Laura di balik liputannya, epidemi senyap krisis opioid di Afrika dan Asia Barat
"Ketika saya menelannya, saya merasa bisa melakukan apa saja. Seperti tidak ada yang tak mungkin. Kalau saya tidak mengasupnya, saya tak kuat. Rasanya tidak enak." Dua pil tramadol putih, satu butirnya berdosis 225 miligram!
Sosok remaja Ayao (bukan nama sebenarnya), berusia 15 tahun, yang telah meminum obat itu, berbicara begitu cepat sehingga dia tergagap dan nyaris seakan mau terbelit lidahnya sendiri.
Di rumah bata satu lantai milik keluarganya di Lomé, ibu kota Togo, dia berdiri di kamarnya melihat ke cermin kecil, meringis saat sisirnya tersangkut rambut. Ayao bekerja di perusahaan yang menjual air minum. Dia bangun pukul lima untuk memuat becak pengangkut dengan kantong-kantong besar berisi air bungkus plastik dan kemudian mengirimkannya ke toko-toko di daerah setempat. Sebelum memulai pagi itu, dia meminum dua pil tramadol putih tadi.
Kecanduan sakit
Pengungsi di Nigeria Utara dilaporkan menggunakan tramadol untuk mengatasi stres pasca-trauma. Di Gabon, pil itu telah menyusup ke sekolah dengan nama kobolo, yang menyebabkan anak-anak mengalami kejang di kelas. Sementara di Ghana tarian tramadol sedang tren, gerakannya seperti zombie meniru cara orang berperilaku ketika mereka mabuk obat penghilang rasa sakit.
Dengan daya morfin hanya sepersepuluh, tramadol dianggap memiliki potensi penyalahgunaan yang rendah. Karena itu tidak dikontrol secara internasional oleh PBB. Sebaliknya, setiap negara harus membuat aturan dan regulasi sendiri untuk produksi, impor, ekspor, distribusi, dan penggunaan.
Kemanjurannya beragam. Di Afrika Utara, Afrika Barat, dan Timur Tengah, penyalahgunaan tramadol marak terjadi.
Seorang petugas pengendalian narkoba dan pencegahan kejahatan untuk Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan, Program Sahel, mengaku telah melihat peningkatan penyitaan tramadol di berbagai negara. Khususnya yang berbatasan dengan laut di mana tramadol biasanya masuk ke wilayah tersebut – Benin, Ghana, Pantai Gading, dan Nigeria.
Pada 2018 saja Nigeria menyita 6,4 miliar tablet tramadol. Dari pelabuhan-pelabuhan Afrika Barat, kargo tersebut kemudian disebar ke seluruh wilayah. Menurut Kantor PBB Urusan Narkoba dan Laporan Kejahatan Dunia Narkoba 2018, Afrika Utara, Tengah, dan Barat menyumbang 87 persen dari opioid farmasi yang disita di seluruh dunia, suatu perkembangan yang hampir seluruhnya disebabkan perdagangan tramadol. Namun, Komisi Narkotika PBB menolak menambahkan tramadol ke dalam daftar zat terlarang.
Ringkasan cerita tentang tramadol dipublikasikan di Mosaic. Diluncurkan pada Maret 2014, Mosaic majalah bentuk panjang pemenang penghargaan yang menceritakan kisah tentang sains dan kesehatan. Kini, berhenti terbit. Fitur terakhirnya tayang pada Desember 2019. Scroll India berikutnya memuat republikasi pada 27 Juli 2019. Fitur sepanjang 4131 kata dalam bahasa Inggris, berjudul Drug Addiction – The silent epidemic: An opioid crisis is sweeping Africa and West Asia.
Jurnalis yang menulis fitur itu, Laura Salm-Reifferscheidt. Lahir di Wina, Austria, belajar Manajemen Budaya di Passau University di Jerman, sebelum magang di Sekolah Jurnalisme Axel-Springer di Hamburg. Sejak 2007, dia bermukim di Berlin sebagai jurnalis lepas cetak dan radio untuk berbagai media berbahasa Jerman dan Inggris.
Kepada Alinea.id, Jumat (2/7), Laura berbagi cerita seru di balik liputannya, "Pada tahun 2017 saya pertama kali membaca tentang orang yang menggunakan tramadol untuk alasan non-medis di Afrika Barat dalam sebuah artikel yang tidak terkait di mana hanya disebutkan dalam satu kalimat. Saya melakukan riset tentang topik tersebut dan menemukan bahwa Togo adalah salah satu negara di mana orang-orang menggunakan tramadol."
Dalam pekerjaan, fokusnya pada isu-isu sosial di Afrika, Turki, dan Asia Selatan. Laura menulis tiga buku IN/VISIBLE (terbitan Lammerhuber), Voodoo (Terra Magica), dan The Bazaars of Istanbul (Thames& Hudson dan Christian Brandstätter Verlag).
"Apa yang menarik saya ke topik ini adalah bahwa di satu sisi orang di banyak negara Afrika tidak memiliki akses ke obat penghilang rasa sakit yang manjur jika mereka membutuhkannya untuk alasan medis tetapi tampaknya ada cukup banyak analgesik yang murah dan kurang adekuat untuk digunakan secara non-medis," tuturnya.
Tantangan kreatif
Pertama kali ke Togo 2018, Laura melakukan penelitian lapangan. Dibantu seorang teman dari Lomé, ibu kota Togo, mereka mulai bertanya-tanya di jalan. Mereka mendengar info bahwa tukang ojek sering menggunakan obat penghilang rasa sakit. Butuh beberapa hari sampai mereka menemukan seorang pemuda yang mau berbicara dengan mereka. Itulah dia, Ayao.
"Dia memperkenalkan kami kepada teman-temannya dan mereka semua bersemangat untuk menceritakan kisah mereka. Hampir semua dari mereka menggunakan tramadol dalam jumlah yang tinggi, banyak yang sudah mengalami efek samping yang parah dan sudah mencoba untuk berhenti tetapi tidak ada yang membantu mereka melakukannya. Psikolog, spesialis kecanduan atau lembaga yang membantu dalam kasus seperti ini jarang di Togo," ujar Laura.
Dia kembali ke Togo lagi pada 2019 untuk membuat cerita lain tentang obat pereda nyeri. Kali itu fokus pada kedua sisi masalah: Kurangnya obat nyeri yang efektif dan kuat untuk pasien dan berlimpahnya tramadol ilegal yang murah di Afrika Barat.
Tantangannya di lapangan: menemukan seseorang yang membutuhkan obat pereda nyeri untuk alasan medis dan tidak dapat mengaksesnya. Dia kemudian mendapati seorang wanita muda yang menderita anemia sel sabit (sickle cell anemia) dan secara teratur harus menahan rasa sakit yang menyiksa.
"Saya menemukannya di media sosial dan menghubunginya. Dia senang berbagi ceritanya dengan saya dan Nyani Quarmyne, fotografer yang bekerja bersama saya di artikel itu," ucapnya.
Jadi tantangan utama selama penelitiannya ialah menemukan orang yang tepat dan mendapatkan kepercayaan mereka buat berbicara dengan jurnalis dan berbagi cerita mereka yang sangat pribadi. "Namun, saya pikir karena saya menghabiskan beberapa pekan di Togo, kembali lagi dan selalu berhubungan dengan banyak orang yang saya ajak bicara. Mereka merasa saya menganggap mereka serius dan dapat dipercaya," ujar Laura, seraya berharap dengan cerita itu dia dapat menjelaskan krisis opioid rumit yang melanda Afrika Barat dan banyak bagian dunia lainnya.
Menilik unsur "siapa" di rumus beritanya, banyak yang diwawancarai Laura. Semua 15 narasumber tepatnya, ditambah sekelompok pengemudi ojek.
Selain karakter utamanya, Ayao (15), juga tampil ibunya. Pria kekar dengan tatapan kosong di matanya yang nongkrong di tangga sebuah toko di Grand Marché, beberapa ratus meter dari pantai yang dipenuhi pohon palem di Lomé. Sekelompok pengemudi ojek yang memiliki cerita beraneka ragam untuk diceritakan. Seorang pekerja seks yang menggunakan tramadol setiap hari selama dua tahun mengatakan bahwa tramadol membantunya melayani lebih banyak pelanggan dan beredar sepanjang malam.
Pengemudi ojek (36) menceritakan bahwa ia pernah berhasil berhenti dari kecanduan tramadol selama tiga bulan. Jeffery Bawa, petugas pengendalian narkoba dan pencegahan kejahatan untuk Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan, Program Sahel. Mawouéna Bohm, wakil sekretaris tetap Komite Anti-Narkoba Nasional Togo. Salah satu penjual obat di Grand Marché. Olivia Boateng, kepala Departemen Penyalahgunaan Tembakau dan Zat di Food and Drugs Otoritas Narkoba Ghana.
Grace Kudzu, pengidap penyakit sel sabit, kelainan genetik pada sel darah merah. Kodjo Touré, perawat berjas putih, menjalankan klinik lingkungan kecil dari rumahnya. Jennifer (17) seperti Grace, juga menderita penyakit sel sabit. Thierry, ayah Jennifer. Hèzouwè Magnang, ahli hematologi dan direktur pusat sel sabit. Thomas Pietschmann, pakar penelitian obat dari UNODC, berbasis di Wina. Maria-Goretti Ane Loglo, pengacara Ghana dan konsultan regional untuk Konsorsium Kebijakan Obat Internasional, yang memberi nasihat kepada pemerintah Afrika Barat tentang kebijakan obat.
Dia mengantarkan ceritanya seperti dongeng sebelum tidur. Tapi dalam lelap, kita tercekam mimpi buruk!