close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Media daring membuat mata rantai pers cetak, seperti agen, loper, dan pengecer koran penghasilannya ikut menipis. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Media daring membuat mata rantai pers cetak, seperti agen, loper, dan pengecer koran penghasilannya ikut menipis. Alinea.id/Oky Diaz.
Media
Kamis, 22 Agustus 2019 22:10

Pengecer koran, mata rantai pers yang tergerus zaman

Saat ini, jarang terlihat penjaja koran yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Pembaca telah beralih ke media online.
swipe

Siang itu, di sudut antara Jalan Mangga Besar dan Gadjah Mada, Jakarta Barat, persis di depan sebuah toko bangunan dan rumah makan, koran-koran bekas milik Edi Siswanto berjejer dan terikat rapi. Edi terlihat masih terlihat sibuk merapikan dan mengikat koran-koran itu dengan seutas tali.

“Tumpukan koran itu bakal saya jual ke tukang loak. Sudah terlalu menumpuk di lapak saya. Lumayan, buat cari uang tambahan,” kata Edi saat ditemui Alinea.id, Sabtu (17/8).

Roda kemajuan zaman tak bisa dibendung. Saat ini, pembaca koran beralih ke media daring untuk memenuhi rasa ingin tahu informasi terkini. Hal itu, turut memengaruhi bisnis Edi. Koran-koran bekas yang dijualnya banyak yang tak laku, dan tak bisa diretur ke penerbit media cetak bersangkutan.

“Pembaca sekarang sudah beralih ke media online ataupun media sosial,” ujarnya.

Sudah 29 tahun Edi melakoni pekerjaannya sebagai pedagang koran dan majalah. Setidaknya lima tahun terakhir, dia terus dibayangi kebangkrutan. Di samping koran sudah ditinggal pembacanya, para pengecer koran pun kerap mengutang kepadanya.

Pria asal Pemalang, Jawa Tengah itu mengatakan, kondisi ini sangat jauh berbeda dibandingkan dua dekade lalu. Ketika itu, dia bisa menjual 1.000 hingga 2.000 eksemplar koran dalam waktu singkat.

“Kalau saya buka jam 4 subuh, jam 7 pagi sudah bisa bawa uang ratusan ribu,” ujarnya.

Dahulu, selain bisa menjual ribuan koran dalam sehari, permintaan dari pengecer koran yang berkeliling pun tinggi. Mereka bisa membawa 100 hingga 200 koran dari lapak Edi.

“Sekarang pengecer itu paling bawa 20 sampai 30 koran dari tempat saya karena memang susah jualnya,” kata Edi.

Lebih lanjut, dia mengakui, saat ini menjual 100 eksemplar koran susahnya bukan main. Dari hitungannya, dia menaksir penghasilannya turun 80% selama dua dekade terakhir. Dia pun sudah meramalkan nasibnya sendiri.

“Paling lama dua tahun lagi saya bertahan. Setelah itu wasalam,” kata dia.

Bukan hanya Edi yang terpukul dengan kondisi serba tidak pasti. Loper dan pengecer koran pun merasakan hal yang sama.

Berusaha bertahan

Edi Siswanto (duduk) menunggu koran-koran bekas yang siap dia jual ke tukang loak. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.

Sebelum sampai ke tangan pembaca, koran harus melewati beberapa proses: penerbit, agen, semiagen, pengecer, pembaca. Dari rangkaian mata rantai itu, tentu saja pengecer dan loper koran sangat berperan besar sampainya sebuah media cetak ke tangan pembaca.

Menurut sejumlah informasi, anak berusia 10 tahun bernama Barney Flaherty merupakan orang yang berprofesi sebagai loper koran pertama. Bruce J. Evensen di dalam bukunya Journalism and the American Experience menulis, pada 1833 Barney menjajakan koran New York Sun di New York, Amerika Serikat.

Di Indonesia, keberadaan loper koran tak terdeteksi secara pasti sejak kapan mulai eksis. Akan tetapi, pada 1920-an profesi pengantar koran dari rumah ke rumah sudah ada.

Hal ini terungkap dari tulisan tokoh pers bernama RH Iskandar Suleiman berjudul “Dari Asuhan Nenek sampai Berdiri Sendiri”, terbit di Prisma edisi Oktober 1979.

Iskandar mengisahkan pekerjaannya sebagai seorang loper koran—krantenloper dalam bahasa Belanda. Saat itu, Iskandar yang tinggal di Petojo, Jakarta, menjadi loper koran setelah berkawan dengan Sugimin.

Sugimin membiayai sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Mulo)—setingkat SMP—dari uang hasil keringat menjadi loper koran berbahasa Belanda, Het Nieuws van den Dag, setiap sore.

Iskandar lantas menjadi loper koran yang sama. Dia menjajakan koran itu di daerah Menteng untuk 96 alamat. “Sebagian besar rumah orang Belanda, mulai jam 3 sore hingga selesai,” tulis Iskandar. Menurut Iskandar, saat itu menjadi seorang loper koran mendapat imbalan 10 perak sebulan.

Loper koran berbeda dengan pengecer koran—meski kedua profesi ini serupa, menjajakan koran ke pelanggan. Seorang loper koran mendapatkan imbalan dari perusahaan media yang koran atau majalahnya dia antarkan ke pelanggan. Sementara pengecer koran, mendapatkan imbalan dari seberapa banyak dia mampu menjual koran atau majalah dari agen atau pedagang.

Jauh di masa Iskandar masih aktif sebagai seorang loper koran, kini profesi itu semakin tersingkir. Saat ini, loper koran jarang sekali dijumpai. Akan tetapi, pengecer koran masih bisa ditemui di lampu merah perempatan jalan atau berkeliling di kampung-kampung.

Salah seorang pengecer koran yang sudah menjalani profesinya sejak 1991, Rahmat, ikut mengeluh atas lesunya bisnis jual bacaan cetak ini. Pria yang menjajakan koran di daerah Poris Plawad, Cipondoh, Tangerang, Banten itu mengaku tiga tahun terakhir penghasilannya menyusut.

Rahmat kesulitan menjual koran ratusan eksemplar seminggu. Padahal, pada 1990-an hingga awal 2000, dia sanggup menjualnya ribuan eksemplar dalam kurun waktu yang sama.

“Kompas dari Senin sampai Jumat itu bisa 60 koran habis. Sabtu-Minggu bisa 200 lembar. Total, waktu jaya-jayanya itu bisa 1.000 lebih koran kejual dalam seminggu. Sekarang, 40-50 lembar saja dalam seminggu susah kita ngabisin,” kata Rahmat saat ditemui di bilangan Poris Plawad, Tangerang, Banten, Minggu (18/8).

Selain Kompas, sehari-hari dia menjual koran Jawa Pos, Super Ball, Pos Kota, Warta Kota, majalah Bobo, dan tabloid Nova. Dahulu, Rahmat sempat pula menjadi agen koran. Dia sempat punya tiga lapak koran dan 15 anak buah.

“Sekarang semua itu sudah tidak ada lagi karena mereka sudah mencari pekerjaan lain, seiring usaha koran yang makin menurun,” katanya.

Ketika koran dan majalah masih menjadi primadona pembaca, dia mengaku bisa meraup keuntungan sebesar Rp100.000 per hari dengan waktu cepat.

“Pagi hari saya sudah bisa kipas-kipas dengan uang,” ujarnya.

Saat ini, semuanya berbeda bagi Rahmat. Untuk mendapatkan keuntungan maksimal Rp50.000 saja, dia perlu banting tulang peras keringat hingga pukul 12.00 WIB. Itu pun, paling sering dia hanya bisa mengantongi untung Rp30.000.

Sebagai orang yang bergelut mencari nafkah dari koran, Rahmat pun memperhatikan geliat industri media cetak. Dia mengatakan, media cetak hanya punya waktu lima tahun lagi, lalu ambruk.

“Karena sekarang aja banyak tabloid yang sudah enggak terbit lagi. Dulu ada tabloid Bola, Soccer, dan lain-lain. Kalau pun terbit, mereka bertahan dengan ngurangin halamannya. Sekarang hampir semua media ngurangin halaman,”ujarnya.

Selain Rahmat, seorang pengecer koran lainnya, Juki, juga mengeluh keadaan yang serupa. Pria yang biasa menjajakan koran di persimpangan lampu lalu lintas Cengkareng, Jakarta Barat ini sudah menjadi pengecer koran sejak 1980-an.

Juki pun pernah mencecap menjadi agen koran pada 1990-an dan punya banyak anak buah. Saat itu, banyak pengecer koran mengambil barang dagangan darinya untuk dijual di sekitaran Jakarta Barat, terutama daerah Kalideres hingga Grogol.

Ketika itu, dia pun bisa membawa uang Rp8 juta sehari, hanya menjadi seorang agen koran. Dahulu, dia mendistribusikan koran dan majalah ke dinas-dinas di wilayah Jakarta. Bahkan, dia pernah memenuhi pesanan koran dan majalah untuk pihak Istana Merdeka.

Dari pekerjaan menjadi agen koran, dia mampu naik haji, membeli rumah, bahkan menguliahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi.

"Tapi itu dulu, waktu jaya," ujarnya saat ditemui di bilangan Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (21/8).

Sulitnya mencari penghasilan dari menjajakan koran mulai dirasakan Juki sejak awal 2014. Menurut Juki, media cetak yang masih ada pembacanya, tinggal Kompas, Pos Kota, Media Indonesia, Jawa Pos, dan Super Ball.

Akibat seretnya rezeki sebagai pengecer koran, demi mencukupi kebutuhan keluarga, Juki sampai-sampai pernah menjual dua mobil angkutan kota yang dibelinya dahulu.

Juki merasa, semakin hari jumlah pembaca koran semakin berkurang. Dia pun memprediksi paling lama dua tahun, pekerjaan sebagai loper dan pengecer koran akan hilang dari kesibukan lalu lintas Jakarta.

"Sekarang sudah waktunya memang untuk berubah karena tuntutan zaman memang harus berubah," katanya.

Rahmat, pengecer koran yang biasa keliling di kawasan Poris, Tangerang, Banten, Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.

Riset Nielsen

Beralihnya orang-orang membaca media cetak, terutama generasi muda, memang terlihat dari laporan lembaga yang bergerak di bidang informasi global dan media, Nielsen.

Berdasarkan laporan riset Nielsen The New Trend Among Indonesia’s Netizens: How and Where Digital Consumers are Watching Content Online yang diterbitkan pada 26 Juli 2017, di antara semua media, internet saat ini berada di posisi ke-3 dengan jangkauan 44% atau setara 24,2 juta orang.

Televisi berada di urutan pertama, dengan jangkauan 96%. Sementara koran dan tabloid/majalah ada di urutan ke-5, 6, dan 7. Jangkauan koran hanya 7%, tabloid/majalah cuma 3%.

Berdasarkan usia, internet paling sering dimanfaatkan orang-orang di usia 16-24 tahun (45%). Sedangkan orang-orang berusia 35-44 tahun (17%) dan 45-seterusnya (7%). Dari usia, bisa terlihat betapa sedikit orang-orang usia 35 tahun ke atas yang membuka internet.

Generasi muda pun lebih menyukai bioskop dan internet. Di dalam laporan proporsi media menurut generasi tergambar bahwa generasi Z (rentang usia 10-19 tahun) yang membaca koran hanya 7%, tabloid 10%, majalah 21%, internet 30%, dan bioskop 33%. Generasi milenial (rentang usia 20-34 tahun) yang membaca koran 38%, tabloid 42%, majalah 40%, internet 47%, dan bioskop 51%.

Keinginan membaca koran, tabloid, dan majalah di generasi milenial sebenarnya lebih baik ketimbang generasi Z dan X. Generasi X (rentang usia 35-49 tahun) yang membaca koran 37%, tabloid 36%, majalah 30%, internet 20%, dan bioskop 15%. Sementara generasi baby boomers (rentang usia 50-64 tahun) yang membaca koran 14%, tabloid 10%, majalah 7%, internet 3%, dan bioskop 1%. Terakhir, silent generation (rentang usia 65 tahun ke atas) yang membaca koran 4%, tabloid 1%, dan majalah 2%.

Koran dan majalah makin ditinggalkan pembaca. /Pixabay.com

Perlu berubah

Peneliti media dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) sekaligus dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ignatius Haryanto mengatakan, dirinya masih berlangganan dua koran dan satu majalah hingga kini.

Koran dan majalah itu diantarkan loper ke kediamannya. Sudah 20 tahun lebih dia berlangganan.

“Saya masih lebih suka baca koran dan majalah secara fisik,” kata Ignatius saat dihubungi, Minggu (18/8).

Masa kejayaan pers cetak, kata dia, ada di periode 1970-an hingga 1990-an. Saat itu, media televisi belum marak menghiasi dunia pers. Hanya ada satu stasiun televisi, yakni TVRI, dari 1962 hingga awal 1990.

Menanggapi kelesuan penghasilan loper dan pengecer koran, menurutnya, hal itu merupakan kondisi logis dari berkembangnya media daring, yang membuat pembaca beralih dan mulai meninggalkan media cetak.

“Ketika gadget berkembang dan media online bisa diakses via gadget, itu adalah awal kejatuhan media cetak,” ucapnya.

Menurutnya, kondisi tersebut pun diperparah dengan sikap perusahaan surat kabar yang enggan mengikuti perkembangan zaman. Imbasnya, membuat surat kabar makin ditinggalkan pembacanya.

Kemajuan teknologi ikut memengaruhi tersisihnya loper dan pengecer koran. Alinea.id/Oky Diaz.

“Banyak koran yang tidak membayangkan bagaimana cara akali situasi untuk para loper. Kuncinya ada di pers koran itu sendiri,” ujarnya.

Meski begitu, Ignatius mengatakan, masih ada solusi untuk membuat pers cetak tetap eksis. Caranya, dengan memperkuat konten yang unik dan berbeda dari media daring.

Di samping itu, Ignatius menyarankan, lebih baik media cetak terbit dalam bentuk edisi khusus. Tujuannya, menekan produksi dan menaikkan kualitas jurnalistik yang berbeda dengan media daring.

“Tapi pendistribusiannya memang susah,” katanya.

Dia menekankan, tak ada jalan lain untuk media cetak, selain melakukan terobosan baru dalam pemberitaan, jika memang ingin bertahan di tengah arus perubahan zaman.

“Memang, saya tak bisa meramal, tapi ke depan surat kabar perlu banyak berubah,”ujarnya.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan