"Harta karun bawah laut kenapa dikasih asing, kalau kami mampu..."
Pemerintah memberikan izin bagi investor asing dan swasta dalam negeri untuk mencari dan mengangkat harta karun bawah laut alias benda muatan kapal tenggelam (BMKT). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Sebelumnya, pencarian BMKT diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, masuk dalam bidang usaha tertutup. Pengangkatannya pun dilarang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di bawah Susi Pudjiastuti sejak 2015.
Padahal, BMKT yang tersebar di 463 titik, masuk koordinasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki potensi ekonomi sebesar US$9,6 miliar, setara Rp137,2 triliun.
Kebijakan dibukanya izin investasi asing ini, mendapat respons dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dalam kicauannya di Twitter pada 3 Maret 2021, ia meminta pemerintah untuk mengelola sendiri BMKT dan tak mengizinkan asing mengambilnya.
Menanggapi hal ini, Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia (APPP BMKTI) Harry Satrio pun mengatakan, tak setuju jika asing diberi izin.
“Sebab, dengan modal mereka yang besar, besar pula potensi barang antik itu dibawa kabur,” kata pendiri PT Cosmix Asia, yang bergerak di bidang penyelamatan dan pekerjaan bawah air itu.
Harry berpengalaman melakukan pengangkatan BMKT di perairan Kijang Bintan dan Pulau Lingga, Kepulauan Riau pada 2015-2017. Ia sudah menjadi Sekjen APPP BMKTI sejak lima tahun lalu.
Bagaimana sebenarnya seluk-beluk harta karun bawah laut, yang merupakan salah satu kekayaan negeri kita itu? Berikut wawancara reporter Alinea.id dengan Harry Satrio, yang dilakukan pada Sabtu (13/3).
Menurut Anda, berapa nilai harta karun bawah laut Indonesia?
Bisa dinilai secara komersial dan estetika. Secara komersial, sangat subjektif. Tapi kalau dari nilai seni, tinggi sekali. Satu titik itu bisa mencapai satu triliun rupiah karena nilai budayanya tinggi. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, diperkirakan ada 463 titik. Tapi kami dari pihak swasta menaksir ada 15 titik potensial. Saya sendiri mengantongi tiga titik A1. Tapi tidak akan saya buka ke pemerintah sampai izin itu benar-benar dibuka.
Bagaimana proses kerja pengusaha dalam mencari dan mengangkat BMKT?
Berdasarkan aturan yang ada, setelah kami dapat laporan temuan BMKT dari nelayan atau pihak manapun ke perusahaan atau pemerintah setempat. Lalu, pemerintah setempat melaporkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Panitia Nasional Pengangkatan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam. Baru kita tindaklanjuti dengan survei. Sebelum itu, kami harus mengajukan izin survei terlebih dahulu. Nah, izin survei ini tidak mudah karena ada 16 instansi dari panitia nasional yang harus dimintai izin.
Setelah itu, kami lihat lokasinya. Apabila lokasi temuan letaknya di atas 12 mil dari pulau terdekat ditemukannya BMKT, maka itu menjadi kewenangan pemerintah pusat untuk memberi izin ke swasta. Kalau di bawah 12 mil, jadi kewenangan pemerintah daerah.
Setelah dilakukan survei, kita lihat lagi apakah barang itu layak atau tidak untuk diangkat. Kalau layak, kami teruskan ke izin pengangkatan, yang prosesnya bisa sampai setahun. Dalam melakukan pengangkatan, kami akan diawasi TNI AL. Saat kami mengajukan proposal, harus sudah lengkap semua persyaratannya, mulai dari kapal, gudang penyimpanan, kapal logistik, penyelam profesional, dan arkeolog bawah air.
Setelah berhasil mengangkat BMKT, bagaimana mekanisme pembagian aset antara pemerintah dan pengusaha?
Pembagiannya 50% banding 50% dari barang temuan. Praktiknya, pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) memilih terlebih dahulu secara suka-suka untuk kepentingan cagar budaya. Sisanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Keuangan akan melelang di dalam negeri.
Hasil lelangnya dibagi dua antara pemerintah dengan pengusaha. Akan tetapi, bila sudah dilakukan lelang selama tiga kali berturut-turut tak ada yang membeli, maka dibagi dua secara fisik antara pemerintah dan pengusaha. Yang sudah dimiliki pengusaha, tidak boleh dibawa ke luar negeri. Ketentuan ini yang membuat investor asing enggan menanam modal.
BMKT jenis apa saja yang Anda dan kolega sering dapatkan?
