close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sekjen DPD FPI Jakarta Novel Bamukmin memberikan keterangan pers saat tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (5/1). / Antarafoto
icon caption
Sekjen DPD FPI Jakarta Novel Bamukmin memberikan keterangan pers saat tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (5/1). / Antarafoto
Media
Jumat, 16 Maret 2018 14:04

Melihat citra FPI dari pemberitaan media

Sering terlibat aksi massa, popularitas FPI dinilai sejumlah lembaga survei naik. Media daring dan cetak jadi aktor yang mendongkrak FPI.
swipe

Siang ini, massa Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Pembela Islam (LPI) dikabarkan akan menggeruduk kantor Majalah Tempo, di Jalan Palmerah Barat, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Aksi itu dilakukan sehubungan dengan dimuatnya karikatur ulama FPI Habib Rizieq di majalah Tempo edisi 26 Februari 2018.

Humas Persaudaraan Alumni 212 yang juga anggota FPI, Novel Bamukmin, dalam keterangan persnya berujar, aksi itu ditunaikan untuk meminta klarifikasi dari Tempo. Menurutnya, majalah besutan Goenawan Muhammad tersebut telah menghina ulama mereka, sehingga harus ada permintaan maaf langsung.

Karikatur itu sendiri menggambarkan seorang ulama berpakaian gamis dan bersorban. Di hadapan ulama itu, ada perempuan yang ia nilai berbusana tak sopan. Tempo sebetulnya tengah memparodikan salah satu cuplikan adegan dalam film “Ada Apa dengan Cinta (2)” di mana aktris Dian Sastro tengah bercakap-cakap dengan Nicholas Saputra. Dian memaki pemeran “Rangga” itu dengan sebutan “Kamu jahat!”.

Bagi Novel, penggambaran ini dinilai melukai umat Islam. Mengingat, Habib Rizieq adalah ulama besar yang haram berduaan dengan perempuan, apalagi ditambah kata-kata tak pantas.

Meski tidak ada keterangan spesifik tentang siapa sosok ulama di karikatur itu, tapi gambar ini sudah jelas merepresentasikan sosok Habib Rizieq. Pasalnya, karikatur tersebut diterbitkan setelah Rizieq batal pulang.

"Pada posisi waktu yang memang hangat sedang dibicarakan maka jelas tujuan dari karikatur tersebut," lanjutnya, dikutip CNN.

Aksi geruduk yang dilakukan FPI bukan kali pertama terjadi. Terhitung sejak 1999, puluhan kali aksi telah dilakukan FPI dengan sasaran yang beragam. Tim riset Alinea mencatat, sejumlah aksi yang menuai kontroversi. Pada September 1999, FPI menutup sepihak perjudian di Petojo Utara dan tempat pelacuran di Ciputat, Tanah Abang, Jakarta. Dua tahun berikutnya, mereka menyerang kantor SCTV akibat penayangan telenovela “Esmeralda” di mana muncul tokoh antagonis bernama Fatimah, yang juga nama putri Nabi Muhammad.

Pada 2004 sebuah kontes Miss Waria di Sarinah dibekukan FPI lewat aksi massa. Setahun setelahnya, 400 massa FPI menyerbu kampus Mubarak. Majalah Playboy pun tak luput dari sasaran amuk massa FPI pada 2006. Lalu 27 aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang berdemo memprotes surat keputusan bersama Ahmadiyah mengalami luka-luka akibat dianiaya FPI.

Aksi sepihak FPI tak terhenti di situ. Sempat diwacanakan untuk dibubarkan oleh Presiden SBY kala itu, namun urung dilakukan. Yang terbaru FPI disebut-sebut jadi aktor intelektual yang menggagas aksi 411 dan 212. Media asing BBC bahkan menulis, mobilisasi sentimen agama dalam politik pilkada Jakarta dalam unjuk rasa, terkait kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok, justru mendongkrak popularitas FPI.

Tak heran jika kemudian, survei Lembaga Survei Indonesia pada November 2017 menyebutkan, jika FPI bertransformasi menjadi partai politik (parpol), maka mereka akan mendulang banyak suara dari konstituen.

Menurut temuan survei LSI, jika ikut pemilu 2019, sekitar 13% responden akan memilih FPI. Responden terbagi dalam kategori agama yakni pemeluk agama Islam (89%), Protestan/Katolik (8.8%), dan lainnya (2,1%). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara.

Popularitas FPI juga dibuktikan lewat riset yang dibuat Alvara Research Center. Mereka bahkan menyebut, popularitas FPI laik disandingkan dengan dua organisasi Islam besar lain yakni NU dan Muhammadiyah.

"NU mendapatkan 69.3% suara dari responden, Muhammadiyah 14.5%, dan FPI 9%," kata pendiri Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, dikutip dari laman mereka, awal 2017 lalu. Bahkan FPI sudah menyalip ormas Islam lain, seperti Lembaga Dakwah Islamiah (LDII) 35.5%, PERSIS 19.0%, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) 13.5%, dan Front Umat Islam (FUI) 9.8%.

Popularitas FPI terus naik, seiring dengan pemberitaan di media massa yang lumayan massif. Tim riset Alinea merangkum dalam setahun terakhir, pemberitaan FPI banyak menghiasi media daring nasional. Media yang terbanyak menulis soal FPI adalah Liputan 6 sebanyak 8.175, Republika 7.642, Okezone 7.037, Kumparan 6.610, Detik 6.506, dan Tribun News 6.397.

Sentimen pemberitaan media daring terbaca, bernada positif 31.99%, negatif 33.41%, dan netral 34,60%

Tak hanya media daring, media cetak juga memberitakan FPI relatif intens. Media terbanyak yang mewartakan FPI adalah Jawa Pos sebanyak 26 artikel, disusul The Jakarta Post 24 berita, Nonstop 21, Rakyat Merdeka 21, Republika 19, dan Indopos 16 artikel.

Sentimen pemberitaan di media cetak didominasi nada negatif sebanyak 40.07%, positif 28.88%, dan netral 31.05%.

Sekian tajuk berita yang dibuat sejumlah media cetak, mengarusutamakan sosok Habieb Rizieq sebagai sentral pemberitaan. Terutama setelah beberapa peristiwa yang melibatkan ulama itu, seperti aksi penggalangan massa di pilkada DKI Jakarta, aksi demonstrasi damai 212, dan terakhir berita kepulangan Habieb bulan lalu.

img
Purnama Ayu Rizky
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan