Mencari solusi dari dampak doxxing atas jurnalis
Kekerasan terhadap wartawan pada masa pandemi bukan hanya marak secara luring (luar jaringan/offline) namun juga secara daring (dalam jaringan/online). Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan dalam rentang Mei 2020 hingga akhir April 2021 telah terjadi 14 kasus teror berupa serangan digital.
"Jumlah itu meliputi 10 jurnalis yang menjadi korban dan empat situs media online," kata Tenaga Ahli Dewan Pers Shanti Ruwyastuti, di Episode 2 Media Lab gelaran Dewan Pers bertajuk 'Dampak Doxing terhadap Jurnalis dan Solusinya' membahas perkembangan tren terkini dari sejumlah isu jurnalistik, Selasa (26/4).
Shanti yang memandu acara mengimbuhkan bahwa dilihat dari jenis serangan digital, delapan kasus doxxing, empat kasus peretasan, dan dua kasus serangan distributed denial of service (DDoS).
Doxxing dilekatkan pada tindakan menyebarkan data pribadi, bisa berupa foto, alamat rumah, atau nomor handphone. Istilah doxxing yang merupakan kependekan dari dropping document, pertama kali menjadi populer sebagai kata kerja sekitar satu dekade yang lalu. Merujuk pada tindakan peretas dalam mengumpulkan informasi pribadi pihak yang diretas.
Salah satu kasus doxxing, yang menjadi perhatian publik, menimpa jurnalis detikcom pada Mei 2020. Teror ini bermula ketika jurnalis detikcom memberitakan rencana Presiden Joko Widodo meninjau persiapan new normal di salah satu mal di Bekasi.
Setelah berita ini viral, data pribadi jurnalis detikcom disebarluaskan oleh para buzzer. Akun ojek online-nya juga diretas, sehingga diserbu dengan orderan makanan fiktif melalui aplikasi. Ia juga menerima ancaman pembunuhan melalui WhatsApp.
Dari 14 kasus serangan digital, menurut laporan AJI tersebut, tiga kasus di antaranya telah dilaporkan ke kepolisian, tetapi sampai saat ini belum ada tersangka yang ditetapkan. Ini menunjukkan bagaimana teror berupa serangan digital belum mendapatkan atensi yang serius dari penegak hukum. Selain itu doxxing belum diatur secara lebih spesifik dalam norma hukum di Indonesia.
SAFEnet merilis laporan yang menyebutkan terdapat 13 kasus doping yang dialami sejumlah jurnalis dalam kurun waktu 2017 hingga 2020. Sementara itu, 10 kasus lainnya yang tercatat dalam data monitoring SAFEnet menimpa aktivis dan warga.
Jurnalis liputan6.com Andri Haryanto, menyelesaikan program magister kriminologi pada FISIP UI, menulis tesis 'Doxxing Sebagai Kejahatan Digital Terhadap Jurnalis'. Andri melakukan penelitian kualitatif deskriptif terhadap 20 jurnalis berbagai peliputan yang mengalami doxxing mulai tahun 2017 hingga 2021. Di mana pada tahun-tahun tersebut fenomena doxxing mulai muncul seiring momentum politik di Indonesia, yaitu Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres 2019.
Andri menyebutkan dampak doxxing yang dialami jurnalis mulai dari teror hingga psikosomatis. Doxxing juga menjadi pintu kejahatan lanjutan seperti teror, pelecehan, bullying, dan peretasan. Temuan lain adalah doxxing terhadap jurnalis juga bertujuan mendegradasi dan menghilangkan kepercayaan publik terhadap informasi yang disiarkan jurnalis tersebut dengan narasi yang dibangun oleh pelaku.
Seberapa berbahaya doxxing terhadap kredibilitas jurnalis dan karya jurnalistiknya? Apa solusi Dewan Pers untuk para wartawan yang sedang mengalami kasus doxxing ini? Anggota Dewan Pers Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Asep Setiawan, Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto, dan jurnalis liputan6.com Andry Haryanto menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
"Forum Media Lab diselenggarakan oleh Dewan Pers setidaknya sekali setiap bulan, yang membahas isu-isu yang menarik tentang pers dan jurnalistik," kata Asep.
Narasumber acara bincang kali ini memaparkan bagaimana fenomena doxxing di Indonesia. Kalau mengacu fungsi berdasarkan undang-undang, ada empat fungsi pers di Indonesia ini: menyebarkan informasi, melakukan edukasi, memberikan hiburan, dan kontrol sosial.
"Dalam hal melakukan kontrol sosial inilah, pers menghadapi tantangan yang tidak ringan. Tidak hanya sekarang, tapi sejak dulu di masa Orde Baru. Tantangan itu bisa berupa ancaman terhadap perusahaan pers itu sendiri, yang dulu disebut pembredelan, tindakan itu sekarang sudah dilarang. Pernah juga ada pelarangan siaran, sekarang itu sudah tidak boleh dilakukan," tutur Asep.
Menurut dia, untuk wartawan sendiri, ancamannya berupa fisik dan nonfisik. Secara fisik, mulai penganiayaan sampai dengan pembunuhan. Dan semuanya terjadi di Indonesia. Belakangan muncul pula ancaman nonfisik berupa penyebaran data pribadi di dunia siber, peretasan situs media yang itu kita akan bahas. Dan juga sekarang juga ada fenomena peretasan akun di media sosial, seperti yang baru saja dialami Dewan Pers, yang belum jelas apa tujuannya. Apakah kriminal semata-mata atau juga ancaman terhadap kemerdekaan pers.
"Dewan Pers memahami ancaman itu, sehingga berupaya melakukan perlindungan kepada wartawan dengan berbagai cara. Tentu, yang pertama, adalah instrumen Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999. Ada sejumlah peraturan yang merupakan perlindungan terhadap wartawan, khususnya juga di dalam doxxing," ujar Asep.
Diuraikannya, perlindungan dari Dewan Pers itu biasanya berlangsung aktif dan proaktif. Jadi, yang pasif, ada instrumen di undang-undang, baik peraturan juga. Bagaimana secara proaktif, kasus-kasus itu segera ditangani.
Dengan adanya bahaya doxxing ini, melalui kajian-kajian dan diskusi, maka yang diharapkan Dewan Pers ialah ada kesadaran di publik, juga di kalangan wartawan, dan media konstituen, serta para pemangku kepentingan. Ancaman ke depan akan semakin menjadi-jadi karena berbagai teknologi dan berbagai cara pelaku tindak kriminal itu akan selalu ada jalan untuk merusak kemerdekaan pers yang kita sedang ini nikmati sekarang.
Catatan terakhir, Dewan Pers pada tahun 2021, mengadakan survei indeks, menunjukkan kemerdekaan pers sudah pada tahap cukup bebas sebesar 76,02 poin. Namun demikian banyak catatan dalam indeks ini, terutama terkait dengan kekerasan terhadap wartawan. Masih terjadi fenomena di berbagai wilayah di Indonesia. Fenomena ancaman itu tidak hanya fisik langsung, juga sekarang melakukan dengan alat-alat digital. Pers dan publik perlu meningkatkan kewaspadaan, memperkuat instrumen-instrumen perlindungan dari doxxing terhadap wartawan.
Asep sekarang Kepala Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta. Dulu, pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi MetroTV, kemudian menjadi Kepala Media Research Center di MetroTV. Sebelumnya adalah Kepala Biro Bisnis Indonesia di Jakarta. Asep juga menulis buku mengenai jurnalistik radio dan jurnalistik praktis, keduanya pada tahun 2012.
Ia berbicara mwakili pembicara utama Ketua Dewan pers Prof Mohammad Nuh yang berhalangan hadir.