Kebanyakan keramik dari kerajaan Tiongkok, seperti Dinasti Song atau Dinasti Ming. Dengan kondisi kapal yang sudah hancur termakan usia di dasar laut. Bayangkan saja, lebih dari 1.000 tahun di dasar laut.
Sebenarnya, bagaimana cara menjual atau melelang BMKT?
Semua tergantung dari niat pemerintah. Pembeli dari luar negeri tidak akan mau membeli, kalau tidak ada endorsement dari pemerintah atau bahasa gampangnya, pemerintah mengizinkan barang itu dibawa keluar. Status legal itu penting bagi kolektor. Artinya, sudah lewat proses seleksi barang cagar budaya.
Adakah BMKT temuan Anda yang masih menumpuk di gudang? Berapa banyak?
Saya masih memiliki sekitar 20.000 keping barang BMKT di gudang. Rata-rata dalam bentuk keramik. Barang ini sudah melewati proses pemilahan sebagai cagar budaya. Belum sempat dilelang karena ketika masa Menteri Susi Pudjiastuti itu langsung membekukan semua aktivitas pengangkatan dan pemanfaatan BMKT.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah membekukan kegiatan pengangkatan BMKT. Sebenarnya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Saat memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014-2019), Susi lebih memilih menggunakan cara pandang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, ada Undang-Undang Kelautan (Nomor 32 Tahun 2014), yang mengatur BMKT. Namun, Susi mengambil langkah untuk menghentikan semua, yang kami ketahui ternyata itu disponsori Kemendikbud. Gampangnya, dia menggunakan sudut pandang cagar budaya.
Apa yang Anda dan kolega lakukan saat terjadi pelarangan itu?
Perusahaan kami dibentuk khusus untuk aktivitas pengangkatan BMKT. Tidak bisa berusaha yang lain. Kami semua merugi. Saya sendiri rugi sampai US$5-US$6 juta hingga kini. Persoalannya, kami sudah melakukan pengangkatan, tapi tidak bisa dilelang. Celakanya lagi, saya harus mengeluarkan uang Rp300 juta untuk menanggung biaya perawatan barang-barang temuan dan bayar sewa gudang sekaligus gaji karyawan.
Kami dulu mempunyai 15 anggota dalam asosiasi. Sekarang hanya tinggal lima anggota. Bahkan, sekarang hanya tinggal tiga yang aktif. Semua terkatung-katung akibat ada kebijakan yang saling berlawanan.
Tentu kami bersurat ke Menteri Kelautan dan Perikanan dan Presiden Jokowi untuk meminta audiensi. Akan tetapi, tidak ada tanggapan. Terakhir, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo sempat merespons. Tapi beliau keburu masuk hotel prodeo. Belakangan, ternyata presiden punya agenda untuk mengeluarkan izin ini lewat Perpres 10/2021.
Susi Pudjiastuti menyarankan BMKT dikelola dan diangkat sendiri oleh pemerintah. Apakah menurut Anda pemerintah mampu, tanpa melibatkan swasta?
Menurut saya, 100% tidak mampu. Karena dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk melakukan pengangkatan satu kapal. Dananya paling tidak US$5-US$10 untuk sekali pengangkatan. Itu pun masih dihantui kerugian. Sebab, bisa saja setelah ditemukan ternyata nilai barangnya tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Lagi pula pemerintah juga tak punya banyak ahli soal arkeologi keramik. Selain itu, mengambilnya pun dibutuhkan penyelam profesional yang paham barang antik bawah laut.
Seolah-olah, perusahaan yang bergerak di bidang pengangkatan BMKT belum begitu diakomodir. Sehingga banyak yang terkatung-katung. Menurut Anda, apa yang perlu dibenahi?
Pekerjaan ini sangat berisiko dan penuh spekulasi. Kementerian Kelautan dan Perikanan harus duduk bersama dengan Kemendikbud untuk menyelesaikan perbedaan ini. Mereka harus menyusun aturan mengenai pemanfaatan BMKT, agar satu suara. Tujuannya, menyelamatkan yang ada di bawah laut.
Kalau pemerintah ingin mengangkat sendiri, silakan kalau ada anggarannya. Tapi, kalau tidak ada, manfaatkan saja perusahaan swasta dalam negeri. Nanti tinggal bagi keuntungan. Namun, sebelum ke sana, selesaikan dulu undang-undang yang saling bertentangan, yakni Kemendikbud punya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan punya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Pada praktiknya, peraturan ini saling tarik menarik. Akhirnya membuat kami jadi serba salah karena ada perbedaan cara pandang soal BMKT. Kemendikbud berpandangan BMKT tidak boleh diapa-apain, selain untuk cagar budaya. Sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu ada peraturan yang memberi izin soal pemanfaatan BMKT.
Bagaimana kondisi BMKT di lautan belakangan ini?
Sejak ada moratorium (Kementerian Kelautan dan Perikanan), sebenarnya setiap minggu selalu ada pencurian. Kami sudah sering melaporkan, tapi tak ada tanggapan dari pemerintah.
Ketimbang barang itu dicuri, lebih baik berikan izin kepada pengusaha lokal untuk melakukan pengangkatan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemanfaatannya tidak perlu dijual ke luar negeri kok. Banyak cara untuk mengelola barang ini. Sebagai contoh, bisa bangun museum maritim, bisa buat dokumentasi untuk film.
Contohnya, museum di Singapura, China, serta Turki yang punya koleksi keramik bagus-bagus. Apalagi warga negara China. Mereka ingin sekali mengoleksi barang-barang keramik peninggalan nenek moyangnya. Buktinya, mereka berani setiap minggu bawa duit banyak ke pantai-pantai dan kampung nelayan untuk mencari temuan nelayan. Bahkan, ada yang membiayai para nelayan untuk menjarah BMKT kita. Padahal, itu jelas ilegal.
Perpres 10/2021 yang diteken Presiden Jokowi mengizinkan perusahaan asing berinvestasi untuk mengangkat BMKT. Anda setuju?
Jadi, sebelum terbit Perpres 44/2016 (tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal), sebetulnya perusahaan asing sudah diberikan izin dan kesempatan untuk melakukan pengangkatan BMKT. Jadi, bagi saya tidak ada yang aneh.
Tapi, sejak 2011 sebenarnya sudah tidak ada lagi pihak asing yang melakukan pencarian dan pengangkatan di Indonesia. Sebab, peraturan di kita masih ambigu lantaran hanya memperbolehkan mengangkat, tapi tidak mengizinkan untuk diekspor.
Pada dasarnya, saya memang tidak setuju bila asing diberi izin. Dengan modal mereka yang besar, besar pula potensi barang antik itu dibawa kabur. Maaf, orang kita sangat mudah untuk disuap. Itu yang sangat kami khawatirkan.
Jadi, kenapa mesti orang asing, kalau perusahaan lokal saja ada dan mampu. Perusahaan yang tergabung dalam APPP BMKTI sangat mampu melakukan pencarian dan pengangkatan BMKT.
Lalu, apa yang asosiasi Anda lakukan untuk menyikapi Perpres 10/2021?
Kami sudah berkirim surat ke Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk audiensi. Sudah ada jawaban dari mereka. Saat ini, Kementerian sedang mengatur teknis menyangkut pemanfaatan BMKT. Tapi, tiga hari lalu dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) protes ke Presiden Jokowi untuk membatalkan perpres itu. Terutama terkait izin pengangkatan BMKT kepada pihak swasta. Mereka berpandangan BMKT itu tak boleh dikelola swasta.
Anda pernah menyebut, pihak asing acapkali membawa kabur BMKT tanpa izin. Sebenarnya, seperti apa tindak tanduk perusahaan asing itu?
Pemerintah kita seringkali ditipu asing. Barang dibawa keluar oleh mereka. Salah satunya dilakukan Michael Hatcher dari Australia. Kemudian, ada pula perusahaan dari Jerman. Sebenarnya sangat banyak. Tapi semua itu tidak lepas dari oknum pejabat yang memberi celah kepada mereka. Kalau tidak ada keterlibatan oknum pejabat, saya rasa tidak mungkin pihak asing bisa leluasa melakukan pengangkatan. Pengawas kalau sudah disogok, selesai sudah.
Tapi, apakah Anda setuju dengan larangan ekspor BMKT?
Menurut saya, sejauh tidak menyalahi kaidah arkeologi dan cagar budaya, harusnya boleh dibawa ke luar negeri. Toh sudah diambil jatah untuk cagar budaya. Namun, terkadang rekan-rekan dari cagar budaya itu berpandangan temuan BMKT hanya boleh untuk museum. Tapi, sudahlah. Lebih baik kita duduk bersama untuk mengurangi ego sektoral ini. Kita cari jalan keluar.
Apakah ada negara yang bisa dijadikan contoh dalam mengelola BMKT?
Sangat jarang sekali perusahaan pengangkatan BMKT di negara lain. Filipina yang negara kepulauan saja tidak begitu banyak memiliki BMKT. Potensi terbesar ada di Indonesia. Sebab, perairan Nusantara merupakan jalut sutera di masa lalu. Sehingga, banyak sekali BMKT di perairan kita.