close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aparatur Sipil Negara (ASN) melakukan sumbang mainan anak di Balaikota Depok, Jawa Barat, Senin (11/2)./AntaraFoto
icon caption
Aparatur Sipil Negara (ASN) melakukan sumbang mainan anak di Balaikota Depok, Jawa Barat, Senin (11/2)./AntaraFoto
Nasional
Jumat, 15 Maret 2019 23:49

177 daerah raih predikat Kota Layak Anak

Seluruh kabupaten/kota di Indonesia sudah mengajukan inisiasi untuk dinilai menjadi Kota Layak Anak (KLA).
swipe

Minat kabupaten/kota seluruh Indonesia ternyata cukup tinggi untuk menjadi Kota Layak Anak (KLA). Jika pada tahun sebelumnya usulan untuk dievaluasi hanya 386 kabupaten/kota. Namun, pada tahun ini, inisiasinya sudah pada semua daerah.

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Nahar, mengungkapkan seluruh kabupaten/kota di Indonesia sudah mengajukan inisiasi untuk dinilai menjadi KLA.

Komitmen mewujudkan KLA merupakan menjadi kewajiban setiap daerah. Kewajiban itu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Perintah dalam UU Pemda itu, mewujudkan KLA itu kewajiban setiap kabupaten kota.

"Kalau dilihat pasal 59 ayat 1 UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah pusat sebenarnya tidak memksakan, tapi sedapat mungkin itu ada," ujar dia, Jumat (15/3).

Meskipun seluruh daerah sudah menginisiasi untuk menjadikan daerahnya sebagai KLA, yang terealisasi belum maksimal. Nahar menyebut baru 177 daerah yang masuk ke dalam kategori sebagai kabupaten/kota terkategori KLA.

KLA merupakan kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak.

Upaya membangun KLA ini diharapkan bermuara pada penangkalan kekerasan terhadap anak secara nasional. 

Ada lima kategori yang dianggap sebagai KLA, yakni kategori pratama, madya, nindya dan utama.

Disisi lain, Koordinator Nasional ECPAT Ahmad Sofian mengungkapkan, kesadaran korban kekerasan anak untuk melapor ke kepolisian sangat rendah. Hanya 20% dari korban kekerasan dari jumlah 247.610 kasus yang berani melaporkan ke aparat penegak hukum.

"Artinya ada sekitar 198.888 yang tidak mau melaporkannya kasusnya ke polisi," kata Ahmad Sofian.

Minimnya kesadaran korban melaporkan kasus kekerasan anak, lantaran minimnya kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Lembaga kepolisian, lanjut Sofian, tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan kasus kekerasan terutama di daerah terisolir.

Untuk mengatasi kebuntuan itu, Sofian mendorong agar dibentuk lembaga baru yang berperan mendampingi korban kekerasan. Dengan begitu, kepercayaan yang lemah dari korban maupun masyarakat difasilitasi dengan kehadiran lembaga tersebut.

"Kadar kepercayaan kota kepada lembaga kepolisian itu masih rendah. Untuk menjembatani itu, diperlukan lembaga layanan mendampingi anak korban kekerasan," kata Sofian.

Di sisi lain, dia memandang instrumen regulasi untuk menangani kekerasan terhadap anak sangat memadai. Untuk mengurusi perlindungan anak, ada 21 aturan setingkat undang-undang. Sementara dalam regulasi yang berkaitan pada tingkat yang lebih rendah ada sekitar 48 aturan bila diakumulasi ada 49 perundangan soal perlindangan anak.

Namun begitu, keberadaan perundangan belum bisa menjawab tantangan penangan kasus kekerasan terhadap anak. Perlu lembaga khusus yang berperan maksimal menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap anak.

"Yang diperlukan itu, bagaimana menyediakan pelayanan yang mudah diakses oleh masyarakat, anak, remaja. Tahu bentuknya dan di mana mendapatkanya," ujar dia.

 

img
Armidis
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan