Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberikan catatan khusus terhadap sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi-JK. Lembaga yang digagas oleh Adnan Buyung Nasution itu menilai, beberapa kebijakan tersebut dapat membahayakan demokrasi dan meruntuhkan substansi hukum.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati mengatakan pihaknya telah menganalisis sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dari analisis tersebut, pihaknya mendapati ada 11 kebijakan pemerintah yang dapat mengancam nilai-nilai demokrasi.
Asfinawati menilai, 11 kebijakan tersebut memiliki beberapa pola dan karakter yang sama untuk menekan kebebasan berdemokrasi dan supremasi hukum. Imbas dari kebijakan-kebijakan tersebut, menghambat kebebasan sipil dalam berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, dan berkeyakinan.
Berikutnya, mengabaikan hukum yang berlaku baik konstitusi, TAP MPR maupun undang-undang (UU). Terakhir, memiliki watak yang represif karena mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.
"Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, sedangkan ayat berikutnya mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum di antaranya ditandai dengan supremasi hukum (bukan kekuasaan)," kata Asfinawati, di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (14/5).
Lebih lanjut, Asfinawati memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pemerintahan pun terikat pada konstitusi. Karena itu, pihaknya mendesak agar pemerintah mencabut kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum dan rule of law.
"YLBHI juga meminta kebijakan-kebijakan yang melawan hukum, bertentangan dengan rule of law dan merusak demokrasi tidak Iagi dikeluarkan," ujar Asfinawati.
Adapun 11 kebijakan yang dianggap mengancam demokrasi itu sebagai berikut:
1. Surat Keputusan (SK) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Nomor 38 tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum.
2. Penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan.
3. Hak tidak memilih atau golongan putih (Golput) dapat dijerat dengan UU Terorisme, UU ITE dan KUHP.
4. Rencana Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional.
5. Memasukkan pasal makar, penghinaan pada presiden, dan penodaan agama dalam Rancangan KUHP.
6. Perluasan penempatan militer di kementerian, serta upaya memasukkan dalam revisi UU TNI.
7. UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU mengkaburkan batasan peran TNI dalam urusan pertahanan.
8. Upaya penghambatan, pembubaran, bahkan kekerasan dan penangkapan terhadap aksi-aksi damai warga negara seperti aksi May Day kemarin.
9. Nota kesepahaman (MoU) instasi kementerian atau badan usaha dengan TNI.
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP).
11. UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Pengesahan Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi UU, posisi pemerintah untuk rancangan KUHP memasukkan pasal makar dan penghinaan terhadap presiden.