Penganut jurnalisme data: Wartawan indepth mirip seperti peneliti lapangan
Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Marie Thomas tahun 2016, terdapat lima prinsip etika jurnalisme lambat (slow journalism) yang perlu untuk dipenuhi oleh para jurnalis media daring di ruang berita. Yakni, ada reciprocity (timbal balik), responsibility (tanggung jawab), respectfulness (penghormatan), passion (gairah), dan hospitality (keramahtamahan).
Hal itu dikemukakan Ilham Fariq Maulana membuka presentasi karyanya: Habitus pada Jurnalis Media Daring yang Menggunakan Konsep Jurnalisme Lambat (Studi Kasus Jurnalis Tirto.id dan Katadata.co.id).
Ilham berbicara sebagai panelis pada sesi pertama dari rangkaian seminar nasional telah diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia tentang Media Daring dan Jurnalisme Lambat pada Masa Pandemi, Jumat (13/5).
Penelitiannya merumuskan masalah dengan berfokus pada penggunaan jurnalisme lambat oleh jurnalis dalam organisasi media yang dinilai sudah bisa mengonstruksi informasi secara tepat karena menunjukkan keterlibatan profesi jurnalis yang mendalam mirip seperti peneliti di lapangan.
"Kajian teori yang digunakan pada penelitian tesis ini sebenarnya ada tiga, tetapi mungkin saya akan menjelaskannya dengan merangkainya," kata Ilham.
Jurnalisme pada dasarnya tidaklah bisa dipisahkan dari teknologi karena jurnalisme sendiri juga bergantung pada fungsi teknologi untuk membantu pesan dan juga membagikannya kepada masyarakat. Proses dari analog menjadi digital mengubah volume berita yang diterima oleh publik, kecepatannya atau velocity penyampaiannya, keragaman atau variety rasanya, dan penilaian khalayak tentang kebenaran atau verocity.
"Salah satu konsep kerja dari jurnalisme digital itu adalah jurnalisme data. Para akademisi dan praktisi menilai bahwa jurnalisme data itu sebuah praktik pelaporan berita yang baru," sambungnya.
Namun demikian praktik ini tetap menjadi sebuah tantangan bagi para organisasi berita dan juga para jurnalis media daring karena jurnalisme data itu membutuhkan berbagai macam keahlian dalam dan juga alur kerja.
Jurnalisme data itu membutuhkan keahlian seperti membentuk pemberitaan yang substansial, akses ke kumpulan data, dan banyak lagi. Hal ini jika dihubungkan yang sudah jurnalisme lambat menunjukkan bahwa jurnalisme lambat itu sebenarnya ingin menunjukkan kepada pembaca sumber informasinya, bagaimana informasi itu dikumpulkan, dan membedakan subjektivitas dan ketidakpastian selama proses penemuan fakta.
Artinya konsep jurnalisme lambat itu tidak melawan praktik penayangan dan pendistribusian dalam waktu yang hampir real time. Tapi jurnalisme lambat setiap waktunya ingin memberikan refleksi kepada jurnalisme media daring dan juga para media daring khususnya untuk mempertimbangkan mode slow atau mode lambat.
Pemilihan konsep habitus sendiri didasarkan pada pandangan bahwa jurnalisme lambat tidak hanya memfokuskan pada kritik gaya ruang berita yang memfokuskan hampir akselerasi.
"Tapi juga refleksi kebiasaan, budaya dalam narasi di ruang berita. Pengalaman jurnalis dan nilai-nilai yang dipahaminya merupakan hasil pembentukan pembelajaran dalam periode yang panjang," serunya.
Ilham lulus dari pascasarjana UI di bulan September 2021 dan saat ini SEO content writer di Hello Health Group Jakarta Selatan di Indonesia. Dia mengidentifikasikan dirinya sebagai sudah berpengalaman di SEO specialist dari SEO content writer. Juga memiliki minat di bidang jurnalisme, public relations, dan social media networking.
"Praktik jurnalisme digital dan jurnalisme lambat dapat dijelaskan melalui pengalaman dan pemahaman nilai yang mereka dapatkan sepanjang hidupnya, yang disebut dengan habitus," ujar Ilham.
Dikatakan, habitus adalah hasil proses belajar yang sangat panjang dan berkesinambungan. Habitus ini tidak mudah hilang ataupun tidak mudah untuk diubah. Karena habitus itu menubuh di setiap masing-masing individu.
Metodologi dalam penelitian Ilham menggunakan wawancara mendalam dengan para subjek penelitian dari Tirto.id dan juga Katadata.co.id. Mereka adalah para pemegang keputusan dari masing-masing media. Di mana wawancara ini dilakukan dalam beberapa sesi atau dalam beberapa pertemuan dengan masing-masing subjek.
