close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi keterbacaan media online di tengah kesibukan. (foto: pexels)
icon caption
Ilustrasi keterbacaan media online di tengah kesibukan. (foto: pexels)
Media
Kamis, 01 Februari 2018 19:55

Turut sebar hoaks, media gali kuburan sendiri

Pengamat media Muhammad Heychael menyebut hoaks bisa subur karena bersembunyi di balik kemasan jurnalistik.
swipe

Craig Silverman, jurnalis dan kritikus media asal Kanada merilis laporan bertajuk “Lies, Damn Lies, and Viral Content”. Laporan yang digulirkan pada 2015 tersebut berisi kritik tajam terhadap andil media massa, khususnya yang bergerak dalam platform digital dalam penyebaran hoaks pada pembaca.

Riset ini dinilai relevan di Indonesia mengingat riuhnya penyebaran hoaks di media daring, khususnya jelang perhelatan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Pengamat media Muhammad Heychael menyebut hoaks bisa subur karena bersembunyi di balik kemasan jurnalistik.

“Itu jadi salah satu justifikasi yang membuat masyarakat awam tertipu, padahal berita tak melulu bicara kemasan tapi juga konten,” terang Heychael saat berbincang dengan Alinea, Kamis (1/2).

Sosok yang juga menjabat Direktur Remotivi itu menyebut adanya kecenderungan ketakutan masyarakat pada pelabelan. Alhasil, hoaks justru mudah tersebar.

“Dikatakan, kalau tidak percaya berita ini, berarti kamu bukan Islam. Orang langsung ketakutan. Trennya begitu, orang menggunakan sentimen tertentu untuk menyasar imaji masyarakat,” imbuhnya.

Berikutnya, media penyebar berita kebohongan juga membumbui tulisannya dengan menyitir keterangan yang belum jelas dari pejabat atau figur publik. Pada kasus kebangkitan PKI misalnya, terdapat ujaran dari Kivlan Zein yang juga dikutip oleh media-media besar.

“Sebut saja Kivlan Zhein yang sembarangan bicara mengenai kebangkitan komunisme di Indonesia, dengan sokongan ribuan massa. Pernyataan yang tak berlandaskan bukti kuat pun dikutip,” tuturnya.

Merujuk pada persoalan itu, ia menyimpulkan adanya penurunan kualitas jurnalistik dan terkikisnya independensi media. “Keberpihakan media pada politik praktis, menjadi akar masalah. Imbasnya masyarakat akan mengalami gejala apatisme ketika gagal membedakan antara framing dan hoaks,” jelas Heychael.

Sementara peneliti Elsam, Lintang Setianti memaparkan tren penyebaran berita bohong di media daring dimafhumkan karena logika pemodal adalah semakin seksi dan semakin provokatif berita berdampak pada traffic yang makin padat dan iklan pun meningkat. Jika praktik seperti ini dilanjutkan, media dianggap sedang mengubur diri.

“Ini adalah tantangan dalam dunia demokrasi di era banjir informasi. Pun bisa jadi ancaman pada kebebasan berekspresi karena biasanya, tidak akan selesai di jagat maya, tapi juga berimbas ke ranah sehari-hari. Misalnya adanya sejumlah aksi main hakim sendiri atau persekusi,” papar Lintang.

img
Purnama Ayu Rizky
Reporter
img
Syamsul Anwar Kh
Editor

Tag Terkait

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan