close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pemberitaan jurnalis di media massa./ Pixabay
icon caption
Ilustrasi pemberitaan jurnalis di media massa./ Pixabay
Media
Kamis, 14 Juni 2018 06:59

Wartawan Yusuf dan vonis mati pelan-pelan

Nihilnya penyediaan perawatan kesehatan bagi tahanan jurnalis adalah vonis mati pelan-pelan yang dijatuhkan kepada mereka.
swipe

Muhammad Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat, Berantasnews, dan Sinar Pagi Baru yang getol meliput protes warga tiga desa di Pulau Laut Tengah meninggal di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas IIB, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Yusuf meninggal pada Minggu (10/6) lalu.

Sejak 5 April 2018, Yusuf yang hendak terbang ke Jakarta diringkus Satuan Reskrim Polres Kotabaru di Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin. Ditengarai, Yusuf menulis kisruh sengketa perebutan lahan antara PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) dan warga Pulau Laut.

Artikel Yusuf yang dipersoalkan, mengulas pertemuan antarmasyarakat untuk membahas strategi menghadapi perusahaan. Yusuf menulis artikel yang menuduh perusahaan mencaplok lahan warga tanpa menulis sumbernya. Dalam artikel itu ada beberapa kutipan, tapi tidak ada nama jelasnya. Alih-alih menggunakan hak jawab, MSAM lebih memilih jalur pidana dengan melaporkan Yusuf ke kepolisian.

MSAM menuduh Yusuf membuat tulisan bermuatan provokasi, tidak berimbang, dan menghasut, sehingga merugikan MSAM. Yusuf kemudian dilaporkan ke polisi dan disangkakan melanggar Pasal 45A UU RI Nomor 19 Tahun 2016, tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Adapun ancamannya pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

MSAM adalah perusahaan kelapa sawit milik Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Dari laporan majalah Tempo berjudul "Main Polisi di Pulau Laut" pada Mei lalu, di Kalimantan Selatan, Haji Isam kerap berseteru dengan pengusaha lain, dan tak jarang lawan seterunya dijebloskan ke penjara setelah berkonflik dengannya.

Yusuf yang memiliki riwayat komplikasi penyakit lambung, jantung, dan stroke sejak 2012 pada akhirnya harus meregang nyawanya di balik jeruji besi. Selama mendekam di tahanan, kondisi kesehatan Yusuf sempat membaik sebentar, sebelum akhirnya memburuk kembali. Istrinya, Arvaidah, meminta penangguhan penahanan supaya Yusuf bisa menjalani rawat inap. Namun permohonannya dimentahkan oleh jaksa.

Pidana fitnah dan vonis mati pelan-pelan

Committee to Protect Journalist (CPJ) melaporkan pada 2017 sebanyak 262 jurnalis dijebloskan ke penjara. Negara yang banyak mengirim jurnalis mereka ke balik jeruji besi adalah China, Turki, dan Mesir. Masih dalam laporan yang sama, sebanyak 19 jurnalis dari seluruh dunia dipenjara akibat tuduhan pemfitnahan, tuduhan sama yang dialamatkan kepada Yusuf oleh MSAM.

Salah satu jurnalis yang pernah dituduh melakukan fitnah adalah Ercan Gün, editor berita di FOX TVTurki. Ercan dipenjara bersama 72 jurnalis lainnya saat isu kudeta gagal kepada Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan berhembus kencang pada 2016 lalu.

Oleh pemerintah Turki, Ercan dituduh telah memfitnah militer melakukan pembunuhan. Pasalnya, ia memiliki jejak rekaman video yang menunjukkan Ogün Samast, pembunuh wartawan berdarah Armenia-Turki Hrant Dink, menerima bendera Turki, serta ucapan selamat atas pembunuhan tersebut dari petugas kepolisian. Semua terjadi tepat sehari setelah pembunuhan Hrant Dink pada 2007.

Rekaman tersebut disiarkan di TGRT-TV, yang kemudian dibeli FOX pada 2007, yang kemudian berganti nama menjadi FOX Turki. Petugas kepolisian yang ada di rekaman adalah polisi teroris, tetapi diidentifikasikan oleh Ercan sebagai polisi militer dalam siarannya. Ercan sudah memperbaiki kesalahan caption-nya dalam rekaman tersebut, tetapi, pemerintah Turki tetap mengirimnya ke penjara.

CPJ juga melaporkan beberapa jurnalis di China tetap ditangkap dan dijebloskan ke penjara walaupun berada dalam kondisi kesehatan yang buruk, sama seperti Yusuf. Huang Qi, jurnalis media 64 Tianwang dijebloskan oleh pemerintah China ke balik penjara sejak 2016. Ia yang selama itu lantang menyuarakan protes ke pemerintah, memberitakan korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia, ditolak permohonannya untuk mendapatkan layanan kesehatan di penjara.

Padahal, ia memiliki komplikasi ginjal dan penyakit jantung. Kondisinya diperparah oleh pukulan yang diterimanya dari sesama narapidana yang dibiarkan saja oleh sipir penjara, bahkan menurut laporan CPJ, napi-napi tersebut disemangati oleh sipir untuk memukul Huang. Selama dua dekade, Huang Qi telah menghabiskan delapan tahun hidupnya bolak-balik masuk penjara karena tulisan-tulisannya.

Selain itu, penulis dan jurnalis Yang Tongyan juga meninggal akibat tumor otak pada November 2017, tak lama setelah dibebaskan dari penjara. Menurut CPJ, pengulangan penolakan perawatan kesehatan bagi tahanan jurnalis adalah vonis mati pelan-pelan yang dijatuhkan kepada jurnalis.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan