close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi clickbait media./ Pixabay
icon caption
Ilustrasi clickbait media./ Pixabay
Media
Kamis, 31 Mei 2018 09:22

Logika 'klik' dan kepentingan yang tercemar

Asbabun Nuzul media adalah pada kepentingan publik. Namun faktanya kini media justru menghamba pada selera pasar.
swipe

Silang pendapat antara Remotivi dan Tribunnews berlanjut di panggung diskusi publik, Selasa malam (29/5). Dalam diskusi tersebut, hadir Muhammad Heychael, yang beberapa waktu lalu menerbitkan artikel di Remotivi berisi kritik pemberitaan Tribunnews soal terorisme. Pihak Tribunnews yang sedianya diwakili Pemimpin Redaksi Dahlan Dahi urung hadir karena agenda lain.

Heychael berkata, kritik yang ditujukan pada Tribunnews tersebut kebetulan menemukan momentumnya setelah kejadian teror di Mako Brimob. Menurut peneliti senior Remotivi tersebut, ia telah mengkaji selama satu minggu atas pemberitaan-pemberitaan yang diterbitkan Tribunnews. “Jangan sampai peliputan jadi teror itu sendiri,” ucapnya.

Heychael dalam tulisannya mendakwa Tribunnews menghadirkan pemberitaan sensasional dan jurnalisme teror. Alih-alih menggulirkan informasi yang jernih dan mencerahkan, anak media Kompas Gramedia itu justru melakukan sebaliknya. Sementara dalam konteks ini, imbuhnya, hubungan media dan teror akan selalu dilematis, karena terorisme membutuhkan panggung.

“Tribunnews jadi representasi bagaimana media online kita bekerja. Dengan memberi ruang surat teroris tersebut tayang ke publik, itu (sama dengan) memberi ruang pada teror ini sendiri” ujar Heychael.

Rezim 'klik' dan ekosistem yang eksploitatif

Tolak ukur keberhasilan media seringkali berupa klik. Klik ini akhirnya menuntut wartawan untuk memproduksi berita yang cenderung sensasional. Kendati begitu, tak semua media yang bergiat di kanal daring, lantas otomatis menghamba pada klik.

Muammar Fikri, salah satu pembicara, mencontohkan Amerika Serikat dengan New York Times-nya tidak mengurangi kualitas tulisan mereka, hanya karena berada di jalur daring. “Begitu juga dengan The Guardian di Inggris atau Der Spiegel di Jerman, mereka tidak mendegradasi tulisan hanya karena ada di online,” tutur wartawan Beritagar tersebut.

Di sisi lain, riuhnya ekosistem media juga turut melanggengkan rezim klik. Karena tuntutan klik tersebut, seringkali judul-judul sensasional atau clickbait muncul di media-media daring. Tuntutan atas klik tersebut juga berdampak bagi pekerja media, yang harus dibebani dengan banyak berita, hingga bekerja keras siang dan malam.

“Seringkali wartawan di lapangan, apalagi yang melakukan konvergensi, diberikan target 8 berita online, 5 cetak, dan 1 video. Itu hanya orang-orang dengan level Nabi yang bisa mengerjakan berita sebanyak itu,” canda Fikri.

Apa yang dikatakan Muammar Fikri ada kaitannya dengan yang dikatakan oleh Vincent Mosco soal komodifikasi media. Mosco dalam bukunya "The Political Economy of Communication" (1996) mengatakan, komodifikasi adalah upaya transformasi dari sebuah hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang bisa diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil.

Mosco menguraikan tiga jenis komodifikasi, yakni komodifikasi konten media, khalayak, dan pekerja. Dari rezim klik tersebut, tak berlebihan jika dikatakan media mengomodifikasi kontennya sedemikian rupa. Komodifikasi konten melibatkan proses transformasi isi pesan agar lebih laku di pasaran. Salah satu cara komodifikasi konten saat ini dengan strategi clickbait dan judul sensasional.

“Di Indonesia sendiri, sayangnya masih banyak yang suka baca judul beritanya saja, lalu share tanpa membaca isi beritanya,” ujar Imam Wahyudi dari Dewan Pers, yang turut hadir sebagai pembicara. Kebiasaan seperti ini menurut Imam, akan mengaburkan informasi itu sendiri, karena biasanya judul tersebut akan direproduksi ulang dengan isi yang berbeda dari artikel aslinya.

Imam memang tak menyebut istilah post-truth dalam ucapannya. Namun, melihat apa yang dicontohkan Imam, laku post-truth dengan memercayai kebenaran berdasarkan emosi, yang seringkali dipicu berita-berita berjudul bombastis, telah terjadi di Indonesia sejak pemilu dan pilpres 2014 lalu.

Pada 2016, kata post-truth dipilih oleh Oxford Dictionaries sebagai “kata tahun ini”, menyusul fenomena terpilihnya Trump dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Post-truth adalah kondisi ketika fakta objektif menjadi kurang penting dalam membentuk opini publik, daripada emosi dan kepercayaan pribadi.

Sementara itu, posisi publik atau khalayak dilihat sebagai komoditas yang diperjualbelikan kepada pengiklan oleh media. Kritik Heychael yang mendakwa Tribunnews mencuri klik tak berlebihan, jika dipandang dari sudut komodifikasi khalayak yang dipaparkan Mosco.

Mosco juga mengkritik pekerja bukan lagi bagian dari kesatuan konsep dalam industri media. Pekerja hanya dilihat sebagai sapi perah yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik media.

Kelebihan beban dan jam kerja pada pekerja-pekerja media bukanlah sesuatu yang harus dimaklumi. Panjangnya jam kerja tak serta merta membuat produktifitas negara meningkat. Hasil studi, Nikkei Asian Review terhadap 18 perusahaan manufaktur di Amerika, menunjukan 10% peningkatan terhadap jam lembur malah menurunkan 2,4% produktivitas.

Sementara itu, data International Labor Organization (ILO) pada 2015 mencatat, sebanyak 26,3% pekerja di Indonesia bekerja lebih dari 49 jam dalam sepekan. Padahal, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan 40 jam kerja dalam sepekan.

Data survei UBS pada 2015 menunjukkan, jika pekerja di Jakarta menghabiskan 2.102 jam untuk bekerja dalam setahun atau di atas Manila (1.950 jam per tahun) dan Kuala Lumpur (1.934 jam per tahun).

Budaya kritik media yang minim

Heychael mengakui jika kritik media masih sangat minim di Indonesia. Salah satu faktor yang membuat minimnya kritik tersebut menurut Heychael adalah sistem. Ia mencontohkan banyak kritik yang masuk ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tetapi, tidak ditanggapi dengan serius oleh KPI. Akhirnya ini membuat orang-orang menjadi apatis.

Berkaca pada penuturan Heychael tersebut, Sosiolog dan Filsuf Herbert Marcuse pernah berkata jika kritik saat ini ditoleransi dengan leluasa, tetapi dengan segera dilumpuhkan juga, karena dijadikan barang konsumsi yang menarik dalam bentuk hiburan kultural atau sensasi.

Heychael menyayangkan paradigma sebagian orang yang mengatakan kritik harus memiliki solusi. “Analoginya begini, kalau kamu beli makan, makanannya enggak enak, apa kamu harus pintar masak untuk bilang makanan itu enggak enak?” jelas Heychael.

Sementara itu, Imam Wahyudi mengatakan kritik seharusnya berada di tangan publik, jangan menunggu Remotivi untuk bergerak. “Asbabun Nuzul dari media itu ya kepentingan publik,” kata Imam. Ia menyayangkan media saat ini tidak lagi menghamba pada kepentingan publik.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan