close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Septiawan Santana Kurnia. Foto dokumen
icon caption
Septiawan Santana Kurnia. Foto dokumen
Media
Jumat, 14 Januari 2022 08:09

Pencatat kehidupan pers yang bersahaja dari kampus UNISBA

Ada wartawan bertanya: "Memangnya Bapak sudah melakukan investigasi?" Dijawabnya tidak, bahwa dia hanya penulis buku saja.
swipe

Mengaku hanya numpang lahir di Purwakarta, tepatnya pada 6 September 1964. Sejak SMP, Septiawan Santana Kurnia besar di Bandung serta mulai hobi membaca, nonton, dan menulis.

Membereskan sekolahnya hingga tingkat doktoral, kini dia menjabat Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA). Motivasi utamanya mengajar komunikasi dan jurnalistik sekadar ingin beribadah secara baik dan benar. Suka-dukanya menjadi dosen di era melek digital sekarang ini dengan menjunjung pepatah 'biar miskin asal sombong' seperti dianut kaum intelektual umumnya.

"Saya sebenarnya berminat bukan di jurnalistik. Sebenarnya cuma pengen menjadi penulis saja. Karena dulu suka membaca, maka saya pengin menulis. Sekolah menulis 'kan tidak ada? Yang ada jurnalisme, ya sudah, saya masuk saja jurnalistik," katanya.

Pria dengan satu istri dan anak dua yang bersahaja ini pernah berkarier sebagai wartawan. Namun, hanya: "Wartawan-wartawanan. Bukan wartawan yang beneran. Tapi saya lebih suka disebut pengajar jurnalistik saja," cetusnya terkesan merendah.

Terkenal produktif menulis buku-buku teks jurnalisme yang banyak dibaca publik, kiat dari proses kreatifnya dimulai dari kesukaan mencari sesuatu yang baru. Kesukaan untuk belajar mendapatkan sesuatu yang baru. Kemudian menuliskan, mengembangkan, lalu menerbitkannya sebagai buku.

Saat menuangkan ide menulis, dia tak luput mengalami kendala. "Kemalasan, kelelahan, dan ketidakberdayaan mendapatkan sumber-sumber referensi yang bagus. Karena mendapatkan buku referensi yang bagus itu memerlukan biaya juga," ujar Septiawan, menguraikan tantangan yang dia hadapi.

Dia selalu berhasil mengatasi rasa malas, lelah, dan tidak berdaya itu meskipun dengan membayar harga yang mahal. Akhirnya kepuasan tersendiri didapatkannya dari menulis buku.

"Menulis buku-buku itu di sela kesibukan mengajar. Kepuasannya ketika seseorang mendapatkan sesuatu dari buku saya, dan dia menyampaikannya dengan indah. Bahwa dia belajar ini-itu dari buku yang saya tulis," sambungnya.

Setelah proses kreatif memproduksi buku, kritik yang keras atas isi buku-buku yang ditulisnya pernah pula diterima Septiawan. "Sering (juga dikritik)," ujarnya.

Di antaranya dia mengarang buku Jurnalisme Investigasi (terbitan Yayasan Obor Indonesia, 2004). Kemudian ada wartawan bertanya: "Memangnya Bapak sudah melakukan investigasi?" Dijawabnya tidak, bahwa dia hanya penulis buku saja.

"Tugas penulis adalah menulis barangkali. Ini di luar keahlian. Karena kalau keahlian, maka saya bilang banyak belajar dari wartawan. Justru ketika Anda memiliki skill, kehebatan tertentu, terus saya mencatatnya dan menuangkannya ke dalam tulisan. Jadi kelebihan Anda itu saya catat, lalu saya kemukakan pada orang lain. Saya sendiri bukan orang yang ahli. Saya hanya pencatat kehidupan saja," ucap Setiawan.

Paling menyenangkan, dia pun mendapat apresiasi pembaca seperti ada yang memberi bunga atau hadiah. "Hal itu semua saya dapatkan. Sampai saya mendapat penghargaan, sebenarnya dengan memendam rasa malu juga," imbuhnya.

Hidup seorang penulis seperti Septiawan tidak selamanya serius melulu, melainkan pernah muncul satu pengalaman lucu. Dia pernah membutuhkan buku Jurnalisme Sastrawi (karangan dia sendiri) untuk keperluan tertentu. Saat itu, dia tidak punya bukunya. Akhirnya, dia mendatangi mahasiswa dan mahasiswanya bilang memiliki buku itu. Ya, sudah, kata Septiawan: "Buat saya saja ya bukunya?" Mahasiswa berkata, "Bapak mah kacau!" Dia mengamini celetukan itu sambil merasa bahwa dia penulis yang kacau.    

Ketika ditanya apa menulis buku itu juga menambah kekayaannya secara materiel, Septiawan tertawa terbahak-bahak. "Saya tidak tahu ya, tapi mungkin ada ya (yang kaya-raya) seperti J.K. Rowling (novelis Inggris, pengarang serial Harry Potter). Saya di Indonesia itu jawabannya sederhana: Disebut tidak juga, sebetulnya ada. Cuma tidak kaya benar," katanya.

Dalam kurun setahun, paling-paling dia cuma mengantongi Rp1 juta, terkadang cuma ratusan ribu rupiah, dari royalti buku. "Tapi kalau untuk (penulis) yang lain 'kan ada juga yang sampai menerima hasil puluhan juta rupiah? Mungkin karena saya penulis buku tidak laku," tuturnya.

Bukan kekayaan harta benda yang dia cari sebagai kebahagiaan. "Menulis buku itu (karena merasa) senang saja," tuntasnya. 

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan