close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ilustrasi. foto Pixabay
icon caption
ilustrasi. foto Pixabay
Media
Rabu, 27 Oktober 2021 23:16

Maria Ressa: Ketika warga dimanipulasi di media sosial, mereka tidak mempercayai segalanya

Ress berbicara tentang pertarungannya menghadapi pemerintah Filipina dan perusahaan media sosial 'Big Tech'.
swipe

Jurnalis Maria Ressa dari Filipina adalah salah satu dari dua jurnalis yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian untuk tahun 2021, bersama dengan Editor Rusia Dmitry Muratov. Dalam sebuah wawancara dengan The Hindu -- media India, Ressa, yang merupakan penulis buku yang segera terbit 'How to Stand Up to a Dictator' berbicara tentang pertarungannya menghadapi pemerintah Filipina dan perusahaan media sosial 'Big Tech'.

The Hindu: Baru sekarang sejak tahun 1935 Hadiah Nobel Perdamaian diberikan kepada seorang jurnalis, (Carl Von Ossietzky) yang menulis tentang rezim Nazi dalam rencana militerisasi kembali Jerman. Jadi menurut Anda apa pesan yang disampaikan Komite Nobel Perdamaian pada tahun 2021?

Maria Ressa: Itu adalah momen serupa, Anda tahu, bahwa itu adalah momen eksistensial, di mana, apa yang terjadi setelah 1935, Anda mengalami Perang Dunia Kedua. Dan saya selalu menggunakan analogi itu, karena saya selalu mengatakan bahwa ekosistem informasi kita seperti bom atom yang meledak. Dan kita perlu bersatu secara global dan mencari solusi, seperti yang dilakukan dunia setelah Perang Dunia Kedua, mereka menciptakan PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, benar-benar mengukuhkan nilai-nilai ini, jadi saya harus mengatakan, saya terus menanyakan “nilai-nilai teknologi”, selain menghasilkan uang, dan (bagi perusahaan teknologi) supaya mengambil peran sebagai penjaga gerbang ke ranah publik dengan serius. 

Saya juga akan mengatakan: hadiah ini untuk semua jurnalis. Saya merasa sepertinya saya adalah pengganti bagi setiap jurnalis di seluruh dunia yang merasa sangat sulit untuk melakukan pekerjaan mereka. Dan saya terus berharap bahwa kehancuran kreatif ini akan membawa kita ke tempat yang lebih baik dari tempat kita berada sekarang.

The Hindu: Baik Filipina dan India berada dalam daftar 10 negara teratas di mana jurnalis telah dibunuh atau menjadi sasaran. Bagi jurnalis, ancaman yang berkembang datang dari rezim yang dipilih secara demokratis, populis, dan semakin otoriter di seluruh dunia. Menurut Anda apa yang menyebabkan munculnya populisme?

Maria Ressa: Teknologi! (Rezim ini) selalu ada, jika Anda melihat bahwa Hitler dan lainnya dipilih secara demokratis, tetapi saya kembali ke dekade terakhir di mana jurnalis kehilangan kekuatan sebagai penjaga gerbang (ke media sosial) teknologi. Dan, secara global saya akan mengatakan bahwa pertama kali kita melihat realitas yang berbeda muncul adalah di Ukraina, misalnya, oleh sistem informasi yang dipimpin militer Rusia atau dalam (kampanye pemilu India) pada tahun 2014. 

Kita melihat bahwa penggunaan media sosial mengarah pada erosi kepercayaan pada (media arus utama). Ketika warga dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu di media sosial, mereka mulai tidak mempercayai segalanya. Tahun ini sebuah penelitian Universitas Oxford 'Project on Computational Propaganda' (sekarang dikenal sebagai Program on Democracy and Technology demtech.oii.ox.ac.uk) menemukan bahwa “tentara bayaran (buzzer) murah di media sosial” ini menggulingkan demokrasi di 81 negara di seluruh dunia.

Bagian yang sulit adalah bahwa itu memanipulasi biologi kita. Sebagai manusia, kita memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang kita sadari karena platform yang sama menggunakan manipulasi algoritmik untuk mengubah apa yang kita pikirkan, untuk mengubah perasaan kita. Menurut seorang ahli biologi yang mempelajari perilaku ini, krisis terbesar kita berasal dari "emosi palaeolitik, institusi abad pertengahan, dan teknologi seperti Tuhan". Teknologi ini seperti Tuhan karena media sosial telah menjadi sistem modifikasi perilaku. Dan dengan kurangnya akuntabilitas, dan potensi untuk menghasilkan banyak uang, ini adalah model bisnis yang mengambil data kita dan menggunakannya untuk memanipulasi kita.

The Hindu: Argumen tandingannya adalah bahwa media sosial, perusahaan teknologi besar telah mendemokratisasikan ekspresi, memberi semua orang platform (tanpa kecuali). Menurut Anda mengapa mereka, seperti yang Anda gambarkan, adalah agen otoritarianisme dan bukan agen hak rakyat untuk tahu?

Maria Ressa: Saya akan mengarahkan Anda ke 2011, dan bagaimana Musim Semi Arab (Arab Spring) menjadi Musim Dingin Arab (Arab Winter). Awalnya (media sosial) memberdayakan. Namun kemudian, pemerintah menyadari bahwa mereka dapat memanfaatkan kelemahan penargetan mikro tersebut, kelemahan dari apa yang digunakan untuk pemasaran, dan pemerintah mulai memanipulasi alat tersebut. Mark Zuckerberg mengatakan sepanjang waktu bahwa ini adalah masalah kebebasan berbicara. Tapi saya suka mengutip komedian Sacha Baron Cohen yang mengatakan bahwa ini sebenarnya adalah masalah 'kebebasan jangkauan'.

Kita berbicara tentang amplifikasi algoritmik, distribusi algoritmik, dan penelitian sekarang telah menunjukkan kepada kita bahwa kebohongan yang dicampur dengan kemarahan dapat menyebar lebih cepat dan lebih jauh daripada fakta. Jika platform media sosial bias terhadap fakta, maka mereka juga bias terhadap jurnalisme yang mencari fakta. Dan kontestasi ini mengarah pada masyarakat yang terpecah belah.

Di Filipina, misalnya, kami tidak pernah berdebat tentang fakta, di mana pun kami berpihak (dalam politik). Tetapi setelah pemilihan Presiden [Rodrigo] Duterte pada tahun 2016, jika Anda Pro-Duterte, dan Anda juga dapat mengubahnya menjadi pro-(mantan Presiden AS Donald) Trump di sini, Anda akan bergerak lebih jauh ke kanan. Jika Anda anti-Duterte, Anda akan bergerak lebih jauh ke (haluan politik) kiri. (Manipulasi algoritmik) semacam ini telah mengoyak realitas bersama.

 Kebebasan berekspresi juga merupakan gagasan bahwa Anda harus dapat mengatakan kebenaran, berbicara apa yang Anda pikirkan tanpa takut akan pembalasan. Operasi (pengawasan) informasi di media sosial membuatnya lebih sulit, dan akibatnya para pemimpin kuat ini mengeluarkan sifat manusia yang terburuk, memberi izin untuk perilaku (daring) yang sangat merusak.

The Hindu: Ceritakan sedikit tentang perjalanan Anda melawan pemimpin kuat Presiden Duterte, menjelang penangkapan Anda pada tahun 2019.

Maria Ressa: Di Filipina, Presiden Duterte terpilih secara demokratis, tetapi seperti banyak dari otoriter digital saat ini, begitu dia menjadi Presiden, dia kemudian mengambil kontrol kekuasaan dan mengubahnya dari dalam. Kami telah melihat setidaknya 19 jurnalis terbunuh selama pemerintahannya, 63 pengacara, lebih dari 400 aktivis hak asasi manusia, dan kemudian dia mengobarkan perang narkoba yang sangat berdarah ini. 

Perjuangan pertama kami untuk kebenaran adalah, hanya untuk mengumpulkan berapa banyak orang yang tewas dalam (perang melawan narkoba), karena polisi akan memberikan satu angka dan kemudian mereka akan membalikkannya. Pada 2012, kami mendirikan Rappler (rappler.com) dengan 20 karyawan muda. Salah satu yang mulai menghebohkan adalah bagaimana siapapun yang mempersoalkan perang narkoba digeledah begitu saja di media sosial. 

Jadi hal pertama yang kami ekspos adalah operasi informasi (pemerintah), kami menunjukkan kepada orang-orang kami data tentang bagaimana mereka dimanipulasi secara daring. Saya menulis seri berjudul “Mempersenjatai Internet”, tentang bagaimana algoritma media sosial memengaruhi seseorang. Kemudian kami melihat kenyataan yang dibuat dan bagaimana hanya 26 akun palsu dapat menjangkau hingga tiga juta pengguna melalui media sosial.

Saya perlu mengatakan, saya tidak membayangkan akan ditangkap. Saya tidak mengharapkan 10 surat perintah penangkapan dalam waktu kurang dari dua tahun. Tapi kami hanya terus melakukan apa yang kami lakukan. Kami berempat, salah satu pendiri Rappler memiliki perjanjian bahwa hanya satu dari kami yang boleh takut pada satu waktu, dan kemudian kami menggilirnya. (Maria tertawa)

The Hindu: Apa saran Anda untuk jurnalis yang baru mulai? Apakah ada alat bantu tentang bagaimana menghadapi keadaan yang sulit?

Maria Ressa: Yang pertama wartawan, organisasi berita (harus bergerak) dari zaman kita saling bersaing. Kita berada di pihak yang sama. Ketika ini adalah pertarungan untuk fakta, kita berada di pihak yang sama, dan terutama di media sosial. Dalam pertempuran untuk fakta, kolaborasi adalah jalan ke depan. Ini adalah waktu yang luar biasa untuk menjadi seorang jurnalis, karena misi tidak pernah sepenting sekarang ini. (thehindu.com)

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan