Vanessa dan pedoman liputan prostitusi
Hanya butuh waktu sehari buat Wartakota menulis kabar prostitusi daring yang menyeret artis televisi Vanessa Angel. “Tarif kencan artis Rp80 juta: Vanessa Angel ditangkap bareng lima lainnya” ditulis besar sebagai judul berita, Minggu (6/1). Foto Vanessa mengenakan setelan jumpsuit merah menyala menyesaki nyaris separuh halaman koran, tepat di samping kepala dan tiga paragraf teks berita. Naskah yang menurut tagline ditulis oleh Ari, dengan sebagian mengutip dari TribunJatim/Kps secara umum bercerita soal kronologi pembekukan Vanessa, Avriella Shaqqila, manajer, dan mucikari.
Dikisahkan oleh Wadirreskrimsus Polda Jatim, AKBP Arman Asmara Syarifuddin, Vanessa dan Avriella dibekuk lantaran kasus prostitusi daring. "Dua artis ditangkap saat berada di dalam kamar hotel bersama pria yang bukan suaminya," demikian bunyi berita di koran ini. Penangkapan itu sendiri disebut-sebut sukses setelah Mapolda Jatim memantau Instagram Vanessa yang menggambarkan tengah berada di Surabaya.
Selebihnya, berita mengisahkan tentang Vanessa dan dua perempuan yang disebut wartawan Wartakota berparas cantik tiba di Mapolda Jatim, serta bagaimana proses penyelidikan akan dilakukan. Ada dua informan yang diwawancara langsung, semuanya adalah sumber resmi dari kepolisian, yakni Arman dan Kasubdit V Siber Ditreskrimsus AKBP Harissandi.
Sebenarnya, Wartakota bukan satu-satunya media cetak yang memberitakan soal ini di hari itu. Solopos dan Radar Bogor juga menjadi media cetak yang terhitung menulis penangkapan Vanessa. Angle berita nyaris serupa, yakni tentang Vanessa sebagai pelaku prostitusi berbiaya Rp80 juta.
Bagaimana dengan media daring? Tak usah ditanya. Setidaknya ada 369 media daring yang ramai-ramai menulis ikhwal Vanessa sebanyak total 3.953 kali. Berita-berita itu umumnya mengandalkan narasumber dari kepolisian. Mewawancarai laki-laki sebagai sumber utama berita makin menambah daftar panjang tren media yang bias gender. Berdasarkan penelitian Tempo Institute serta Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT) dari 6 Agustus sampai 6 September 2018, dari 22.900 narasumber yang dikutip media, hanya 11% atau 2.525 orang di antaranya yang perempuan. Penelitian ini dilakukan terhadap tujuh media cetak dan tiga media daring, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Bisnis Indonesia,The Jakarta Post, Jawa Pos, Tempo.co, Kompas.com, dan Detik.com. Salah satu penyebab utamanya lantaran narasumber laki-laki, apalagi dari sumber resmi cenderung paling mudah dihubungi.
Vanessa adalah sumber klik
Pada Selasa (8/1), saya berbincang dengan Evi Mariani, jurnalis TheJakartaPost yang kerap meliput soal isu perempuan. Ia pernah menyusun laporan investigasi tentang pelecehan seksual yang diduga dilakukan dosen Fisipol UGM pada 2016 dan pemerkosaan atas Agni, mahasiswa di kampus yang sama tahun ini. Menurutnya, kasus Vanessa adalah contoh kesekian di mana polisi sebagai narasumber utama dan media sebagai penyambung lidah, berkolaborasi untuk jadi polisi moral dengan mempermalukan perempuan (Vanessa. Red).
“Polisi itu bermuka dua. Di satu sisi bilang Vanessa adalah korban, tapi di sisi lain aktif memfasilitasi media untuk menghukum ia secara sosial. Ini mirip seperti kasus Nikita Mirzani yang dulu sempat terjebak dalam pusaran prostitusi juga,” ujarnya pada saya.
Dalam definisi tradisional, imbuhnya, Vanessa memang bukan korban. Namun bagi Evi, ia tetap korban dari masyarakat yang berfokus pada male sexual gratification. Sayangnya, pria yang terlibat dalam kasus ini tak tertangkap radar wartawan. Dari media kecil hingga besar, semua menulis dari sudut pandang laki-laki, menggunakan narasumber resmi dari kepolisian yang juga laki-laki, merundung serta menyalahkan Vanessa. Anda tentu tak akan menemukan berita yang memuat lelaki yang menggunakan jasa Vanessa, asal-usul, bahkan senarai fotonya di headline berita. Sebab, ia tak seseksi Vanessa untuk mampu mendulang klik.
"Aparat penegak hukum dalam penanganan kasus ini, sangat bias gender. Misalnya dengan mempublikasikan nama para perempuan yang diduga menjadi pekerja seks, bahkan lengkap dengan wajahnya, sedang laki-lakinya yang menikmati jasa mereka bebas. Namanya saja kita tidak tahu, apalagi wajahnya,” kicau Dosen Uhamka yang fokus dalam isu perempuan, Yulianti Muthmainah di laman Facebook-nya.
Hanya butuh waktu sehari buat Wartakota menulis kabar prostitusi daring yang menyeret artis televisi Vanessa Angel. “Tarif kencan artis Rp80 juta: Vanessa Angel ditangkap bareng lima lainnya” ditulis besar sebagai judul berita, Minggu (6/1). Foto Vanessa mengenakan setelan jumpsuit merah menyala menyesaki nyaris separuh halaman koran, tepat di samping kepala dan tiga paragraf teks berita. Naskah yang menurut tagline ditulis oleh Ari, dengan sebagian mengutip dari TribunJatim/Kps secara umum bercerita soal kronologi pembekukan Vanessa, Avriella Shaqqila, manajer, dan mucikari.
Dikisahkan oleh Wadirreskrimsus Polda Jatim, AKBP Arman Asmara Syarifuddin, Vanessa dan Avriella dibekuk lantaran kasus prostitusi daring. "Dua artis ditangkap saat berada di dalam kamar hotel bersama pria yang bukan suaminya," demikian bunyi berita di koran ini. Penangkapan itu sendiri disebut-sebut sukses setelah Mapolda Jatim memantau Instagram Vanessa yang menggambarkan tengah berada di Surabaya.
Selebihnya, berita mengisahkan tentang Vanessa dan dua perempuan yang disebut wartawan Wartakota berparas cantik tiba di Mapolda Jatim, serta bagaimana proses penyelidikan akan dilakukan. Ada dua informan yang diwawancara langsung, semuanya adalah sumber resmi dari kepolisian, yakni Arman dan Kasubdit V Siber Ditreskrimsus AKBP Harissandi.
Sebenarnya, Wartakota bukan satu-satunya media cetak yang memberitakan soal ini di hari itu. Solopos dan Radar Bogor juga menjadi media cetak yang terhitung menulis penangkapan Vanessa. Angle berita nyaris serupa, yakni tentang Vanessa sebagai pelaku prostitusi berbiaya Rp80 juta.
Bagaimana dengan media daring? Tak usah ditanya. Setidaknya ada 369 media daring yang ramai-ramai menulis ikhwal Vanessa sebanyak total 3.953 kali. Berita-berita itu umumnya mengandalkan narasumber dari kepolisian. Mewawancarai laki-laki sebagai sumber utama berita makin menambah daftar panjang tren media yang bias gender. Berdasarkan penelitian Tempo Institute serta Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT) dari 6 Agustus sampai 6 September 2018, dari 22.900 narasumber yang dikutip media, hanya 11% atau 2.525 orang di antaranya yang perempuan. Penelitian ini dilakukan terhadap tujuh media cetak dan tiga media daring, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Bisnis Indonesia,The Jakarta Post, Jawa Pos, Tempo.co, Kompas.com, dan Detik.com. Salah satu penyebab utamanya lantaran narasumber laki-laki, apalagi dari sumber resmi cenderung paling mudah dihubungi.
Vanessa adalah sumber klik
Pada Selasa (8/1), saya berbincang dengan Evi Mariani, jurnalis TheJakartaPost yang kerap meliput soal isu perempuan. Ia pernah menyusun laporan investigasi tentang pelecehan seksual yang diduga dilakukan dosen Fisipol UGM pada 2016 dan pemerkosaan atas Agni, mahasiswa di kampus yang sama tahun ini. Menurutnya, kasus Vanessa adalah contoh kesekian di mana polisi sebagai narasumber utama dan media sebagai penyambung lidah, berkolaborasi untuk jadi polisi moral dengan mempermalukan perempuan (Vanessa. Red).
“Polisi itu bermuka dua. Di satu sisi bilang Vanessa adalah korban, tapi di sisi lain aktif memfasilitasi media untuk menghukum ia secara sosial. Ini mirip seperti kasus Nikita Mirzani yang dulu sempat terjebak dalam pusaran prostitusi juga,” ujarnya pada saya.
Dalam definisi tradisional, imbuhnya, Vanessa memang bukan korban. Namun bagi Evi, ia tetap korban dari masyarakat yang berfokus pada male sexual gratification. Sayangnya, pria yang terlibat dalam kasus ini tak tertangkap radar wartawan. Dari media kecil hingga besar, semua menulis dari sudut pandang laki-laki, menggunakan narasumber resmi dari kepolisian yang juga laki-laki, merundung serta menyalahkan Vanessa. Anda tentu tak akan menemukan berita yang memuat lelaki yang menggunakan jasa Vanessa, asal-usul, bahkan senarai fotonya di headline berita. Sebab, ia tak seseksi Vanessa untuk mampu mendulang klik.
"Aparat penegak hukum dalam penanganan kasus ini, sangat bias gender. Misalnya dengan mempublikasikan nama para perempuan yang diduga menjadi pekerja seks, bahkan lengkap dengan wajahnya, sedang laki-lakinya yang menikmati jasa mereka bebas. Namanya saja kita tidak tahu, apalagi wajahnya,” kicau Dosen Uhamka yang fokus dalam isu perempuan, Yulianti Muthmainah di laman Facebook-nya.
Imbasnya, lanjut Yulianti, akan menghancurkan nama baik dan kehidupan korban perempuan. Apalagi, dalam konteks ini, mereka adalah korban perdagangan manusia seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Senada, jurnalis Jurnal Perempuan Anita Dhewy juga menyayangkan ulah polisi dan media yang memberi ruang bagi victim blaming. “Wartawan dalam memberitakan prostitusi online sejauh ini cenderung lebih mengejar aspek sensasi. Pada kasus yang melibatkan artis, sudah pasti media lebih menonjolkan sosok si artis—dengan menyebutkan nama, menampilkan foto, judul yang bombastis, dan sebagainya—dan bukan mengungkap ada aspek kejahatan atau tindak kekerasan dalam kasus tersebut,” tuturnya.
Celakanya, pemberitaan sensasional ini ditangkap masyarakat dan disebarluaskan melalui media sosial. Bahkan dibuat meme yang bernada penghakiman atas perempuan. Saya mencari tahu pendapat wartawan laki-laki dan pengamat media soal ini.
Andreas Harsono, wartawan Pantau yang juga aktif di Human Right Watch (HRW) secara terang-terangan membenarkan, ada dualisme dari polisi yang ingin melindungi korban, tapi juga ‘menelanjangi’ mereka. Oleh sebab itu, ia sangat menyarankan, wartawan yang melakukan peliputan prostitusi daring harus paham soal trauma korban dan lebih baik mereka adalah dari kalangan perempuan pula.
Peneliti Remotivi Heychael juga meyampaikan, kata kunci kunci dalam peliputan ini adalah empati. “Jurnalis perempuan tentu punya peluang lebih besar buat berempati. Hanya saja tidak selalu begitu. Banyak kasus perempuan justru ikut jadi bagian yang menghakimi. Jadi aku sih bukan soal gender yang utama tapi empati,” ungkapnya.
Sebuah pedoman peliputan
Catherine Murphy, Penasihat Kebijakan di Amnesty International menulis di HRW, pekerja seks adalah salah satu korban perdagangan manusia, sehingga rentan pelanggaran hak asasi manusia. “Kami tidak menganggap perempuan yang diperdagangkan yang dipaksa untuk menjual seks sebagai pekerja seks. Dia adalah perempuan yang diperdagangkan dan layak mendapatkan perlindungan seperti itu,” ujarnya.
Perlindungan yang dimaksud bukan sekadar dalam wujud membebaskan Vanessa dan korban lain, tapi juga tak memberi ruang untuk perundungan lebih lanjut. Tunggal Pawestri mengatakan pada saya, solusinya adalah mendorong RUU penghapusan kekerasan seksual. Sebuah UU yang menurutnya bisa melindungi perempuan dari kekerasan seksual. “Namun, itu saja susah banget dan enggak diperhatikan DPR, kayaknya ketinggian amat minta perlindungan buat pekerja seks,” keluhnya.
Kalau begitu, apa yang bisa diusahakan sebagai pekerja media? Dart Center for Journalism and Trauma menyusun sebuah kompilasi lengkap panduan peliputan yang rentan trauma, mulai dari bencana, perang, pembunuhan, kekerasan seksual, hingga perdagangan manusia. Kata kuncinya adalah empati dan berhati-hati dalam melakukan peliputan. Sebab, itu tak sekadar bertanya dengan pertanyaan yang baik, tapi membangun hubungan agar narasi yang dihasilkan tak menyalahkan korban. Selain memilih narasumber lain di luar narasumber resmi yang cenderung bias gender, jurnalis harus mengikuti beberapa pedoman peliputan, untuk kasus traumatis berikut.
Pertama, jika harus mewawancarai korban, jurnalis harus mendengar cerita dengan seksama dan dianjurkan untuk wawancara empat mata. “Jurnalis yang mewawancarai pun mesti perempuan, apalagi jika korban adalah perempuan. Sebab, mereka akan lebih nyaman bercerita, kendati mungkin beberapa jurnalis pria bisa melakukannya,” tulis laporan tersebut.
Kedua, rasa malu dan terhina adalah perasaan umum yang dialami korban. Oleh sebab itu, penting untuk tidak menekan dan menambah beban itu lewat reportase yang menyalahkan korban. Pertanyaan yang ditanyakan harus berempati, demikian pula dengan tulisan yang dihasilkan.
Ketiga, prinsip anonimitas. Ini berarti tidak mencantumkan secara eksplisit nama, asal-usul, alamat, foto, jika itu tak disetujui oleh korban. Masalah detail peristiwa dari sumber yang namanya dibikin jadi anonim itu juga harus diperhatikan. Seperti perdebatan dalam kasus peliputan pemerkosaan Agni yang dilakukan BPPM Balairung, karena memilih memuat kronologi detail. Sepanjang itu bisa membangun kesadaran positif, bahkan mendorong proses peradilan atau perubahan kebijakan, itu diperbolehkan. Tentu saja dengan persetujuan korban. Namun, jika itu justru hanya menambah penghinaan korban, sebaiknya bagian detail dihilangkan.
Dalam kasus spesifik Vanessa, Anita Dhewy membagi resep pamungkas. Menurutnya, wartawan perlu menggali lebih jauh, dan tidak hanya berhenti pada pernyataan polisi atau mengangkat kejadian dengan menonjolkan aspek sensasional, atau bahkan melakukan investigasi. “Yang juga penting adalah wartawan harus paham dan sadar, dalam kasus itu ada aspek eksploitasi, trafficking, kekerasan, relasi kekuasaan, dan lainnya,” tutupnya.