Jenderal Hoegeng adalah polisi yang memiliki integritas dan kejujuran tinggi. Pria asal Pekalongan yang pernah menjabat sebagai Kapolri di awal Orde Baru ini, meninggal pada Rabu 14 Juli 2004 dini hari. Hoegeng meninggal di umur 82 tahun.
Hoegeng wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) karena stroke. Ia juga pernah menjalani perawatan karena luka lambung di Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta-Timur selama tiga pekan. Ia dikebumikan di Pemakaman Umum Giri Tama, Kelurahan Tonjong, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sebelum wafat, Hoegeng pernah berpesan kepada keluarganya untuk tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dan lebih memilih pemakaman biasa. Ini karena kecintaanya kepada istrinya, Meritati Roeslani. Ia ingin istrinya itu kelak bisa dimakamkan di sampingnya. Permintaan ini tentu tidak bisa dikabulkan bila Hoegeng dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Meski raganya sudah tiada, namun kejujuran Hoegeng dikenang abadi. Gus Dur pun pernah melontarkan candaan tentang tiga polisi jujur dan menyebut Jenderal Hoegeng sebagai salah satunya. Dua lainnya yaitu patung polisi, dan satu lagi polisi tidur.
Hoegeng yang lahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan merupakan salah satu penandatangan Petisi 50. Namanya juga diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Bahayangkara di Mamuju dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Iman Santoso.
Polisi yang terkenal sederhana ini juga dikenal sebagai penganjur agar pengendara motor mengenakan helm. Ungkapannya tentang anjuran penggunaan helm itu yang dapat dikenang hingga saat ini, 'Aspal lebih keras dari kepala,' kata Hoegeng. Namun di eranya, anjuran itu baru sebatas anjuran, dan belum menjadi hukum wajib helm yang seperti sekarang ini berlaku.