Setengah hati KPI atur protokol kesehatan Covid-19 di televisi
Sepanjang Januari 2021, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menemukan 37 program dari 11 stasiun televisi, yang diduga melanggar protokol kesehatan Covid-19. Tayangan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan, sebut situs kpi.go.id, antara lain variety show, religi, dan talkshow. Pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan didominasi dengan tak mengenakan masker atau pelindung wajah, serta tak memperhatikan jarak fisik.
Temuan KPI itu sempat mendapatkan respons dari pesulap dan pembawa acara Deddy Corbuzier. Dalam unggahan video di akun Instagram miliknya pada Minggu (14/2), Deddy yang memiliki talkshow Obrolan of the Day (OOTD) di Trans7—yang masuk daftar program televisi diduga melanggar protokol kesehatan—protes.
Menurutnya, dalam talkshow itu, ia duduk berjauhan, tidak berdiri, tidak salaman, dan melakukan tes swab. “Terus harus pakai masker […] tapi sinetron boleh enggak pakai masker. Mantap,” kata Deddy.
Aktris dan pembawa acara Nikita Mirzani pun menyindir KPI di akun Instagram miliknya. Nikita membawakan acara Nih Kita Kepo di Trans TV, yang juga masuk daftar ditegur KPI.
“Sinetron kenapa enggak ditegur bapak-bapak dan ibu-ibu KPI Pusat yang jelas-jelas sentuhan kulit by kulit, ngomong deket-deketan,” tulis Nikita di akun Instagram miliknya, Jumat (12/2).
Mempermasalahkan sinetron
Meski begitu, pihak Trans7 yang dua programnya masuk daftar teguran KPI, yakni OOTD dan Bukan Bisik Bisik menyangkal mereka melanggar protokol kesehatan.
“Program Trans7 selalu patuh sama aturan protokol kesehatan dari KPI. Talent-talent-nya pakai masker ketika syuting,” kata humas Trans7, Gres saat dihubungi reporter Alinea.d, Selasa (23/2).
Sejak November 2020, KPI sudah mengeluarkan aturan terkait protokol kesehatan untuk lembaga penyiaran di masa pandemi, melalui Keputusan KPI Pusat Nomor 12 Tahun 2020 tentang Dukungan Lembaga Penyiaran dalam upaya Pencegahan dan Penanggulangan Persebaran Covid-19.
Namun, beberapa pihak menganggap aturan itu tebang pilih. Deddy dan Nikita pun menyindir KPI tak memasukkan sinetron ke daftar program televisi yang melanggar protokol kesehatan.
“Pengaturan untuk sinetron itu masih belum serigit seperti apa yang kami lakukan untuk program variety show dan pemberitaan,” kata Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo saat dihubungi, Senin (22/2).
Aturan protokol kesehatan untuk sinetron, kata Mulyo, hanya sebatas mengimbau penyesuaian adegan yang dilayangkan ke lembaga penyiaran melalui surat edaran pada akhir Januari lalu.
“Susah-susah gampang juga memahami untuk diterapkan karena kalau kita bicara sinetron kekinian dalam situasi di luar rumah itu harus pakai masker,” ujarnya.
“Sementara ada juga tayangan sinetron yang mengambil latar belakang waktu zaman dulu. Masak mau pakai masker pakai daun, itu kan kesannya memaksakan.”
Ia juga mengatakan, intensitas pemanfaatan ekspresi atau mimik dalam sinetron sangat tinggi. Sedangkan program variety show tak mengandalkan mimik wajah yang sebesar di sinetron.
Meski begitu, Mulyo menambahkan, aturan main protokol kesehatan yang mengikat secara hukum dalam sinetron dan segmentasi program lainnya, baru akan digodok pada Kamis (24/2). Ia mengakui, aturan Keputusan KPI Pusat 12/2020 dibuat terburu-buru.
“Karena kita melihat situasi pandemi yang peningkatannya tinggi,” katanya.
Keseriusan KPI untuk mengatur masalah protokol kesehatan di televisi menjadi penting. Menurut dosen komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Justito Adi Prasetyo, konten televisi bisa memengaruhi kewaspadaan warga terhadap bahaya Covid-19.
“Ada pengaruh konten televisi yang berkaitan dengan frekuensi dan durasi terhadap perilaku seseorang,” kata Justito ketika dihubungi, Kamis (25/2).
Riset Nielsen yang dipublikasikan dalam artikel “Covid-19 dan Dampaknya pada Tren Konsumsi Media” di nielsen.com, 23 Maret 2020 menunjukkan penonton televisi di Indonesia meningkat di awal pandemi. Dari rata-rata rating 12% pada 11 Maret 2020, menjadi 13,8% pada 18 Maret 2020, atau setara dengan penambahan sekitar sejuta penonton.
Durasi menonton televisi juga mengalami lonjakan lebih dari 40 menit. Pada 11 Maret 2020, rata-rata 4 jam 48 menit, menjadi 5 jam 29 menit pada 18 Maret 2020.
Aturan yang tegas
Menurut Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief, sejak awal pandemi, KPI memang tidak bertindak serius menciptakan iklim media massa yang adaptif. Langkah KPI hanya ditentukan dari desakan individu yang punya pengaruh besar.
“Karena Deddy yang ngomong, baru KPI bertindak. Akhirnya, hanya akan jadi basa-basi saja, ramai sebentar,” ujar Yovantra saat dihubungi, Senin (22/2).
Sebelum terbit Keputusan KPI Pusat 12/2020, tak ada satu pun program televisi pelanggar protokol kesehatan yang ditegur KPI. Hasil riset yang dilakukan Remotivi pada Mei 2020, terbit dalam artikel “Bagaimanakah Jurnalisme Televisi Menerapkan Protokol Covid-19?” di situs web remotivi.or.id misalnya, menunjukkan reporter televisi tak memenuhi protokol kesehatan secara lengkap saat bertugas. Bahkan, 50% dari reporter di televisi tak menerapkan protokol kesehatan sama sekali.
Menanggapi hal itu, Mulyo mengakui, aturan KPI soal protokol kesehatan lembaga penyiaran, termasuk Keputusan KPI Pusat 12/2020 merupakan masukan dari Satgas Nasional Penanganan Covid-19 dan DPR.
“Mereka prihatin melihat tayangan tv mengabaikan protokol kesehatan. Sehingga mengajak KPI untuk rapat membuat aturan itu,” kata Mulyo.
Dalam diskusi virtual dengan KPI, akademisi, dan perwakilan lembaga penyiaran pada 13 Januari 2021, Ketua Satgas Nasional Penanganan Covid-19 Doni Monardo meminta KPI untuk membuat tim khusus yang mengatur protokol kesehatan di tayangan televisi, dengan melibatkan lembaga penyiaran hingga epidemiolog.
“Lantas hasil keputusannya dituangkan dalam peraturan KPI,” kata Doni.
“KPI harus berani sekarang untuk mengumumkan mana televisi dan siaran apa yang belum melaksanakan protokol kesehatan.”
Yovantra mengatakan, wewenang KPI yang bisa mengatur perilaku lembaga penyiaran, seharusnya dapat menghasilkan aturan yang tegas.
“Harus berbasis knowledge based. Mereka kan gampang untuk berkomunikasi dengan pekerja media dan riset kecil,” tutur Yovantra.
Mulyo mengaku, keputusan KPI terkait aturan protokol kesehatan memang tak berdasarkan riset terukur. “Kami hanya melihat gejala yang ada di layar kaca, kemudian membuat aturan.”
Doktor Sosiologi Media sekaligus Direktur Pusat Kajian Media Digital dan Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Sulhan memandang, ada ketimpangan berpikir dalam aturan protokol kesehatan. Jika KPI menganggap pengabaian protokol kesehatan di variety show atau talkshow bakal memengaruhi perilaku masyarakat, maka pandangan serupa juga berlaku pada sinetron.
“Karena proses produksinya fiksi, orang yang berperan dalam sinetron tidak pakai masker seolah tidak dalam dunia real. Padahal, pengaruh efek media itu bukan karena real dan tidak real, tapi bagaimana persepsi orang tentang isi konten,” ucap Sulhan saat dihubungi, Senin (22/2).
Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mewanti-wanti KPI. Ia menilai, ada potensi besar penularan virus di lokasi syuting program televisi, bila pengawasan protokol kesehatan kendur.
“Kalau tidak pakai masker, jaraknya kurang dari dua meter, itu kan membuat potensi penularan. Apalagi kalau tertutup tempat syutingnya, ditambah pakai AC. Itu semua yang memperkuat proses penularan,” kata Ede kepada saat dihubungi, Selasa (23/2).
Publik figur yang ditonton di televisi, kata dia, juga merupakan contoh bagi warga. Jika tidak bisa memberikan contoh praktik taat protokol kesehatan, akibatnya warga pun akan abai.
“Ini yang harus diwaspadai. Kalau enggak, akibatnya penggunaan protokol kesehatan jadi longgar dan penularan jalan terus,” katanya.
“Nanti ditambah lagi tidak percaya dengan 3 M (mencuci tangan, mengenakan masker, menjaga jarak) karena tontonan di tv, makin parah kondisi kita.”