close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Yasir Den Has. Foto Instagram Yasir Den Has
icon caption
Yasir Den Has. Foto Instagram Yasir Den Has
Media
Senin, 18 Juli 2022 15:10

Penyiar banyak belajar, kuncian ala legenda TVRI Yasir Den Has

Yasir Den Has melihat perbedaan penyiar TVRI dulu dengan penyiar TV sekarang.
swipe

Penyiar legendaris Yasir Den Has, kelahiran Silungkang 1944. Besar di Bukittinggi sejak Sekolah Dasar sampai Menengah Atas, menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Semua penggemar siaran Dunia Dalam Berita di TVRI pasti hapal siapa dia. Dunia dalam Berita pertama tayang 22 Desember 1978. Walaupun acara itu hanya setengah jam dari pukul 21:00 sampai 21:30 WIB tapi gemanya luar biasa.

"Mungkin karena cuma satu-satunya, dulu. Belum ada stasiun televisi yang lain," kata Yasir sebagai 'Tamu Kita' dalam podcast dipandu Muhammad Krisna di Rasil TV.

Banyak penyiar TVRI seangkatannya sudah tiada seperti Anita Rachman, Sri Maryati, Sam Amir, Sambas, Idrus, Ahmad Syarief, Toeti Adhitama, Max Sopacua, dan Inke Maris yang pernah mewawancarai Perdana Menteri Inggris Margareth Theacher dan juga Yasser Arafat pimpinan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).  

Sekarang kawan sesiarannya tinggal Rusdi Saleh, Hassan Azhari Oramahi, Sazli Rais, Yan Partawijaya, Dian Budiargo yang kini sudah doktor komunikasi, dan sedikit lainnya.

Kumpulan penyiar TVRI itu masih suka bertemu reuni untuk bernostalgia. Biasanya berkumpul tidak tentu di Plaza Senayan atau restoran di Cikini, Jakarta. "Tergantung sponsornya (mau bertemu di mana), biasanya antar-rekan sendiri sponsornya," ucap Yasir.

Lebih banyak kumpulan mereka bercerita tentang dunia pertelevisian sekarang, kemudian kenangan di masa lalu. Terutama ihwal pribadi seperti soal kesehatan, keluarga, anak, dan cucu.

Yasir melihat perbedaan penyiar TVRI dulu dengan penyiar TV sekarang. Dulu, penyiar berpakaian elegan dan santun, berbeda dengan artis. Kalau sekarang banyak penyiar dengan artis sama cara berpakaiannya atau sisiran rambutnya.

"Kalau dulu ada aturan atau prasyaratnya. Kalau kita dulu mau siaran itu memang harus tampil prima. Cara berbusana harus pakai jas. Jas dibawa sendiri dari rumah. Tapi kita biasanya mendapat jatah dalam berapa bulan sekali. Tinggal mengukur saja ke penjahit, dan itu menjadi hak milik. Mungkin ada lusinan jas pribadi saya," tambahnya.

Menurut Yasir, prasyarat utama penyiar dulu itu adalah suara. Kemudian, yang kedua, baru profil penampilan. Performanya kira-kira 'kena' dan 'masuk atau tidak' di kamera.

"Tapi yang paling utama itu adalah suara. Berbeda dengan sekarang. Sekarang (jenis) suara apa saja boleh. Penampilannya lebih banyak penampilan cuek," cetusnya.

Stasiun TV mutakhir disorot Yasir, dengan kinerja agak formal dan lebih bagus itu antara lain MetroTV, kemudian KompasTV, dan satu-dua ada di TVOne.

"Kalau (stasiun) yang lain kita tidak bisa membedakan itu penyiar berita atau artis," tanggapnya.

Saat aktif menyiar di TVRI, Yasir sudah ada dua jam sebelum acara Dunia Dalam Berita dimulai. Sementara naskah berita diterimanya satu jam sebelumnya. Persiapannya satu jam pertama ialah berdandan, make-up, selesai itu mengoreksi isi berita yang akan dibacakan.

Sudah menjadi kebiasaan Yasir, misalnya akan siaran nanti malam, maka pagi-pagi dia sudah mendengarkan stasiun-stasiun radio dari luar negeri semacam BBC London, Deutsche Welle, dan Radio Australia. Karena dia memperkirakan bahwa nanti malam pasti berita TVRI yang keluar tidak berbeda jauh dengan yang telah didengarnya pagi-pagi di radio-radio asing tersebut.

"Yang saya utamakan itu adalah pronounciation (pengucapan). Satu kata asing bagaimana cara membacanya. Oh, begini yang benar. Jadi, alhamdulillah begitu saya on-air pukul 21:00 di TVRI, rasanya jarang saya salah baca, terutama pengucapan untuk istilah-istilah asing," ujar Yasir.

Dia bisa menunjukkan kekeliruan ucap penyiar TV saat ini membaca kantor berita Reuters, Grand Prix di Mandalika, dan ibu kota Ukraina, Kiev.

Di TVRI, ada perpustakan, di situ ada ensiklopedi. Yasir lebih banyak belajar dari situ. Kalau misalnya dia temukan, pada waktu mengecek berita, ada istilah yang agak aneh, yang belum pernah dia dengar, maka dibukanya dulu ensiklopedi. Bagaimana pengucapannya. Jadi, begitu membaca sudah tidak salah. Ditambah lagi pagi-pagi sebelumnya sudah mendengar stasiun radio luar negeri. Banyak belajar, kuncinya.

"Penyiar itu sebetulnya harus terus-menerus belajar. Tidak boleh kita merasa bahwa diri kita sudah mapan jadi penyiar, tidak perlu lagi belajar. Nonsense itu," tegasnya.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan