Pemerintah masih melihat situs web sebagai tools bukan organisasi artifisial
Di masa pandemi Covid-19 kebanyakan masyarakat mencari informasi melalui media internet. Pemerintah juga di saat itu belum memberikan informasi secara detail tentang penyakit ini, kemudian bagaimana penanganannya. Kebanyakan masyarakat akan mencari informasi melalui internet. Bagaimana pemerintah dapat menginformasikan hal tersebut kepada masyarakat melalui komunikasi yang terjalin antara pemerintah ke masyarakat?
Organisasi Kesehatan Dunia telah menyarankan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat adalah komunikasi risiko. Karena pada kondisi pandemi yang diutamakan adalah bagaimana upaya untuk mencegah agar penyebaran Covid-19 dapat ditekan lajunya. Sehingga terutama bukannya mengobati, tapi bagaimana mengantisipasi agar penyebarannya bisa ditahan.
Demikian, latar paparan hasil penelitian yang berjudul Jaringan Hyperlink Informasi Pandemi pada Organisasi Pemerintah: Studi Komunikasi Simetri pada Situs Web Pemerintah Terkait Isu Covid-19 Menggunakan Hyperlink Network Analysis (HNA) oleh Heryna Oktaviana Kurniawati.
Penelitinya memaparkan latar itu kepada audiens serial seminar nasional Departemen Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Jumat (3/6).
"Pemerintah juga melakukan sosialisasi, komunikasi resiko itu juga, melalui, pertama, mereka punya yang namanya KCPPEN atau lembaga yang memang untuk menangani COVID-19 itu sendiri. KCPPEN punya situs web yang dibangun khusus yaitu covid19.go.id, di situ dipaparkan apa saja informasi yang perlu diketahui oleh masyarakat mengenai pandemi," kata Heryna.
Diakuinya, penelitian ini dia lakukan karena adanya metodologi penelitian yang memang saat ini masih jarang digunakan oleh peneliti-peneliti komunikasi, yaitu penelitian mengenai jaringan isu yang dibentuk melalui jaringan hyperlink.
"Jaringan hyperlink sendiri sebenarnya ada tiga: jaringan hyperlink sebagai jaringan isu, kemudian juga jaringan hyperlink untuk sitasi dan sebagainya. Dari hal tersebut, maka saya mengambil studi HNA yang cukup menarik untuk kita teliti dan objek kajiannya adalah bagaimana situs web pemerintah memaparkan mengenai informasi pandemi melalui jaringan hyperlink-nya," ujar Heryna.
Alumni Pascasarjana Komunikasi UI itu meneliti situs-situs web milik pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pemerintah provinsi. Bagaimana jaringan itu membentuk satu jaringan hyperlink yang memberikan informasi pandemi kepada masyarakat.
Tujuan penelitiannya adalah untuk mencari tahu bagaimana pemanfaatan situs web sebagai jaringan isu diterapkan oleh organisasi pemerintah. Serta, yang kedua, bagaimana komunikasi simetri dalam situs web pemerintah ditunjukkan melalui kohesivitas struktur jaringan. Dan dominasi aktor dalam jaringan hyperlink situs web organisasi pemerintah tentang isu Covid-19.
Teorinya, pertama, adalah bagaimana komunikasi yang dilakukan melalui media digital itu seharusnya menjadi komunikasi simetri dua arah. Sedangkan kebanyakan pemerintah atau Humas pemerintah masih mempersepsikan bahwa komunikasi model komunikasi yang diterapkan melalui media digital itu hanya melihat bahwa media digital sebagai tools.
"Jadi, mereka masih menggunakan, misalnya model komunikasi propaganda, kemudian penyebaran informasi, dan model komunikasi simetris. Sementara masih sedikit dari Humas pemerintah yang memang telah menerapkan bagaimana model komunikasi simetri dua arah itu digunakan sebagai model komunikasi yang mereka gunakan melalui media digital," cetusnya.
Menurut Heryna, berbeda dengan institusi-institusi non-pemerintah atau perusahaan atau komersial, yang sudah lebih banyak menggunakan model komunikasi simetri dua arah. Di mana terlihat bahwa mereka misalnya menggunakan untuk kampanye tertentu, akan meminta feedback dari masyarakat atau pengguna yang hadir di situs web mereka.
"Sedangkan pemerintah masih sangat jarang yang terutama akan menindaklanjuti apa yang masyarakat sampaikan di situs web mereka. Masih sangat jarang sementara ini," sambungnya.
Menurut Heryna, model komunikasi simetri dua arah yang diharapkan adalah terjadinya komunikasi dialogis. Yang bisa dilakukan di media sosial untuk komunikasi dialogis itu, di antaranya adalah mention, kemudian retweet, reply, di media sosial.
"Maupun, kalau untuk situs web, kita bisa melakukan mengutip atau menautkan hyperlink di suatu situs web ke situs web lainnya. Atau misalnya kalau yang dilakukan secara direct adalah membalas pesan di kolom komentar situs web," ucap Heryna.
Tapi, orang kebanyakan masih melihat kebanyakan situs web itu sebagai tools. Jadi, paradigmanya melihat bahwa media sosial ataupun media digital hanya berupa tools atau media saja.
"Padahal seharusnya kita sudah harus mulai mengubah paradigma, bahwa situs web ataupun media sosial itu merupakan wujud organisasi artifisial di jaringan digital, sehingga situs web ataupun media sosial itu dapat merepresentasikan organisasi atau institusi di media digital. Sehingga apa yang kita sampaikan melalui situs web ataupun media sosial lainnya itu memang mencerminkan apa yang menjadi jati diri dari institusi itu. Itu akan berpengaruh pada reputasi institusi itu juga," tegasnya.
Penelitian Heryna menggunakan teori jaringan aktor. Karena menurut teori jaringan aktor, situs web itu merupakan produk teknologi yang merupakan wujud artifisial yang bertindak atau merepresentasikan organisasi selayaknya dilakukan oleh aktor di dunia nyata.
"Kemudian, komunikasi simetri itu, kalau menggunakan teori jaringan aktor, kita bisa mengutip dari konsep Bruno Latour tentang 'following the actor' dalam buku Reassembling the Social (2005), yang menyatakan bahwa komunikasi simetri dilakukan melalui menautkan atau mengutip informasi dari situs web yang satu kepada situs web yang lain," singkapnya.