close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aquiles Zonio.
icon caption
Aquiles Zonio.
Media
Rabu, 11 Agustus 2021 10:59

Obituari Aquiles Zonio, Undangan terbaik yang tak sempat ditunaikan

Di Brunei, negara yang dikatakan tidak ada kebebasan pers itu, saya bisa nyaman tidur nyenyak dengan pintu kamar hotel terbuka.
swipe

"Pacquaio ingin bertemu kalian!" Itulah undangan khusus satu-satunya yang saya sesali karena gagal memenuhinya.

Saat itu, awal November 2014, baru satu jam kami menginjakkan kaki di General Santos (Gensan). Kota terbesar di Pulau Mindanao itu adalah kampung halaman petinju juara dunia yang dijuluki Pac-man. Ia asli berasal dari Filipina selatan, walaupun tidak berdomisili tetap di sana.

Karena bukan hanya petinju, Pacquiao ternyata juga seorang senator berwibawa. Ia lebih sibuk berada di ibukota Manila.

Sementara sebagai fellow untuk Aliansi Pers Asia Tenggara, kami datang berenam ke kampung halamannya. Tiga jurnalis Myanmar, dua Indonesia, dan seorang dari Malaysia.

Kami dijemput di bandara oleh Aquiles Zonio, wartawan lokal AFP kantor berita Prancis. Ia rupanya sekaligus 'tangan kanan' Pac-man. Tak heran, sebab dia mantan petinju, yang lebih senior berkecimpung di olahraga baku pukul itu ketimbang Manny Pacquiao. Sebelum beralih profesi jadi jurnalis kawakan terkenal.

Aquiles yang menyampaikan undangan terhormat itu. Undangan yang tak sempat ditunaikan lantaran letih.

Kami sudah tidak tidur hampir 24 jam sejak terbang dari Bangkok menuju transit di Manila lalu bersambung ke Gensan. Bukan hanya tubuh fisik kami yang dibawa melayang di pesawat terbang, tapi jiwa pun terasa seperti mengapung gontai di awang-awang. Karena lelah itu, kami minta dengan segala kesopanan agar Pac-man -- kalau bisa -- mengundurkan jadwal pertemuan.

Aquiles berkata bahwa sang juara sedang berkonsentrasi menghadapi perebutan sabuk dunia kelas welter WBO melawan Chris Algieri di Makau. Ia tidak punya waktu lagi selain besok pagi di lapangan olahraga untuk berlatih lari. Setelah itu, Pac-man masuk kamp, tak bisa diganggu lagi. Di sela latihannya di lapangan besok itu, dia ingin berjumpa dengan kami.

Undangan terbaik akhirnya gagal kami penuhi. Sayang sekali...

Selama dua pekan kemudian, Aquiles lebih setia memandu kami memburu berita di tiga kota selatan Filipina. Ia menyisihkan waktunya setiap hari mengantar-jemput kami dari hotel lantas menemui berbagai sumber yang harus diwawancarai dan mengunjungi sejumlah situs yang perlu didatangi.

Selesai semua urusan liputan, kami yang malah kemudian mencoba bertemu Pac-man di sebuah gim di Gensan. Ketika itu kami terlambat hanya beberapa detik saja. Bayangannya baru masuk dari pintu depan dan naik ke lantai dua untuk latihan terakhir. Tapi penjaga keamanan bersenjata api laras panjang menahan langkah kami. Tegas, dia bilang: Pac-man tidak bisa ditemui lagi.  

Hari terakhir itu, kami diantar Aquiles dengan bus mini ngebut ke Davao. Lima jam perjalanan sore sampai malam menyusuri lika-liku jalan terjal yang diguyur hujan. Terkadang melaju di tepi jurang, di pinggir pantai, di sela pohon kelapa yang diterpa angin kencang seakan mau patah.

Mata badai sudah tampak mengintai, musim angin Pasifik di negeri kepulauan itu terkenal kejam mematikan. Perjalanan darat terpanjang sungguh paling mencekam yang pernah ditempuh seumur hidup ini.

Hampir tengah malam, kami berpisah di Davao, kota terbesar ketiga Filipina. Aquiles menggenggam erat tangan kami dengan otot-otot kekar sisa kejayaannya bertinju, dulu. Besoknya, dia telah ditunggu jadwal berangkat dengan jet pribadi Pac-man ke kota judi Makau.

"Di Brunei, negara yang dikatakan tidak ada kebebasan pers itu, saya bisa nyaman tidur nyenyak dengan pintu kamar hotel terbuka. Tapi di rumah saya sendiri, kadang-kadang saya merasa tidak aman sehingga harus tidur ditemani pistol di ranjang," katanya.

Dia pernah meliput ke Brunei sebagai fellow untuk Aliansi Pers Asia Tenggara juga. Sudah banyak jurnalis terbunuh di Filipina selatan, kampungnya sendiri.

Aquiles yang berhasil mengalahkan kanker akhirnya kalah direnggut virus Covid-19, Senin (9/8). Saudarinya Amie Zonio mengabarkan musibah itu di laman Facebook.

"Sangat sedih mendengar bahwa mantan rekan sejawat saya di harian Inquirer Biro Mindanao, Aquiles Zonio (Los Olvidados), yang telah berjuang melawan kanker limfoma, telah meninggal karena virus, berdasarkan posting oleh kerabat. Selamat jalan, Bro, istirahatlah dengan tenang," tulis Allan Afdal Nawal, jurnalis di Davao, turut berduka cita.

Selain menjadi jurnalis AFP, dia pernah bekerja di harian Inquirer, Manila. Masih terbayang jelas tulisan di kaos oblong biru yang dengan begitu bangga Aquiles pakai saat menemani kami di Mindanao:

"There can be no press freedom if journalists exist in conditions of corruption, poverty or fear." (Tidak akan ada kebebasan pers jika jurnalis berada dalam kondisi korupsi, kemiskinan atau ketakutan. Selamat jalan Zonio.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan