close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi persidangan. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi persidangan. Foto Pixabay.
Nasional
Sabtu, 11 Juni 2022 20:34

Sidang putusan gugatan perlawanan terkait pengangkatan Mayjen Untung digelar 16 Juni

Sidang perlawanan yang dilayangkan Tim Hukum Koalisi Masyarakat Sipil, menunggu putusan hakim.
swipe

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memastikan sidang perlawanan yang dilayangkan Tim Hukum Koalisi Masyarakat Sipil terkait pengangkatan Mayor Jenderal Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya, kini tinggal menunggu putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) DKI Jakarta.

Kadiv Pemantauan Impunitas Kontras Tioria Pretty menyayangkan Untung Budiharto, sebagai salah satu anggota Tim Mawar Kopassus yang bersalah dalam kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998, justru diangkat menjadi Panglima Kodam Jaya. Jabatan itu dinilai penting karena sebagai pemegang komando utama pembinaan dan operasional kewilayahan TNI AD yang meliputi Provinsi Jakarta Raya, Depok, Bekasi, dan Tangerang. 

"Posisi atau jabatan yang tentunya sangat strategis di tubuh TNI," kata Tioria dalam keterangan, Sabtu (10/6).

Tim Hukum Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Kontras, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan AMAR Law Firm & Public Interest Law Office, yang mewakili para penggugat yaitu korban penghilangan paksa 1997-1998, Imparsial, dan Yayasan Lembaga Bantuan Indonesia (YLBHI), sebelumnya telah mengajukan perlawanan atas penetapan dismissal PTUN Jakarta tanggal 12 April 2022. Putusan itu dianggap memberikan perlindungan terhadap praktik impunitas di Indonesia.

Tioria menyebut, dalam penetapan dismissal, Ketua PTUN Jakarta menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Alasannya, keputusan Panglima TNI yang mengangkat Pangdam Untung Budiharto dianggap bukan kewenangan PTUN untuk mengadili.

Hal itu berdasarkan Pasal 2 huruf f UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Maka dari itu, pengadilan itu menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Militer berdasarkan UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

"Padahal, Koalisi meyakini TNI masuk dalam struktur pemerintahan eksekutif sesuai dengan perluasan makna KTUN di Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara," ujar Tioria.

Tioria menjelaskan, pihaknya juga telah mencoba mengajukan gugatan terkait keputusan Panglima TNI tentang pengangkatan Untung Budiharto ke Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta. Namun, gugatan tersebut ditolak tanpa adanya proses pengadilan yang berlangsung dengan alasan Peraturan Pemerintah mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer hingga saat ini belum tersedia.

Sementara itu, dalam argumen perlawanan yang diajukan, pihaknya menekankan pentingnya PTUN Jakarta dapat memahami kewenangan yang diberikan oleh Pasal 87 UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah yang memperluas makna Keputusan TUN yang dapat diadili PTUN. Makna itu menunjukkan Keputusan Badan atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. 

Juga, ujarnya, termasuk tata usaha TNI yang sepenuhnya berada di lingkungan kekuasaan eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan di bidang pertahanan.

Tiora mengatakan gugatan ini seharusnya dijadikan bahan refleksi dan perbaikan terkait pengambilan keputusan dalam tubuh TNI. 

Agenda sidang perlawanan ini selanjutnya akan ditutup dengan putusan pada 16 Juni 2022 pukul 13.00 WIB mendatang. Putusan ini diharapkan menjadi ajang pembuktian keberpihakan majelis pada penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia.

"Sebab, pengangkatan penjahat kemanusiaan menjadi Panglima Kodam Jaya merupakan preseden buruk bagi penghormatan HAM, reformasi personel sektor keamanan, serta penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat," ujarnya. 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan