close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Pexels
icon caption
Ilustrasi. Pexels
Media
Minggu, 03 Oktober 2021 18:43

Pentingnya organisasi profesi bagi jurnalis

"Selain bisa menaungi mereka, selanjutnya melindungi, juga bisa membantu mereka untuk mengarahkan bagaimana sih membuat konten yang bagus."
swipe

Pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak ataupun perempuan kerap mengandung informasi yang terlalu objektif dan bias. Penulisan detail mulai dari kronologis kejadian, nama korban, wajah korban, hingga alamat korban menjadi salah satu masalah dari media yang harus segera diatasi sebab membuat korban semakin terpojokkan juga memiliki dampak serius lainnya.

Jurnalis senior Harian KOMPAS, Sonya Hellen Sinombor, menyebutkan, kepekaan media terhadap isu kekerasan, terutama kekerasan seksual pada anak, masih kurang. Kerap kali media terjebak dengan euforia pemberitaan, padahal mengetahui kode etik yang berlaku.

“Kita (media) sudah punya concern di sana. Hanya dalam kita membawakan publikasi pemberitaan itu kadang sensitivitas kita, rasa kepekaan kita terhadap situasi anak perlu terus kita asah dan tingkatkan," ujarnya dalam webinar, Minggu (3/10).

“Kita Sering terjebak dengan euforia pemberitaan. Kadang cara pandang dan cara melihat harus betul-betul di sisi anak sehingga publiksi tidak hanya publikasi bombastis," lanjutnya.

Pada kesempatan sama, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer, mengakui, sudah banyak media yang mulai memperbaiki cara penulisan pemberitaan tentang kasus tersebut. Namun, isu perlindungan anak dan pengetahuan akan perspektif anak masih lemah bahkan belum benar-benar dikuasai sepenuhnya oleh para wartawan.

Munculnya tantangan baru, ekosistem digital yang semakin cepat, membuat banyak dari media yang melakukan laporan langsung (live report). Pertanyaan-pertanyaan yang tidak berempati, yang seolah-olah mengolok-olok sang korban, kerap muncul.

Begitu pula dengan memperlihatkan wajah korban dan lainnya menjadi tidak bisa dicegah saat laporan langsung. Pangkalnya, tidak ada editor yang menyuntingnya. 

Masalah lainnya adalah hadirnya jurnalisme warga (citizen journalism) yang semakin membuat arus informasi menjadi tidak terkendali bahkan kerap kali menyalahi kode etik. Karenanya, Eben menilai, perlu adanya organisasi jurnalis yang dapat membimbing wartawan tersebut.

"Saya sangat setuju bahwa setiap wartawan itu sebaiknya mereka memiliki organisasi profesi, ikut yang entah itu dipimpin AJI atau yang organisasi yang lain. Yang penting nanti yang selalu akan dapat pengembangan profesional karena ini untuk menjamin informasi publik," jelasnya.

Organisasi jurnalis, menurutnya, memiliki peranan vital karena turut menanamkan pemahaman kode etik jurnalistik. Selain itu, jurnalis dapat teredukasi dan bertanggung jawab dalam menjalani pekerjaannya sehingga terasah, membuat konten bagus, dan aman.

“Selain bisa menaungi mereka, selanjutnya melindungi mereka, juga bisa membantu mereka untuk mengarahkan bagaimana sih membuat konten yang bagus, yang aman, yang perspektif terhadap perlindungan anak, dan perspektifnya terhadap kemanusiaan, terhadap hak asasi manusia, dan peran-peran media," papar Eben.

Baginya, seorang wartawan pun haruslah berintegritas. “Artinya, apa dia beritakan itu sungguh-sungguh hanya melaporkan kebenaran bukan melaporkan sesuai dengan siapa yang bayar, yang ngasih uang."

Dengan adanya wartawan yang bertanggung jawab dan terintegrasi diyakini berdampak positif, terutama tentang permasalahan perlindungan anak di media digital saat ini.

Pakar pendidikan karakter, Doni Koesoema, mengingatkan, media memiliki peran besar. Tak sekadar memberikan informasi, media juga menyediakan ruang untuk wacana-wacana permasalahan yang kemudian menyadarkan masyarakat ataupun pemerintah sehingga melahirkan solusi bersama.

img
Clarissa Ethania
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan