Komentar di media sosial (medsos) bisa jadi risiko ataupun ancaman krisis. Demikian intisari penelitian Ade Irma Stefi Ulil Amri bertajuk 'Manajemen Paracrisis di Organisasi Publik (Studi Kasus Kebijakan Pembatasan Orang Asing Masuk ke Indonesia oleh Direktorat Jenderal Imigrasi di Instagram)'.
Ade, alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi (Ilkom) Universitas Indonesia (UI), menguraikannya dalam serial seminar nasional Departemen Ilkom Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) UI, Jumat (3/6).
"Saya menggunakan term ataupun istilah yang disebut dengan 'paracrisis' merujuk kepada risiko ataupun ancaman krisis di media sosial, yang diperkenalkan oleh Coombs dan Holladay (2012)," ungkap Ade.
Menurut Ade, supaya nantinya paracrisis tidak berubah menjadi krisis, yang akhirnya mengganggu reputasi organisasi, tentunya organisasi itu perlu melakukan respons ataupun tindakan. Inilah yang akhirnya menjadi tujuan penelitiannya.
"Saya ingin mengetahui, mendeskripsikan, dan juga mengeksplorasi bagaimana manajemen paracrisis terkait kebijakan tersebut, yang dilakukan oleh Humas Ditjen Imigrasi," cetusnya.
Sebenarnya ada berbagai kerangka pemikiran yang dituangkan Ade di dalam tesisnya, mulai dari komunikasi publik maupun juga krisis itu sendiri. Namun mungkin yang perlu disoroti, dia menggunakan manajemen paracrisis yang juga merupakan gabungan dari berbagai konsep dan juga teori, baik itu dari Coombs (2014), maupun Coombs & Holladay (2012).
Ade juga menggunakan teori situational crisis communication sebagai respons paracrisis. Jadi, di sini manajemen krisis itu dimulai dari ada analisis dari paracrisis sendiri, terus juga penilaian paracrisis, dan bagaimana merespons paracrisis tersebut.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian Ade menggunakan paradigma postpositivism di mana metode penelitiannya itu sendiri menggunakan mix-methods, dia menggunakan analisis isi dan juga wawancara mendalam dan strategi penelitian ini merupakan studi kasus.
Untuk mix-methods analisisis isi itu Ade mengambil dari komentar yang ada di Instagram dengan populasi sebanyak 2.943, yang lalu diambil penarikan sampel dengan purposive sampling, akhirnya mendapatkan 961 komentar yang diteliti. Analisis isi ini sebenarnya dilakukan untuk memperkuat hasil wawancara.
Wawancara dilakukan Ade dengan informan yang berasal dari Humas Ditjen Imigrasi dan juga satu orang pembuat kebijakan, yang memang terjun langsung membuat kebijakan-kebijakan di masa pandemi di Ditjen Imigrasi.
Periode penelitiannya, karena paracrisis berlangsung mulai dari tanggal 21 Juli 2021, di sini Ade membagi dua periode dalam penelitiannya bagaimana periode itu terbagi dalam periode ketika 'during the paracrisis' atau ketika paracrisis terjadi, dan juga setelah paracrisis itu berlalu.
"Hasil penelitian yang saya dapatkan adalah di sini kita bisa melihat bahwa memang ada perbedaan dari sentimen. Jadi, ini diambil dua bulan dan dua bulan saat paracrisis terjadi dan satu bulan setelah paracrisis itu selesai," serunya.
Menurut Ade, pada saat paracrisis itu terjadi memang terlihat bahwa komentar-komentar di Ditjen Imigrasi didominasi oleh komentar negatif. Namun setelah paracrisis berakhir, pada saat itu ada sebuah kebijakan baru keluar menganulir kebijakan sebelumnya, di mana itu mungkin sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Terlihat bahwa komentar negatif jauh berkurang dan berganti dengan komentar positif.
Tampak dari jenis komentar, ketika di masa periode paracrisis tersebut, banyak sekali komentar yang berisi tentang kekecewaan terhadap kebijakan baik itu mungkin ada masyarakat yang malah ingin protes: "Kenapa kebijakan ini terlambat dikeluarkan? Jadi, telanjur virusnya masuk ke Indonesia." Terus ada yang juga kecewa kebijakan ini berlaku, sehingga mereka terpaksa berpisah dengan keluarganya.
"Ini berubah setelah periode paracrisis berakhir," ujar Ade.