International Research Institutes (Iris) Global Climate Change Survey (2021) menemukan bahwa masyarakat Indonesia menunjukkan kepedulian tinggi mengenai isu perubahan iklim, namun terlalu optimistis terhadap bagaimana mengatasi dan membalikkan dampaknya.
Sementara itu, Laporan Berita Digital Reuters Institute 2022 (2022 Reuters Institute-Digital News Report) menyatakan, pada sejumlah agenda berita, perdebatan tentang politik, identitas, dan budaya semakin terpolarisasi. Sejauh apa porsi perubahan iklim menjadi bagian dari perdebatan, laporan tersebut tidak membandingkan polarisasi perubahan iklim dengan isu-isu lain seperti politik, identitas, dan budaya.
Grafik pada RI-DNR 2022 menyoroti kesenjangan antara dua kelompok berhaluan politik kiri dan kanan tentang perubahan iklim di beberapa negara, dengan Amerika Serikat menunjukkan kesenjangan polarisasi terluas. Polarisasi kelompok politik kiri-kanan berdampak tidak hanya di negara-negara Amerika dan Eropa tetapi juga sudah mulai merambah Asia, seperti yang ditunjukkan oleh Jepang dan Korea Selatan pada grafik ini.
Sebuah studi tahun 2020 yang menarik tentang polarisasi perubahan iklim di media AS menyebutkan bahwa kekhawatiran tentang politisasi berita perubahan iklim bukanlah hal baru, tetapi liputan isu selama tiga dekade terakhir telah bergeser.
Sebuah studi baru Universitas Michigan (UM) secara kuantitatif menunjukkan, untuk pertama kalinya, bahwa selama periode 30 tahun, liputan perubahan iklim tidak hanya didominasi oleh suara-suara partisan, tetapi juga bahwa suara-suara itu terkait dengan pesan-pesan yang semakin berbeda tentang perubahan iklim.
Kesenjangan politik seputar perubahan iklim telah menyebabkan cakupan pandangan politisi yang lebih luas, yang kemungkinan berkontribusi pada polarisasi opini publik, menurut peneliti UM.
“Informasi semacam ini tentang tren dalam liputan berita arus utama membantu kita untuk memahami mengapa publik Amerika menjadi terpolarisasi seputar masalah perubahan iklim — dengan beberapa mempercayainya sementara yang lain tidak —sementara para ilmuwan semakin yakin bahwa perubahan iklim itu nyata dan disebabkan oleh aktivitas manusia,” kata Sedona Chinn, seorang mahasiswa doktoral di bidang komunikasi dan media dan penulis utama studi tersebut.
Chinn dan rekan menganalisis artikel perubahan iklim dari 11 surat kabar nasional, termasuk New York Times, Washington Post, Los Angeles Times, dan Chicago Tribune, antara 1985 dan 2017. Sekitar 62.000 artikel perubahan iklim diidentifikasi menggunakan istilah kunci, seperti pemanasan global dan gas rumah kaca.
Untuk menangkap politisasi, para peneliti melihat seberapa sering artikel tersebut menyebutkan Partai Republik, Demokrat, dan ilmuwan. Hal ini memungkinkan untuk perbandingan dari waktu ke waktu antara isu-isu lingkungan yang berbeda. Pada 1980-an dan 1990-an, ada lebih banyak penyebutan ilmuwan daripada politisi dalam liputan perubahan iklim, tetapi tren ini berubah pada 2000-an karena politisi lebih sering dikutip.
Ketika sampai pada polarisasi, para peneliti melihat bagaimana kata-kata di sekitar penyebutan aktor partisan dalam artikel perubahan iklim berubah dari waktu ke waktu. Ini mengungkapkan bahwa bahasa yang terkait dengan penyebutan Partai Republik dan Demokrat telah menjadi lebih berbeda dari waktu ke waktu. Ini penting karena menawarkan bukti bahwa kelompok partisan semakin banyak berbicara tentang perubahan iklim dengan cara yang berbeda. (illuminateasia.com)