19 tahun UU Penghapusan KDRT, mengapa kasusnya masih marak?
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih marak di Indonesia dan menjadi salah satu ancaman serius terhadap perempuan. Sebab, merujuk data Komnas Perempuan, 90% dari total kasus kekerasan di ranah privat adalah KDRT. Ini diperkuat data Kementerian PPPA, di mana terjadi 7.649 kasus KDRT rentang Januari-Juni 2023.
Tingginya kasus KDRT juga terlihat dari kerja-kerja Forum Pengada Layanan. Pada 2022, Forum Pengada Layanan setidaknya melakukan pendampingan terhadap 1.248 kasus KDRT kategori kekerasan psikis, 559 kasus kekerasan fisik, 526 kasus penelantaran, dan 855 kasus kekerasan seksual.
Perempuan Mahardhika, Forum Pengada Layanan, Jala PRT, dan Konde.co berpendapat, maraknya kasus KDRT terjadi karena pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (UU PKDRT), yang genap berusia 19 tahun, belum efektif sejak disahkan. Ketidakefektifan akibat beberapa hambatan dalam pengimplementasiannya, salah satunya perwakinan harus tercatat di otoritas resmi.
"UU PKDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Catatan Sipil," tulis Perempuan Mahardika dkk dalam keterangannya, Jumat (22/9). "Persoalan selanjutnya, adalah kurangnya kebijakan operasional dalam UU sehingga pada saat ini masih terdapat perbedaan tafsir pada aparat penegak hukum mengenai kasus penelantaraan rumah tangga dan perintah pelindungan yang susah sekali didapatkan oleh korban."
"Proses pembuktian juga tak kalah pelik. Keharusan untuk adanya 1 orang saksi ditambah dengan 1 alat bukti masih menjadi kendala dalam pembuktian kasus KDRT di tingkat kepolisian. Selain itu, kriminalisasi korban KDRT juga masih terjadi, di mana ketika istri dilaporkan, proses hukumnya selalu lebih cepat dibandingkan ketika dia melapor sebagai korban."
Itu terjadi lantaran aparat penegak hukum dan budaya hukum belum sensitif gender. Imbasnya, proses penegakan dan penyelesaian kasusnya pun tidak berorientasi pemenuhan hak korban.
Keluarga, tempat kerja, dan lingkungan terdekat juga tidak memberikan dukungan maksimal. Akibatnya, korban merasa sendirian dalam menanggung kasusnya dan diperparah stigma sosial sehingga tak jarang mencabut laporannya.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Beginilah beban berlipat yang dirasakan korban KDRT yang juga menjadi pekerja. Ini seperti temuan dalam studi Perempuan Mahardika terhadap 28 buruk perempuan korban KDRT yang bekerja di sektor garmen.
"Pertama, adalah sulitnya korban melepaskan diri dari KDRT dan bertahan dalam KDRT dengan alasan ketidaktahuan tentang UU PKDRT, tidak berani melapor karena masih kuatnya perspektif suami adalah kepala keluarga, dan minimnya dukungan dari keluarga, masyarakat, tempat kerja dan sosial. Kedua, KDRT sangat berdampak bagi pekerjaan, seperti kehilangan kosentrasi kerja, mengalami kecelakaan kerja, produktivitas menurun, hilangnya kemampuan kerja, bahkan sampai kehilangan pekerjaan," tuturnya.
Nahas, perusahaan tempat para korban bekerja juga tidak memberikan dukungan. Pun tidak jarang mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan buruh perempuan korban KDRT. Sebab, perusahaan tidak memiliki sistem kerja ramah perempuan, sarat kekerasan dan ekspoilatasi, dan mengabaikan isu ini. "Padahal, dampaknya terhadap pekerjaan buruh perempuan di tempat kerja terang benderang. Mengabaikan isu KDRT untuk masuk dalam skema perlindungan buruh perempuan akan semakin mempersulit perempuan lepas dari jeratan KDRT."
PRT rentan KDRT
Selain istri, perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga (PRT) juga rentan menjadi korban dalam kasus KRDT. Merujuk data Jala PRT, terjadi 2.641 kasus kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi yang menimpa PRT pada 2018-2023. Misalnya, upah tidak dibayar, dipecat atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja, tak bisa mengklaim jaminan kesehatan saat sakit, tidak ada kenaikan upah meskipun telah bekerja bertahun-tahun, dan tak mendapatkan pesangon.
Lemahnya posisi PRT dalam KDRT juga akibat ketidakadaan jaminan hak-haknya. Padahal, UU PKDRT jelas-jelas memuat PRT sebagai salah satu subjek hukum selain ayah, ibu, anak, nenek/kakek, dan saudara karena berada dalam rumah tersebut.
Publik dan aparat hukum pun kerap mengecualikan kekerasan terhadap PRT sebagai KDRT lantaran tak terbangunnya kesadaran masyarakat. Akibatnya, hanya 15% pelaku dari total kasus kekerasan terhadap PRT yang mendapat hukuman sesuai UU PKDRT. Sisanya, pelaku dihukum ringan bahkan bebas.
Oleh sebab itu, Perempuan Mahardika dkk meminta pemerintah memberikan atensi khusus atas maraknya kasus KDRT. Ada beberapa hal yang direkomendasikan untuk dikerjakan negara. Pertama, menyosialisasikan dan memberikan informasi tentang KDRT dan UU Penghapusan KDRT mengingat lemahnya pengetahuan masyarakat menjadi 103 hambatan untuk mencegah dan melindungi korban.
Kedua, mengintegrasikan Kementerian PPPA, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kemenkum Hukum dan HAM (Kemenkumham), kepolisian, dan rumah sakit (RS) dalam satu jaringan kerja untuk pencegahan dan perlindungan. Lalu, memastikan aparat penegak hukum, mulai dari struktur yang paling bawah, menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam menangasi kasus-kasus terkait.
Keempat, memasukkan KDRT dalam skema perlindungan buruh perempuan dan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Selanjutnya, menyegerakan pengesahan RUU PPRT agar PRT mendapatkan perlindungan yang menyeluruh.
Perempuan Mahardika dkk juga mengajak media massa turut berperan aktif mengampanyekan gerakan setop KDRT lantaran memiliki peran siginifikan dalam mendorong perubahan kebijakan secara cepat dan menggugah kesadaran publik. Masyarakat juga diminta memanfaatkan media sosial sehingga secara tak langsung menstimulus para korban agar berani bersuara.
Kendati begitu, literasi bagi publik dan media juga penting. Tujuannya, mendukung korban bersuara serta tak menghakimi dan tidak memojokkan korban. "Kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi, lebih-lebih pada korban, menjadi bagian penting dari perjuangan untuk setop KDRT," jelasnya.