Dalam penyajian penelitian habitus itu dilakukan dengan melalui narasi kronologis kehidupan dari masing-masing subjek, dari masa kecil hingga saat ini. Sehingga bisa ditemukan habitus primer, habitus sekunder, dan juga kepemilikan kapitalnya.
Pada subjek pertama, yakni subjek ASA, adalah pria asal Jombang, Jawa Timur, saat ini berusia 55 tahun. Dirinya mendapatkan kesempatan secara pro bono membantu detikcom sejak tahun 1998 hingga 2011. ASA sendiri pernah juga mendirikan media monitoring bernama Binokular dan menjabat sebagai komisaris bersama istrinya tahun 2009, sebelum akhirnya mendirikan Tirto.id di tahun 2016, dan menjabat sebagai CEO hingga 2021.
Saat ini ASA sendiri aktif sebagai anggota Dewan Pers periode 2022-2025. Habitus primer adalah habitus yang terbentuk dari saat dia berada di keluarga intinya, dari kedua orang tua, dari saudaranya. Dia terlahir dari keluarga militer yang dikenal dengan ayah seorang anggota korps militer Angkatan Darat, ibu dari keluarga petani, dikenal sangat dekat dan terinspirasi dari sosok ibu dan kakak kelimanya. Menyukai aktivitas dan kegiatan budaya lokal dan sudah mengenal produk jurnalistik sedari kecil, karena pengaruh pertama dari sang ayah.
Kemudian habitus sekunder, yakni habitus yang diterimanya ketika sudah misalnya di dunia pendidikan maupun dunia kerja. Dia mulai bekerja untuk membiayai kuliah. Mulai tertarik dengan dunia jurnalistik, ditunjukkannya dengan pemilihan universitas maupun program studinya, nilai sejumlah mata kuliah seperti antropologi, komunikasi, psikologi dan metode penelitian.
"Dia sempat berpindah tempat kerja beberapa kali dan pernah membantu secara pro bono di detikcom," katanya.
Subjek kedua yang diteliti Ilham Fariq Maulana dalam karyanya, Habitus pada Jurnalis Media Daring yang Menggunakan Konsep Jurnalisme Lambat (Studi Kasus Jurnalis Tirto.id dan Katadata.co.id), yakni subjek YS.
YS adalah pria asal Riau berusia 44 tahun, waktu itu. Saat ini, menjabat Editor-in-Chief dalam kurun waktu yang terbilang cepat. Ia pernah bergabung di sejumlah grup media ternama di Indonesia sebelum diajak bergabung di Katadata.co.id sebagai Editor-in-Chief.
Habitus merupakan hasil internalisasi struktur dunia sosial, atau struktur sosial yang dibatinkan. Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.
Habitus primernya, ia terlahir di keluarga Minang di mana ayah seorang pedagang dan ibu seorang guru di perusahaan minyak. Ia anak pertama dari dua bersaudara, berprestasi di sekolah, dan selalu menempati peringkat juara.
Ambisius dan kompetitif dari kecil. Sempat mengalami penyakit, kemudian aktivitas sosialnya banyak diarahkan orangtua, juga banyak dipengaruhi oleh ibunya untuk membaca produk jurnalistik sejak kecil.
Habitus sekundernya di masa kuliah menjadi titik balik perubahan perilaku dan pemikiran. Dia bergabung di lembaga pers mahasiswa, aktif bergabung di beragam kegiatan sosial, dan sejumlah kelompok dengan orientasi yang berbeda-beda.
"Dia yang semulanya tertutup menjadi lebih terbuka dan sangat menyukai bertemu dengan orang lain. Dia juga magang di media dan mengagumi para jurnalis media," kata Ilham dalam sesi pertama dari rangkaian seminar nasional telah diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia tentang Media Daring dan Jurnalisme Lambat pada Masa Pandemi, Jumat (13/5).
Temuan lainnya selain menjelaskan habitus dan kapital dari masing-masing subjek, penelitian Ilham turut menemukan sejumlah temuan penelitian, yang mendukung hasil data penelitian seperti etika. Etika ini menjelaskan bagaimana pengimplementasian etika-etika yang dilakukan oleh subjek dan medianya dalam melakukan reportase ataupun penulisan berita. Kemudian untuk orientasi menjelaskan mengenai pandangan secara umum para subjek dan menjelaskan bagaimana teknologi media daring dan proses bisnis media dari itu sendiri.
"Sedangkan untuk praktis itu ditemukan oleh tujuh elemen jurnalisme lambat yang menjelaskan apa saja yang membentuk konsep jurnalisme lambat sendiri," katanya.
Serta bagaimana menjelaskan subjek penelitian memahami nilai-nilai praktis tersebut tentang jurnalisme lambat yang dipahaminya sebagai jurnalis media daring selama ini, yang ia praktikkan selama memimpin media-media daring yang menggunakan konsep jurnalisme lambat tersebut.
Sintesis dari temuan penelitian ini, jadi habitus, kapital, dan juga arena yang dimiliki oleh subjek ASA berkaitan dengan bagaimana dirinya mengaktivasikan jurnalisme lambat saat memimpin di Tirto.id. Bahwa setiap agen atau kelompok berusaha untuk mempertahankan posisinya, membedakan diri, dan mendapatkan posisi-posisi baru.
Cara memimpin ASA itu orientasinya pada penggunaan jurnalisme lambat. Hanya ingin membedakan diri dari media mainstream Indonesia lainnya yang banyak bergerak di berita cepat, sensasional, dan mementingkan peringkat seperti situs-situs pemeringkatan global seperti Alexa Rank dan sebagainya.
ASA tetap menilai bahwa pemeringkatan itu tidak bisa dilakukan hanya sebagai penilaian saja sehingga ASA lebih memilih untuk memisahkan diri dari kepentingan mengejar peringkat Alexa dan memutuskan bagaimana pembaca menilai kualitas konten dari Tirto.id.
Sedangkan untuk subjek YS menjelaskan bagaimana dirinya mengaplikasikan konsep jurnalisme lambat dengan tidak mengambil kecenderungan dan keberpihakan pada satu kelompok. Maka YS mengamati etika dalam jurnalisme lambat selama memimpin di Katadata.co.id.
Menolak bagaimana penilaian sebuah situs juga didasarkan hanya satu pemeringkatan saja seperti Alexa Rank. YS membawa Katadata.co.id lebih banyak mengungkap apa yang terjadi di balik sebuah kasus dengan menjabarkan beragam sudut pandang dan menghormati dan tidak menyinggung kelompok kepentingan tertentu.
"Ini sesuai dengan salah satu konsep dari jurnalisme lambat, yakni respectfulness," ucap Ilham.
Dengan demikian, YS mengarahkan menu kanal media daringnya lebih berdampak di masa depan dengan mempertimbangkan penulisan berita yang wrong form (bentuk yang salah). Pengalamannya selama di media-media besar Indonesia juga membentuk keahliannya dalam jurnalisme lambat.
Untuk kesimpulan, media daring yang menggunakan konsep jurnalisme lambat merupakan bentuk arena yang bisa menjelaskan kasus benturan habitus jurnalis dari dunia media analog yang bertemu dengan tuntutan kecepatan pada bisnis media digital. "Tetapi masih bisa mempertahankan gaya penulisan jurnalisme data yang kontekstual menurut mereka," tutur Ilham.
Habitus primer yang berasal dari orang tua terjadi sejumlah saluran seperti pengingatan, peniruan, dan pengalaman yang dieksternalisasi ke dalam pada arena apapun, baik itu di dalam dunia kerja maupun dunia pendidikan, maupun ketika bertemu dengan sesama profesi. Kedua subjek sama-sama mendapatkan habitus dari menjadi wartawan media analog kemudian dibenturkan dengan kondisi bisnis media daring yang lebih banyak menuntut kecepatan dan sensasionalitas.
Mereka juga menolak sentralitas pengukuran kesuksesan media daring hanya berasal dari satu pemeringkatan global. Habitus subjek pertama selalu menuntutnya untuk adaptif, di idealismenya media yang baik adalah memiliki konten berkualitas dan cepat dalam menyajikan berita. Jadi subjek pertama masih berkompromi dengan fast journalism dan juga jurnalisme lambat. Subjek kedua lebih memilih kepemilikan budaya yang disebabkan oleh disposisi ibu pada habitus pemikiran yang sama sejak kecil.
Subjek pertama selalu menempatkan teknologi media sekarang bukan lagi jadi alasan bagi media daring untuk tidak menyediakan informasi yang lengkap dan mendalam dalam waktu yang singkat. Ini menjelaskan jika subjek pertama memiliki pemikiran teknologi akan membantu polaritas konten media secara lengkap. Sebaliknya subjek berdua sering terpengaruh oleh idealisme jurnalis yang menekankan jurnalisme lambat lebih banyak dipengaruhi oleh sisi dan kemampuan dari jurnalis media daring itu sendiri di samping teknologi.
Ilham membedah subjek penelitiannya melalui konstruktivisme yang lengkap dengan melihat habitus para pemangku kebijakan yang punya kekuatan besar untuk menentukan konten berita.