Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau Perpres Publisher Rights resmi diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Selasa (20/2). Regulasi tersebut ditujukan untuk menghadirkan jurnalisme berkualitas dan menjaga keberlanjutan industri pers.
Terdiri dari 19 pasal, regulasi pasal itu tidak mengatur besaran tarif yang mesti dibayar pihak platform digital kepada perusahan media yang telah memproduksi karya jurnalisme berkualitas. Hubungan timbal-balik platform digital dan perusahan media hanya ditekankan melalui ketentuan "kerja sama" pada Pasal 5 Perpres Nomor 32 Tahun 2024.
Ketentuan ini pun membuat Meta berdalih tidak wajib membayar karya jurnalisme yang yang di platform mereka. Meta ialah perusahaan teknologi pemilik aplikasi Facebook, Instagram, dan Whatsapp. Ketiga media sosial itu merupakan media sosial yang paling banyak penggunanya di Indonesia.
Sehari setelah perpres itu dirilis, Direktur Kebijakan Publik Asia Tenggara untuk Meta, Rafael Frankel mengelar konferensi pers daring di Jakarta. Frankel mengaku sudah berkonsultasi dengan pemerintah Indonesia terkait isi pepres itu.
"Meta tidak akan diwajibkan untuk membayar konten berita yang diunggah oleh para penerbit berita secara sukarela ke platform kami,” kata Frankel.
Meta merasa tak perlu membayar kepada perusahaan media massa yang menayangkan konten berita di platform mereka. Pasalnya, perusahaan- perusahaan itu mendapatkan keuntungan dari distribusi konten mereka secara gratis dan peningkatan lalu lintas ke laman media mereka.
Pengamat media digital Enda Nasution berpandangan Perpres 32/2024 memang luput mengatur kewajiban platform digital membayar kepada perusahan media yang karya-karyanya disebarluaskan di media sosial milik Meta dan kawan-kawan.
Perpres itu hanya mewajibkan platform digital bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan media untuk melahirkan karya jurnalistik berkualitas. Sesuai bunyi perpres itu, akan dibentuk komite yang mengatur kerja sama antara platform digital dan penerbit.
"Kerja samanya seperti apa, bentuk dukungannya seperti apa, itu yang masih perlu kita tunggu. Kalau soal bayar-membayar, itu sudah soal bisnis," ujar Enda saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Minggu (25/2).
Menurut Enda, Perpres No. 32/2024 membuka ruang negosiasi antara perusahan media dan perusahan platform digital untuk menentukan bagi hasil yang adil. Semula, kata Enda, perusahaan platform digital dan perusahan media kerap berselisih dalam menetapkan kompensasi yang layak.
"Kalau ada yang merasa sudah memberi layanan lalu tidak dibayar, ya didiskusikan, dinegosiasikan. Kalau tidak ketemu juga, setop saja layanannya. Kalau ada yang merasa dirugikan, tuntut pengadilan, buktikan kerugiannya," ucap Enda.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kominfo Usman Kansong mengatakan kompensasi dari platform digital kepada perusahaan media harus disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak. Komite yang bakal dibentuk nantinya akan jadi mediator antara kedua belah pihak.
"Bila antara perusahan (media dan platform digital) itu sudah terjalin (kerja sama) dan disepakati, baru ada kewajiban membayar platform itu ke perusahan media dalam berbagi bentuk, semisal bagi hasil remunerasi atau kerja sama dalam bentuk lain, semisal pelatihan dan seterusnya. Ruang kerja sama kami buka," kata Usman kepada Alinea.id, Minggu (25/2).
Pada Pasal 7 Perpres No. 32/2024 ditegaskan bahwa kerja sama perusahaan platform digital dan perusahaan pers dituangkan dalam perjanjian. Kerja sama bisa berupa lisensi berbayar, bagi hasil, berbagi data agregat pengguna berita, dan bentuk lainnya yang disepakati.
Tanpa adanya perjanjian dengan perusahaan platform digital, menurut Usman, perusahaan pers tidak bisa sepihak mengklaim kompensasi atau meminta bagi hasil. Di lain sisi, perusahaan platform digital juga tak bisa seenaknya mengambil konten berita produksi sebuah perusahaan pers tanpa kesepakatan terlebih dahulu.
"Nanti komite ini yang nanti akan menyusun tata kelola dan prosedurnya, termasuk nanti memediasi kalau ada ketidaksepakatan dalam kerja sama itu. Angka memang enggak diatur. Itu diserahkan B to B atau business to business. Kesepakatan nilainya diserahkan kepada platform dan perusahaan pers," ucap Usman.
Meta memang rutin terlibat perseteruan dengan sejumlah negara karena diterbitkannya peraturan-peraturan yang serupa dengan Perpres Hak Cipta Penerbit. Pada 17 Februari 2021, misalnya, Meta menghapus konten berita dari Facebook Australia lantaran menolak membayar perusahaan media yang konten beritanya diunggah di Facebook.
Di Kanada, regulasi serupa juga dirilis dengan nama Online News Act pada Juni 2023. Dua bulan berselang, Meta merespons regulasi itu dengan menutup news feed di Facebook Kanada. Meta beralasan hanya 3% pengguna Facebook yang mencari berita via tautan di Facebook.