadaran kritis, kemauan mencari informasi secara mendalam dari referensi yang kompeten.

"Inilah yang sebenarnya yang kita harapkan pada hari-hari sekarang ini. Termasuk dalam kasus pandemi, pemerintah menyiapkan sampai lima juru bicara, yang semuanya lengkap dengan kapabilitas tertentu. Seperti Profesor Wiku Adisasmito, dokter Reisa Broto Asmoro, sampai kemudian dari juru bicara pihak Bio Farma, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), dan juga dari Kementerian Kesehatan. Semuanya mereka, orang-orang dengan kapabilitas tertentu dengan keahlian tertentu," imbuhnya seraya mengharapkan masyarakat juga belajar dari sumber yang tepat dan memberi info yang benar dan sumber yang paling mumpuni.

Fadjroel menggambarkan audiens secara umum sebagai mass society, yaitu semua kategori sosial tanpa kesadaran kritis, asal menerima tanpa melakukan penelitian dari referensi yang kompeten. Itulah yang menjadi korban dari post-truth dan korban yang umumnya dari echo chamber.

"Ini yang kami sebut sebagai upaya-upaya dari infodemik untuk mempengaruhi kedua sisi audiens baik di public society maupun di mass society," tuturnya.

Infodemik dilihat Fadjroel dalam pekerjaannya sehari-hari selama satu tahun terakhir ini. Selain menyampaikan arahan dan kebijakan Presiden, dia juga harus ikut menghadapi problem pandemi COVID-19 selama hampir satu tahun terakhir sejak kehebohan dimulai dari Kota Wuhan.

Infodemik yang pertama terkait dengan disinformasi, yaitu berupa informasi salah yang sengaja disebarluaskan oleh aktor tertentu. Kemudian, yang kedua, misinformasi, yaitu informasi salah yang tidak sengaja disebarluaskan oleh aktor tertentu, masalah utamanya di wilayah ini. Jadi, infodemik menghadapi dua masalah: disinformasi sekaligus misinformasi.

"Kita betul-betul menghadapinya di masa pandemi Covid-19. Ini yang kita bisa sebut sebagai hoaks. Saat ini, infodemik menyebabkan hoaks berdampingan dan bahkan mengurung informasi yang benar. Dampaknya terjadi kesalahan penerimaan dari masyarakat, terutama kita hadapi saat-saat sekarang ini," ucap Fadjroel.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan